Lanjutan Genduk Duku

Namun sekali lagi istri Wiraguna itu memanggil gadis remaja yang hanya diam berdiri di ambang kelir gerbang, setengah takut memandang dayang-dayang tua itu. “Ni Sekethi, silakan ambil dulu bunga-bunga gambirmu. Mestinya ada yang penting. Mungkin ada panggilan dari Bendara Raden Ayu Pinundhi, atau dari Tumenggung Singaranu sendiri. (Tersenyum ramah.) Mari, Lusi! Dari mana kau sepagi ini?”
Gadis itu kemudian berjongkok dan menyembah, lalu gugup mencoba berungkap, “Maafkan seribu kali, Putri Arumardi, tadi pagi-pagi hamba berbelanja di pasar. Lalu… lalu…”
“Sudah, tak mengapa. Membawa warta dari puri Singaranu?”
Si gadis tidak langsung menjawab. Ia menunggu sampai dayang-dayang tua dengan pandangan mata melotot melewatinya dan menghilang di balik kelir, ke luar gerbang. Kemudian berlarilah Lusi ke bawah, dan terengah-engah, sesudah memandang ke segala penjuru serba takut, membisikkan sesuatu yang sudah menggumpal di dalam dadanya, “Putri Arumardi, lekas pergi dari puri ini. Susuhunan Amangkurat berkehendak membunuh Panglima Wiraguna dan Tumenggung Danupaya di Blambangan.”
Membelalak sebentar sepasang mata cantik sang wanita dalam kolam. Tak ada jawaban langsung yang menyambut berita mengagetkan itu. Mengagetkan? Diam Putri Arumardi memandang ke sepasang mata remaja yang berlinang-linang di mukanya. Ditariknya kepala gadis itu pelan-pelan, dan penuh sayang gadis itu diciumnya. Tanpa tergesa-gesa Putri Arumardi yang sedang ikut terancam bahaya itu keluar dari kolam dan dengan kain masih serba basah duduklah beliau di tepi kolam, sambil memegang erat tangan sang pembawa berita duka. Menerawang sedih tetapi sepertinya tersenyum simpul Putri Arumardi memandang ke pepohonan di keliling kolam yang, baru saja terkena sinar-sinar pertama pagi baru. Kemudian berkatalah ia lirih,
“Sudah kuduga, Nduk, sudah kurasakan dalam cita firasatku. Sejak suamiku ditugaskan ke Blambangan[8]) bersama Tumenggung Danupaya,[9]ibumu Arumardi sudah mengira. Ternyata benar. Ya, memang sudah nalar. Nalar menurut cara berpikir Raden Mas Jibus. Tumenggung Pasingsingan dan putranya Agrayuda, telah dibantai di halaman istana. Menyusul Pangeran Alit sendiri, saudara Raja. Kini Kakangmas Wiraguna dan Tumenggung Danupaya yang akan mendapat gilirannya….”
Pelan-pelan Putri Arumardi menoleh dan memandang si gadis. Katanya,
“Dari mana kau tahu?”
“Tadi malam, pelita di muka gandok ruang tidur Tumenggung Singaranu padam, tertiup angin. Lalu Lusi ingin menyalakannya lagi, Putri Arumardi. Tetapi… tetapi, ah tanpa sengaja, sungguh, Lusi mendengar sekelumit percakapan di pringgitan antara tuanku dengan seseorang yang tak kukenal. Rupa-rupanya sang tamu itu sedang memohon nasihat dari Tuanku Menteri Perdana, apa yang harus ia perbuat, karena beliau mendapat perintah untuk pergi ke Blambangan. Dan dengan tipu muslihat harus menyudahi Panglima Mataram dan Tumenggung Danupaya dengan warangan atau terpaksanya dengan racun tikus.”
“Ya, sebetulnya sudah dapat diramal itu, Nduk. Tumenggung Danupaya ialah guru pendidik Pangeran Alit. Dan Kakangmas Wiraguna… ooo, Tejarukmi, Tejarukmi, sampai hari ini pun Raden Mas Jibus tidak pernah lupa padamu…. Apa yang dikatakan Tumenggung Singaranu?”
“Lusi tidak dapat mendengar semua, Putri Arumardi. Gemetar seluruh tubuh hambamu. Takut kalau ketahuan bersembunyi di balik selintru.[10]) (Ah, tidak penting. Terima kasih, Lus. ) Oh, Lusi ingat. Beliau lalu berganti bertanya, begini kira-kira: Dan kalau tugas ini sudah kaulakukan nanti, tahukah juga kau, apa yang akan terjadi padamu? Lalu tamu itu hamba dengar menangis, minta pertolongan Tuanku Menteri Perdana, agar dibebaskan dari tugas yang berat itu.”
“Ya, tentu saja jelas… dia pun sesudahnya akan dibunuh.”
Merintihlah si gadis, “Putri Arumardi, Putri Arumardi… lekaslah pergi. Menyusul ke ibuku di Jali: Seluruh keluarga Wiraguna, semua akan dibunuh kemudian.”
“Aku sudah tahu, Gendukku Lusi. Semua orang tahu. Kalau seorang kepala keluarga terkena hukuman mati dari sang Susuhunan, tak ada istri, anak, maupun abdi satu pun akan dibiarkan hidup. Ini hukum kerajaan Jawa. Aku tahu….”
“Maka lekaslah pergi, Putriku yang kucintai. Putri Arumardi pernah dan selalu menolong ibu dan ayah Lusi. Sekarang Lusi ingin membalas budi sedikit. Nanti Lusi yang akan menolong. Tetapi Putri Arumardi harus mau, harus mau, ya, harus mau pergi…” Dan tak kuat menahan getaran emosi, menangislah si gadis remaja itu di dalam rangkulan istri selir Wiraguna.
Heran penuh pertanyaan Ni Sekethi memandang dua orang itu berangkulan seperti… “Rindu kepada ibunya,” kata keterangan penyelubung dari Putri Arumardi kepada dayang-dayang tuanya yang mengangguk-angguk. Reda sekarang jengkelnya, penuh pengertian. Ni Sekethi pun punya cucu yang sering rindu begitu. Tetapi rindu pada seorang prajurit muda penjaga istana. Penuh pengertian Ni Sekethi menjauh, pura-pura mengambil sapu, membersihkan sudut halaman kolam.
“Kau anak baik, Lusi. Kau mirip ibumu. Cerdas dan pemberani.”
“Ibu selalu mengatakan, Lusi nakal, Lusi akan berkembang buruk, kalau… kalau:..”
“Sudah Lusi-ku, Lusi, Lusi-ku. Ibumu seperti semua ibu. Memarahi kan artinya memperhatikan, artinya mencintai, bukan?” Dikeringkan oleh Putri Arumardi air mata si gadis dengan rambutnya.
Masih juga si gadis itu merintih, “Tidak, Putri Arumardi. Lusi tahu, Lusi tidak seperti ibunya.”
Tertawalah renyah sang selir Panglima, “Tentu saja, mana ada anak kok kembar dengan ibunya. Dengar Lusi, Lusi-ku: kalau Putri Arumardi mengatakan, Lusi adalah kebanggaan Putri Arumardi, bagaimana? Cukupkah itu?”
Langsung gadis itu merebahkan dirinya ke dalam dada serba basah dari wanita yang rupa-rupanya sangat ia puja itu. Dibiarkannya si gadis menangis lirih. Ni Sekethi menoleh dan bergumam, “Kalau jauh, rindu. Kalau dekat, memakan hati. Anak zaman sekarang.”
Tiga hari sesudah kedatangan Lusi tadi, Putri Arumardi meminta izin kepada Nyai Ajeng, permaisuri Panglima Wiraguna, untuk bergabung dengan rombongan istana yang setiap malam hari wafat Sultan Hanyakrakusuma berziarah ke Imogiri. Di bawah pohon tanjung di dekat mata-air yang disebut Sendang Umayi, kedua mereka bertemu lagi, Putri Arumardi dan Lusi Lindri. Seandainya tidak ditarik lengannya, mustahil Putri Arumardi dapat mengenali si Lusi kembali. Memang banyak sekali peziarah berduyun-duyun, apalagi waktu sudah menjelang maghrib, sehingga tidak mudah mencari orang yang khusus dicari. tetapi kali ini karena… masya ‘Allah, Lusi Lindri menyamar sebagai seorang pemuda pedagang Banjar yang mengantar seekor kuda.
Nyaris Putri Arumardi berteriak geli, akan tetapi langsung beliau ditarik oleh “pemuda Banjar” itu keluar kerumunan orang, dan dimasukkan ke dalam semak-semak sepi. Busana istri panglima, yang kendati sudah dipilih yang paling sederhana pun, harus ditanggalkan; diganti dengan kain lusuh yang sekadar selendang penutup bahu, rambut diudal-udal sedikit. Dan cepat gesit, Lusi mengantarkan putri istana, yang sudah lebih tampak seperti simbok belaka itu, ke suatu pedati yang biasanya dipakai untuk mengangkut garam. Langsung kerbau sepasang dicambuk oleh kusirnya, dikawal seorang “jago” perempuan gemuk. Dan mengelindinglah gerobak garam itu menuju ke barat. Tanpa kecupan selamat tinggal, tanpa kata mesra. Dan berpisahlah dua wanita itu, terlindung oleh sayap-sayap malam dini. Dari jauh mulai terdengar sahut-menyahut, Allaaaahu akbar!
[1]     duduk berjemur disengat matahari, sambil mohon keadilan dari Raja
[2]     penasihat utama Pangeran Alit, salah seorang calon pengganti Sultan Agung
[3]     ruang utama istana, pendapa, tempat penerimaan tamu-tamu atau rakyat
[4]     para raja Madura yang kalah dan keluarganya biasanya wajib tinggal di ibu kota Mataram
[5]     bahasa tinggi: engkau
[6]     berkebiasaan negatif
[7]     Anak tak sopan berjalan di tempat terlarang!
[8]     wilayah Jawa Timur paling timur
[9]     guru Pangeran Alit
[10]    penyekat ruang lepas
Maka ketika pada suatu malam gelap Putri Arumardi, yang menyamar sebagai perempuan pasar, mengetuk pintu rumah Mbah Legen di Jali, dengan membawa berita, bahwa seorang gandek khusus telah diutus dengan kuda yang paling cepat larinya ke medan laga Jawa Timur, dengan membawa perintah rahasia dari sang Raja, bahwa Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya harus dibunuh secara terselubung, maka teranglah pula bagi Duku, bahwa pengungsian di Jali pun tidaklah aman lagi. Tak ada jalan lain. Dan kedua kakek-nenek itu pun memakluminya, Putri Arumardi harus ditemani Duku, bersembunyi di wilayah Kedu. Cukup jauh dari jangkauan terkaman Raden Mas Jibus yang kini merajalela di seluruh Mataram. Suatu gulungan lakon wayang beber yang baru, penuh tanda tanya, masih harus dijereng dan dijalani.
Maka pada malam terakhir di rumah bambu Mbah Legen dan Nyi Gendis, dengan kemrosak Sungai Jali dan kemrisik jengkerik-jengkerik serta burung-burung malam selaku peneguh hati, Ni Duku merasa kuat karena berteman sang Putri penyelamat sahabat-sahabat, dan yang mendapat pahala, menjadi satu-satunya warga Puri Wiragunan yang selamat dari dendam-kesumat Susuhunan Mangkurat si Jibus. Akan tetapi ia merasa lunglai juga karena sadar terpaksa harus berpisah lama dari Lusi tersayang.
Dengan hati sayu serasa hanyut, Ni Duku tak dapat menghindar dari kenangan sedih kepada Tumenggung Wiraguna. Bolehkah ia sekarang bersyukur dan memanjatkan kidung bahagia karena Allah Mahahakim, hanya karena kutukan amarahnya nun ketika itu terkabul kini? Karena Tumenggung Wiraguna tidak menemui maut seperti sepantasnya bagi seorang prajurit, tertusuk keris atau tombak, tetapi hina megap-megap dan menyeringai sakit, berteriak setengah gila, seperti budak kampungan karena perutnya terbakar oleh racun tikus belaka.
Pernah Duku menyumpahi Tumenggung Wiraguna, nun kala itu di padang ketika ia dan dua sahabatnya, Bolu serta Untir-untir, diburu oleh pasukan Wiraguna: semoga kau mampus, cuma karena minum racun tikus! Ya, Wiraguna mati karena diperintahkan minum racun tikus. Haruskah ia sekarang bersorak-sorai merayakan kemenangan dendamnya?
Aneh, dalam rangkulan Putri Arumardi, istri termulia dari Tumenggung Wiraguna, rasa dendamnya justru menguap. Engkaukah, Arumardi, sang sakti Wiraguna, engkaukah yang mampu memberi keseimbangan, bahkan lebih dari keseimbangan belaka, sehingga segala kejahatan suami terkalahkan oleh jiwamu yang luhur, yang tanpa pamrih dan setiawati? Sehingga kebencian rasa dendam dalam hati Duku pelan-pelan menyingkir untuk bersembah hormat kepada rasa yang lebih mulia, yakni berbelas hati? Ah, sebetulnya sudah sejak dahulu, lama nian namun tak terasa, Duku tidak lagi bersikap sekeras di awal terhadap suami Putri Arumardi ini. Ya, terkenanglah lagi saat itu, saat pertemuan pertama setelah Duku dan Slamet berhasil menyelamatkan Tejarukmi.
Mengkilat-kilat serba benci selaku singa terluka atau semacam begitulah, angkuh sombong pura-pura tak tahu, ya macam itulah pada mulanya Duku menduga dia, sang Panglima Besar. Akan tetapi hanya sesaat Wiraguna menghinggapkan pandangannya kepada sosok dan wajah wanita dewasa yang dulu pernah muncul dalam riwayat hidupnya hanya selaku seorang gadis kencur bernama Genduk Duku. Percakapan yang sebe­narnya bukan percakapan yang berjalan kala -itu, beku serba diam. Tetapi ketika Duku mengundurkan diri dengan laku dodok[1]) yang sengaja diperlambat, dan ia berhasil mencuri penglihatan kepada tokoh besar itu, langsung entah mengapa, kebenciannya meleleh. Sebab mata tajam Ni Duku melihat, betapa kedua mata lawannya lelah berlinang-linang, kemudian jari-jari tangannya mengusap air mata yang nyaris menetes. Wajah dan sikapnya yang membongkok di muka kakaknya sama sekali tidak menunjukkan singa yang dikiranya siap mengaung menerkam. Ternyata ketika itu Wiraguna tidak lebih dari seseorang yang tak berdaya dan yang pantas dibelaskasihi. Bingung sebetulnya waktu itu Ni Duku memohon diri mundur, lalu berhenti berjalan jongkok sebentar di muka pintu untuk merenung di pringgitan gelap. Serasa segala-galanya gelap tak masuk akal, dan Duku hanya ingin menuju ke gandoknya untuk menangis sendirian. Ketika itu penusukan Tejarukmi dan suaminya belum terjadi; tetapi mengapa harus terjadi kejadian itu, yang jauh lebih kejam dan mengerikan daripada pembunuhan Rara Mendut? Terobek-robek ulanglah, lebih menganga dan nyeri dari dulu, luka-luka hati Duku yang sebetulnya sudah mulai sembuh.
“Ketika itu, Mbah Gendis, di Puri Pahitmadu, ketika itu Duku melihat Wiraguna begitu tua dan remuk, sehingga entahlah, Mbah, dan terlebih lagi sesudah pelarianku berhari-hari seperti orang gila di punggung kuda lalu tersungkur pingsan di pasir pantai, Duku bahkan mulai membalik, tersambar rasa kasihan.
“Memang dendamku pada orang satu ini masih membara menyakitkan. Akan tetapi waktu tersungkur di pasir, suatu embun pagi-baru entahlah mulai menyelimuti jiwaku yang masih terbakar rasa dendam. Tiba-tiba Duku sadar, entah dari mana, betapa lebih hina dan sengsara kaum algojo macam Wiraguna itu. Duku masih tergolong manusia yang disayangi. Tetapi Wiraguna? Bagaimana seharusnya, Mbah, apa yang harus lebih menang dalam jiwa wanita yang telah menjadi ibu juga? Dendam yang sah atau belas kasihan?
“Lama-lama dalam Duku pudarlah keyakinan bahwa Rara Mendut dan Pranacitra tetap mendendam di Kahyangan sana, seolah dari sana seperti Dewi Ambika masih bernafsu membalas Bisma dalam wujud Srikandi. Atau seperti Begawan Bagaspati yang membunuh Raja Salya dalam selubung Yudistira. Bagaimana pendapat Mbah Gendis? Pendapat seorang ibu dan nenek seperti Mbah Gendis?”
Diamlah Nyi Gendis. Sebab Nyi Gendis dan Mbah Legen pun punya tungku dendam masing-masing. Juga sama seperti Duku, tergolong kaum tumbal yang berhak penuh untuk mendendam sengit kepada kaum pembuat tumbal.
“Sudahlah, Nduk. Sudah larut malam. Kita bukan kaum keris, bukan pendekar tombak, dan kakek-nenekmu hanya pembuat gula kelapa. Orang kecil bodoh, mana bisa menjawab.”
“Justru mereka yang membuat gula mampu, Mbah Gendis.”
Diamlah ketiga-tiganya. Betapa banyak keinginan manusia, betapa banyak pula halangannya.
Berdirilah Mbah Legen, dan sambil keluar ia berkata datar, “Aku mau mengatur air sawah. Sana! Kalian istirahat! Jangan bergadang terlalu malam!”
“Kalau pulang, tolong bawakan buah-buah jagung segar,” pesan istrinya, “untuk bekal besok pagi”.
“Baik, tetapi sudahlah, sana tidur!”
Istrinya masih memberi bekal perhatian kepada suaminya dengan caranya sendiri, “Apa perlu mengairi sawah sekarang?”
“Perlu,” jawab Mbah Legen basa-basi.
Sawah perlu diairi. Jiwa pun juga, pikir Ni Duku dalam remang-remang ruang, sambil memegang tangan Nyi Gendis dan Putri Arumardi yang sangat lelah telah tertidur pulas di sampingnya.
Apakah bercerita suka-duka tergolong juga mengairi jiwa yang sering terasa kering kesepian? Mengapa tadi banyak berbicara tentang Wiraguna dan Slamet? Apakah itu bukan sebentuk kepuasan hati juga, setopeng kenikmatan gelap mendendam secara halus terselubung? Ah, semoga tidak, walaupun Ni Duku merasa berhak mendendam.
“Widya wong wikan wijana,
handarbeni dugi lawan prayogi,
wruh mring patut pantesipun,
tyas watara riringa.. “[2])
Tembang dari mana berdendang dalam benak Ni Duku? Belum, belumlah arif Ni Duku. Akan tetapi pergaulannya dengan Slamet, anak nelayan yang pendiam dan hanya berbicara bila memang perlu berbicara, telah mengajarnya banyak. Tidak semua padi menuntut tanah basah selalu, dan tidak semua angin menguntungkan layar perahu. Hidup dewasa adalah seni memadu kekuatan angin yang melawan dengan pengaturan sudut bidang layar serta kemudi yang menyesuai. Dengan begitu perahu yang melawan angin tetap bisa maju. Ah, sebenarnyalah nasibnya jauh lebih ringan daripada nasib , sang Putri Arumardi yang harus seatap dengan orang yang jelas tidak beliau cintai. Betapa agung, betapa telah lepas bebas wanita ningrat-anak begawan itu-dari lumpur pertimbangan duniawi. Terkurung namun merdeka. Jaya dalam penjara. Kekuatan batin apa yang membuat Arumardi menjadi Arumardi? Keangkuhan apa, apabila itu boleh disebut keangkuhan, yang mempertahan-kan Eyang Pahitmadu tegak jujur sampai saat meninggal beliau? Pertimbangan tidak dengan bobot mati cakrawala, yang bukan lingkaran murni tetapi nyata, bukan cengeng impian, itukah? Hitam malam yang masih berbintang sekunang? Lurusnya pohon kelapa yang luwes sesuai tekanan angin tanpa patah? Lunaknya air yang mampu mengangkat kapal raksasa, ya, bahkan bau sengak suami yang ternyata menikmatkan. Bukankah itu yang dulu berkali-kali dipetuahkan oleh Ni Semangka, pengasuhnya dulu, namun tidak pernah tertangkap artinya oleh Genduk Duku yang kini sudah lama waktunya meninggalkan masa genduknya itu?
Sampai larut malam, Ni Duku tidak dapat memejamkan mata. Sampai akhirnya cahaya pelita, yang ditinggalkan Mbah Legen di lincak tadi, dipaksa padam oleh angin malam yang menyelinap masuk lewat pintu yang masih terbuka. Dan Duku pun ikut padam bebas sadar. Demi hari esok yang masih merasa berhak mendapat gilirannya. Hari esok yang mana? Ah, biarlah nanti gulungan-gulungan wayang beber lakon hari-hari esok berbicara sendiri.
[1]     berjalan sambil berjongkok gaya abdi Jawa.
[2]     “Keunggulan ilmu orang arif berjiwa luhur,
memiliki kepekaan dan pertimbangan,
melihat mana yang patut dan pantas,
hati yang tahu mengira-ngira serba bijak….”