Sabdapalon dan Ramalannya
Suatu hari, Darmo Gandhul bertanya
kepada Ki Kalamwadi demikian, “Awal mulanya bagaimana sehingga orang Jawa
meninggalkan agama Buddha dan masuk agama Islam ?” Ki Kalamwadi lantas
bercerita, “Hal ini perlu diketahui, supaya orang yang tidak tahu bisa
mengerti.” Pada jaman dahulu negara Majapahit itu namanya negara Majalengka.
Adapun nama Majapahit itu, hanya untuk pasemon, tetapi yang belum tahu
riwayatnya menganggap bahwa nama Majapahit itu memang sudah namanya sejak
semula. Raja Majalengka yang terakhir bernama Prabu Brawijaya. Waktu itu sang
Prabu sedang susah hati. Sang Prabu kawin dengan Putri Cempa, padahal Putri
Cempa tadi beragama Islam. Kalau sedang berkasih-kasihan, ia selalu bercerita
kepada sang raja tentang keluhuran agama Islam. Setiap bertemu selalu memuji
agama Islam sehingga menyebabkan Sang Prabu terpikat dengan agama Islam. Sang
Prabu Brawijaya memiliki seorang putra dari istrinya Putri Cina, anak tersebut
lahir di di Palembang dan diberi nama Raden Patah. Menurut aturan leluhur dari
ayahandanya yang beragama Jawa Buddha, putra raja yang lahir si gunung, namanya
adalah Bambang. Jika menurut alur ibu, sesebutannya adalah Kaotiang. Adapun
jika orang Arab sebutannya adalah Sayid atau Sarib. Lalu sang Prabu meminta
pertimbang sang Patih, menurut sang Patih maka putra sang Prabu tersebut
dinamai Bambang, akan tetapi karena ibunya Cina, lebih baik disebut Babah
artinya lahir di negara lain.
Negeri Majalengka, pada suatu hari
Prabu Brawijaya sedang dihadap Patih serta para madya bala. Patih memberi
laporan bahwa baru saja menerima surat dari Tumenggung Kertasana. Isi surat
memberi tahu bahwa negeri Kertasan sungainya kering. Sungai yang dari Kediri alirannya
menyimpang ke timur. Sebagian surat tadi bunyinya begini, “Disebelah barat laut
Kediri, beberapa dusun-dusun rusak. Semua itu terkena sabda ulama dari Arab,
namanya Sunan Bonang. Mendengar kata Patih tersebut, Sang Prabu sangat marah.
Patih kemudian diutus ke Kertasana, memeriksa keadaan senuanya, penduduk dan
hasil bumi yang diterjang air bah?
Serta diperintahkan memanggil Sunan
Bonang. Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada Patih, orang Arab yang di
tanah Jawa diusir pergi, karena membuat kerepotan negara, hanya di Demak dan
Ampelgading yang boleh melestarikan agamanya. Selain dua tempat diperintahkan
kembali ke negerinya. Jika tidak mau pergi diperintahkan untuk dibunuh, jawab
Patih, ” Gusti ! benar perintah Paduka itu, karena ulama Giripura sudah tiga
tahun juga tidak menghadap dan tidak mengirim upetti. Mungkin maksudnya hendak
menjadi raja sendiri, tidak merasa makan minum di tanah Jawa. Berarti santri
Giri hendak melebihi wibawa Paduka.
Namanya Sunan Ainul Yakin, itu nama
dalam bahasa Arab, artinya Sunan itu budi, Ainal itu makrifat, Yakin itu tahu
sendiri. Jadi maknanya tahu dengan pasti. Dalam bahasa Jawa sama dengan kata
Prabu Satmata. Itu nama luhur yang hanya dimiliki Yang Maha Kuasa, maha
melihat. Di dunia tidak ada duanya nama Prabu Satmata, kecuali hanya Batara
Wisnu ketika bertahta di negeri Medang Kasapta.
Mendengar kata Patih, kemudian Sang
Prabu memerintahkan untuk memerangi Giri. Orang di Giri geger, tidak kuat
menanggulangi amukan prajurit Majapahit. Sunan Giri lari ke Bonang, mencari
bantuan kekuatan. Setelah mendapat bantuan , kemudian perang lagi musuh orang
Majalengka. Perang ramai sekali, waktu itu tanah Jawa sudah hampir separo yang masuk
agama Islam, orang-orang pesisir utara sudah beragama Islam. Adapun yang di
selatan masih tetap memakai agama Buddha.
Sunan Bonang sudah mengakui
kesalahanya, tidak menghadap ke Majalengka. Maka kemudian pergi dengan Sunan
Giri ke Demak. Sesampainya di Demak, kemudian memanggil Adipati Demak, diajak
menyerang Majalengka. Kata Sunan Bonang kepada Adipati Demak, ” Ketahuilah,
sekarang sudah saatnya Kraton Majalengka hancur, umurnya sudah seratus tiga
tahun”. Dari penglihatan gaibku yang kuat menjadi raja tanah Jawa, menggantikan
tahta raja hanya kamu. Karena itu hancurkan Kraton Majalengka, tetapi dengan
cara halus, jangan sampai kelihatan. Menghadaplah besok Garebeg Maulud, tetapi
siapkan senjata perang, nanti kalau semua sudah berkumpul, para sunan
dan para bupati dan prajuritnya yang
sudah Islam, pasti menurut kepada kamu. Adipati Demak berkata, “Saya takut
menyerang negeri Majalengka, karena memusuhi ayah dan rajaku. Apa balasan saya
kecuali kesetiaan. Sunan Bonang berkata lagi, “Meskipun musuh ayah dan raja,
tidak ada jeleknya, karena itu orang kafir. Kalau membunuh orang kafir Buda
kawak, kamu akan mendapatkan ganjaran surga. Sunan Bonang yang sudah dipuji
orang sealam semesta, keturunan rasul pemimpin orang Islam semua. Kamu musuh ayah
raja, meskipun dosa sekali, hanya dengan satu orang, lagi pula raja kafir.
Tetapi bila ayahmu kalah, orang setanah Jawa Islam semua. Yang demikian itu,
seberapa pahalamu nanti di hadapan Allah, lipat berkali-kali. Sebenarnya ayahmu
itu sia-sia kepada kamu. Buktinya kamu diberi nama Babah, tahu artinya Babah ?
Babah itu artinya jorok sekali yaitu saja mati saja hidup, benih Jawa dibawa
putri Cina, maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, manusia
keturunan raksasa. Itu memutuskan tali kasih namanya. Ayahandamu pikirnya tetap
tidak baik, maka kuanjurkan balaslah dengan halus, artinya jangan sampai
ketahuan. Dalam bathin Sunan Bonang berkata, “Sesaplah darahnya, remuklah
tulangnya.”
Singkat cerita, tidak lama kemudian
para Sunan dan para Bupati sudah berdatangan semua. Kemudian mereka
bermusyawarah untuk memperbesar masjid. Setelah jadi, kemudian mereka melakukan
shalat berjamaah di Masjid. Setelah selesai shalat kemudian mereka menutup
pintu. Semua orang diberitahu oleh Sunan Bonang, bahwa adipati Demak akan
menjadi raja Jawa. Untuk itu Majapahit harus ditaklukkan. Mereka semua terbujuk
oleh Sunan Bonang yang sangat piawai berbicara itu. Para sunan dan para Bupati
sudah mufakat semua, hanya satu yang tidak sepakat, yaitu Seh Siti Jenar, Sunan
Bonang marah, maka Seh Siti Jenar dibunuh. Adapun yang diperintahkan membunuh
adalah Sunan Giri. Seh Siti Jenar dipenggal kepalanya hingga tewas. Sebelum Seh
Siti Jenar tewas, ia meninggalkan suara, “Ingat-ingat ulama Giri, kamu tidak
kubalas di akhirat, tetapi kubalas di dunia saja. Kelak apabila ada raja Jawa
bersama orang tua, saat itulah lehermu akan kupenggal.”
Sang Prabu Brawijaya mendengar
laporan Patih sangat terkejut, berdiri mematung seperti tugu. Mengapa putranya
dan para ulama datang hendak merusak negara. Sang patih juga tidak habis
mengerti, karena tidak masuk akal orang diberi kebaikan kok membalas kejahatan.
Semestinya mereka membalas kebaikan juga, Ki patih tak habis berpikir.
Singkat cerita, setelah pasukan
Majapahit dipukul mundur oleh pasukan yang dipimpin adipati Demak Raden Patah
yang juga Putra Prabu Brawijaya, para ulama dan para bupati, kemudian
perjalanan Prabu Brawijaya sampai di Blambangan, karena merasa lelah kemudian
berhenti dipinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap.
Yang dihadapannya hanya dua abdi dalem, yaitu Noyo Genggong dan Sabdo Palon.
Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja
terjadi. Sabdo Palon ? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang.
Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara
hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.
Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga
berhasil ketemu dengan sang Prabu diperjalanan, lalu Sunan Kalijaga bersujud
menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan
Kalijaga, “Sahid ! Kamu datang ada apa ? Apa perlunya mengikuti aku ?” Sunan
Kalijaga berkata, “Hamba diutus paduka untuk mencari dan menghaturkan sembah
sujud kepada paduka di manapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya
sampai lancang berani merebut tahta paduka, karena terlena oleh darah mudanya
yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintahkan negeri, disembah
para bupati. Sang Prabu Brawijaya bersabda, ” Aku sudah dengar kata-katamu,
sahid ! Tetapi tidak aku gagas ! Aku sudah muak bicara dengan santri ! Mereka
bicara dngan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya ! Menunduk di muka
tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup
pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini. Setelah mendengar sabda Prabu
demikian, Sunan Kalijaga merasa bersalah karena ikut menyerang Majapahit. Ia
menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang
aku akan ke pulau Bali bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Klungkung. Aku
akan beri tahu tingkah Si Raden Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan
hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta
Majapahit. Sunan Kalijaga sangat prihatin, ia berkata dalam hati, “Tidak salah
dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah
mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau
dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan
pasukan Demak pasti tidak kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan
bapa, ketiga pemberi anugrah. Sudah pasti orang Jawa yang belum Islam akan
membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang islam
tertumpas dalam peperangan. Mendengar kemarahan sang Prabu yang tak
tertahankan, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian
beliau menyembah kaki sang Prabu sambil menyerahkan senjata kerisnya dengan
berkata, apabila sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon
agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa menjijikan ini. Sang
Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkan Sahid ! Alangkah sedih hatiku,
orang sudah tua renta, lemah tak berdaya kok akan direndam dalam air”. Suanan
Kalijaga memendam senyum dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok hamba yang
tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra paduka memperlakukan sia-sia kepada
paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak paduka, namun lebih
baik jika paduka berkenan berganti syariat Rasul, dan mengucapkan asma Allah.
Akan tetapi jika paduka tidak berkenan itu tidak masalah, toh hanya soal agama.
Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum
paham syahadat itu juga tetap kafir namanya. Akhirnya setelah Sunan Kalijaga
berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah agama Islam,
setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya
tidak mempan dipotong, Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam
Lahir bathin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan
digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir bathin, maka rambutnya
bisa dipotong. Sang Prabu setelah
potong rambut kemudian berkata kepada Sabdo Palon dan Noyo Genggong, “Kamu
berdua keberi tahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk
agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau,
kalian berdua kuajak pindah agama Rasul dan meninggalkan agama Buddha. Lalu
Sado Palon berkata sedih, ” Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa,
siapa yang bertahta, mejdi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, sang
Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, terun-temurun sampai sekarang.
Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika tidur sampai 200 tahun.
Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal
membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang ini umur hamba sudah 2.000
lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya,
sejak pertama menepati agama Buddha. Baru paduka yang berani meninggalkan
pedoman luhur Jawa. Kalau hanya ikut-ikutan akan membuat celaka muksa paduka
kelak, kata Wikuutama disambut halilintar bersahutan. Prabu Brawijaya disindir
oleh Dewata karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di
dunia ditambah tiga hal : (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi
Mriyi. Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatmu, mau apa tidak meninggalkan agama
Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasulallah dan nama Allah
yang sejati !”. Sabdo Palon berkata sedih, ” Paduka masukllah sendiri, hamba
tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu, menginjak-nginjak
hukum, menginjak-nginjak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka
muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam
semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan
tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebutkan Dewa Yang
Maha Lebih. Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung,
kekosongan ketika aku belum maujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak”.
“Itu matinya manusia tak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidup
seperti hewan, hanya makan minum dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya
daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati”. Sang
prabu berkata,”Aku akan muksa dengan ragaku”. Sabdo Palon tersenyum, ” Kalau
orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya,
gemuk kebanyakkan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi
tidak meninggalkan jasad. Sang Prabu, ” Keinginanku kembali ke akhirat, masuk
surga menghadap Yang Maha Kuasa”. Sabdo Palon berkata, “Akhirat, surga, sudah
paduka bawa kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam
besar. Paduka akan pergi ke akhirat mana, nanti tersesat lho ! Bila mau hamba
ingatkan jangan sampai paduka mendapatkan kemelaratan seperti pengalidan
negara. Jika salah menjawab tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan
tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya Manusia, Sreng
artinya berat sekali, Enggi artinya kerja. Jadi maknanya manusia dipaksa
bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi, Apa tidak celaka ! Paduka jangan sampai pulang
akhirat, jangan sampai masuk surga, malah tersesat, banyak binatang mengganggu,
semua tidur berselimut tanah, hidupnya bekerja dengan paksaan, paduka jangan
sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak
berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, paduka belum kenal,
kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Saya tidak tahan
dekat apalagi paduka, Kangjeng Nabi musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah,
maka Allah tidak kelihatan hanya Dzatnya yang meliputi semua mahluk. Paduka
bibit ruhani bukan malaikat, manusia raganya berasal dari nutfah menghadap
Hyang Lata wal Hujwa, jika sudah lama minta yang baru tidak bolak-balik, itulah
hidup-mati.
Sang Prabu bertanya, “Dimana Tuhan
yang Sejati ?”. Sabdo Palon berkata, “Tidak jauh tidak dekat, Paduka
bayangannya, paduka wujud sifat suksma, sejatinya tunggal budi, hawa, dan
badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisahkan, tetapi juga tidak berkumpul.
Paduka itu raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini”. “Apa
kamu tidak mau masuk agama Islam ?” Sabdo Palon berkata sedih, “Ikut agama
lama, kepada agama baru tidak !! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya
hamba ? Apakah Paduka lupa nama hamba Sabdo Palon ! “Bagimana ini, aku sudah
terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali
kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi dan langit “. “Iya
sudah, silakan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan, kata Sabdo Palon
kepada Prabu Brawijaya. Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdo Palon dalam batin
merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama
Buddha. Lama beliau tidak berkata, kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama
Islam itu karena terpikat kata Putri Cempa, yang mengatakan bahwa agama Islam
itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir. Sado
Palon berkata sambil meludah, ” Sejak jaman kuno,bila laki-laki menurut
perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya wadah, tidak
berwewenang memulai kehendak”. Sabdo Palon banyak-banyak mencaci kepada Sang Prabu.
Sabdo Palon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika
ditanya perginya akan kemana ? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada
disitu, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud,
anglela kalingan padang. Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua
berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdo Palon. Orang Jawa akan diajari
tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdo Palon dan Noyo Genggong,
tetapi dua orang tadi kemudian musnah. Sang Prabu menyesal dan meneteskan air
matanya, kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Besuk negara Blambangan
gantilah dengan nama negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdi
Palon ke Tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdo Palon masih dalam alam
gaib. Sejak jaman kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur
dengan disengat tawon serta digerogotin tikus saja, dan bubarkan orang
sekerejaan hanya dengan karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya
menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancurannya tersebut
karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu wali delapan atau sunan
delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak, mereka semua
memberontak dengan licik.
1.
Ingatlah
kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit.
Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga
didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.
2.
Prabu
Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda
Palon sekarang saya sudah menjadi
Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan
baik.”
3.
Sabda
Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini
raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu
serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.
4.
Berpisah
dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon
dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi
(maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.
5.
Bila
ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan
lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya
akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi
meletus dan memuntahkan laharnya.
6.
Lahar
tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya
datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan
bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus
bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.
7.
Kelak
waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji.
Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba
sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang
meninggal dunia.
8.
Bahaya
yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak
mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai
bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
9.
Bermacam-macam
bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak
mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya.
10.
Saudagar
selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun
demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.
10.
Bumi
sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang
hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar
rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.
11.
Manusia
bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat
aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut
berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar
merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.
12.
Bahaya
penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat
waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai
meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.
13.
Seperti
lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak
yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu
besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.
14.
Gunung-gunung
besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga
menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau
dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15.
Gempa
bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga.
Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia
mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang
tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.
16.
Demikianlah
kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya.
Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat
berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala
itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.
Bahkan Jayabaya juga menulis mengenai Sabdapalon:
Menelisik Misteri Sabdo Palon
Dalam upaya menelisik misteri siapa
sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan
ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat
karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena
penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan
spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik
terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.
Menarik memang di dalam mencari
jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong
sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 )
tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam
bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut,
yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb
:
164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel
tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut
ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti
trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake
Sabdopalon lan Noyogenggong.
(…;
menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan
jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu
membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula
weda; tajamnya tritunggal nan suci;
benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)
173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan
ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka;
ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja;
hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang;
genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane
kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad
raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila
menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa
telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta
juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu
tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh
kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang
tinggi)
Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan
karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena
mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama
maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki.
Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah
warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.
Dalam serat Dharmagandhul ini saya
hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan
Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi
ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke
Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina
untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan
Majapahit.
Namun hal ini bisa dicegah oleh
Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo
Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka
berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan
berikut ini
Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob,
karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong,
kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados
momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka
botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula,
ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula,
…”
(“Paduka sudah terlanjur terperosok,
mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan,
tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh
orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah
yang kuat), tidak senang mengasuh paduka.
Kalau paduka tidak percaya, yang
disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah
air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan
bahwa dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya
masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang
berbunyi :
“…, hiya iku momongane kaki
Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon;
yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo
Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa
dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng
didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono,
mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang.
…..”
“ Sabdo Palon menyatakan akan
berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi
tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala
wujud, membuatnya samar. …..”
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo
Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang
berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar.
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti
Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar
manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling
serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan
Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang
Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad
raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki
Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados
momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa,
Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong
pikukuh lajêr Jawi, ….. dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun,
momong lajêr
Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba
ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi
asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem
dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan
raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3
tahun dalam
mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya,
…..”)
Ungkapan di atas menyatakan bahwa
Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum
masehi jika dihitung dari berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun
1478. Saat ini di tahun 2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532
tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada
kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat
toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan
Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami
lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro,
mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam
wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap
mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat
dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro
Manggilingan”.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit
memahami bahwa
Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya
merupakan sosok
Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya
dikatakan :
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng
nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya
têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika,
kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap
nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing
kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi
ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng
selamanya.”)
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong
sejati yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah
berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar
ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya
untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai
bekal
untuk perjalanan panjang berikutnya
nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi tempat
bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki sifat
yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge winarah). Semua
yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk melakukan” tetapi
lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil
diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki
110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo,
dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul
diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena
perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan
sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang
diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :
“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar
agami Buddha,
turun paduka tamtu apês, Jawi kantun
jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah
dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.”
“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam,
meninggalkan
agama Budha, keturunan Paduka akan
celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan
jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat
tentu akan dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong
Jawa ajênêng tuwa,
agêgaman kawruh, iya iku sing
diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”
“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada
orang Jawa
menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa,
yaitulah yang
diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan
(yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar
salahnya.”
Dari dua ungkapan di atas Sabdo
Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa
yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini.
Juga dikatakan bahwa ada saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang
memakai nama sepuh/tua (bisa jadi “mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang
teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari
peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal
ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang
merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan
pembimbing spiritual (seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga
Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul
Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu
ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing
besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr
Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko
Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul
Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu
heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama
Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon
di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di
tanah seberang.”)
Dari kalimat ini jelas menandakan
bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama
Banyuwangi. Tanah seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau
Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita
kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.
Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan
berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan
sabdanya sbb :
3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula
boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang
Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah
Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba
tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang
se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa.
Sudah digaris kita harus berpisah.)
4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul
maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen
wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula
gantos kang agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali
ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun
saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar
seluruh tanah Jawa.)
5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti
kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang
ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami,
Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai,
akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah
hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda
akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan
memuntahkan laharnya.)
6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda
banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi
janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti,
Boten kenging kalamunta kaowahan. (Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya.
Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan
agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi
takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah
lagi.)
7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi,
Sinengkalan tahunira,
Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng
tengah-tengahipun,
Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna
manungsa
prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di
tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang
sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar,
dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)
8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang
paring gesang,
Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing
sakwasanipun,
Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana
kang akarya.
:
(Bahaya
yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak
mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai
bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.) Dari bait-bait di atas
dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu
Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud
manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon
berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa),
kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun.
Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah
Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda
utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak
sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo
Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan
judul: “Semar Ngejawantah”. Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian
muntahnya lahar gunung Merapi tahun lalu dimana untuk pertama kalinya
ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat
kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari
itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya
Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo
Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu –
Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua
kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka1 + 3
+ 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17
merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga
merupakan lambang hakekat dari “bumi sap pitu” dan “langit sap pitu” yang
berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan
penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal
dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan
dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon)
untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa
yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan
hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis)
SIAPA SEJATINYA “SABDO PALON NOYO GENGGONG” ?
1.
Setelah
kita membaca dan memahami secara keseluruhan wasiat-wasiat leluhur Nusantara
yang ada di blog ini, maka telah sampai saatnya saya akan mengulas sesuai
dengan pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo Palon Noyo Genggong itu.
Dari penuturan bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, saya mendapatkan jawaban :
“Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya, penasehat spiritual dan
pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran secara spiritual, Sabdo
Palon itu sejatinya adalah beliau: Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda
Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu.” (merinding
juga saya mendengar nama ini) Dari referensi yang saya dapatkan,
Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu
Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di
dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal Ika”). Danghyang Nirartha adalah seorang
pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi
nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, beliau juga dikenal
sebagai seorang sastrawan. Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut :“Pada
Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang
bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat
tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan
kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam
menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau
disebut “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.”Dengan
kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih
keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak
yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai
dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil
kontribusi dalam runtuhnya kerajaan
Majapahit (salah satunya adalah bencana alam “Pagunungan Anyar”). Akhirnya
beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah
kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang
Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan. Beliau
pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau
1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau
mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham
Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha
Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu
Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem
Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta
kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang
kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur,
hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah
leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat,
organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu
tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Pura-pura untuk memuja
beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat adalah : Purancak,
Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air
Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok),
Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe,
Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain. Akhirnya Dang Hyang Nirartha
menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa = bersatunya atman dengan
Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad). Setelah
mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha, lalu
bapak Tri Budi Marhaen Darmawan memberikan kepada saya 10 (sepuluh) pesan dari
beliau Dang Hyang Nirartha sbb: Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga,
satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan,
kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )
Ada sebenarnya ucapan ilmu
pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah
keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci
yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
2.
Bapa
mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun
kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui
timpalnya. ( bait 6 )
Ayahnda memberitahumu anakku, tata
cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga
banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang
mengajar) itu.
3.
Melah
pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada
ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat
ingsak. ( bait 8 )
Lebih baik hati-hati dalam
berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang akan
mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan
tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.
Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa
nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon
malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 ) Mulai sekarang
lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti
menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar,
jangan hanya sekedar melihat.
1.
Tingkahe
mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang
di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek
twah gunanya. ( bait 11 )
Kegunaan punya telinga, sebenarnya
untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati,
jangan semua hal didengarkan.
6.
Nanging
da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa
ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa
ucapang. ( bait 12 )
Jangan segalanya dicium, sok baru
dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya,
kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar
hendaknya diucapkan.
7.
Ngelah
lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise
tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena
nahanang. ( bait 13 )
Memiliki tangan jangan usil,
hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula dalam
melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang
menahan (menderita) nya
8.
Awake
patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya
matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara
mupuang. ( bait 14 )
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar
menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai
bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak
mungkin tidak akan berhasil.
9.
Tingkah
ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu
mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma
mwatang tingkah. ( bait 15 )
Pilihlah perbuatan yang baik,
seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak
mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih
tingkah laku.
10.
Tingkah
ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah
nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya.
( bait 16 )
Pilihlah tingkah laku yang baik,
jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah
lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah
sebenarnya anakku. Akhirnya bapak Tri Budi Marhaen Darmawan mengungkapkan bahwa
dengan penelusuran secara spiritual dapatlah disimpulkan : “Jadi yang dikatakan
“Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan
“Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan
tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu
Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru. Pertanyaannya sekarang
adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah terjadi
dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk
menjawab persoalan ini. Sangat sensitif… Ini adalah wilayah para kasepuhan
suci, waskitho, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan
membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Tidak
perlu banyak perdebatan, karena Sabdo Palon yang telah menitis kepada
“seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang
telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra
Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik “seseorang”
itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya
beliau Dang Hyang Nirartha.”
“Kesimpulan akhirnya adalah : Putra
Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang
telah dikatakan oleh para leluhur Nusantara di atas adalah sosok yang
diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu beliau yang dinamakan
“SATRIO PININGIT”. Jadi, Satrio Piningit (SP) = adalah seorang Satrio
Pinandhito (SP) = yaitulah Sabdo Palon (SP) = sebagai Sang Pamomong (SP) =
dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP) = pemegang pusaka Sabdo Palon
(SP) = berada di “SP” (?) = tepatnya di daerah “SP” (?) = dimana terdapat “SP”
(?) = dengan nama “SP” dan “SP” (?) . Satrio Piningit tidak akan sekedar
mengaku-aku bahwa dirinya adalah seorang Satrio Piningit. Namun beliau akan
“membuktikan” banyak hal yang sangat fenomenal untuk kemaslahatan rakyat negeri
ini. Kapan waktunya
?
Hanya
Allah SWT yang tahu. Subhanallah… Masya Allah la quwata illa billah…”
Dari apa yang telah saya ungkapkan
sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama
hikmah yang tersirat dari wasiat- wasiat nenek moyang kita, para leluhur
Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri
ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga Allah ridho.
JAYALAH NEGERIKU, TEGAKLAH GARUDAKU, JAYALAH NUSANTARAKU