Genduk Duku
GENDUK DUKU
DISEBAT, ya
disebatlah terus tanpa putus kuda-kuda yang mereka tunggangi, membalap tuntas
tenaga, tersengat cambuk tali-tali rotan yang serba mengiris-iris daging
binatang-binatang bertubuh ningrat itu; yang kencang meluncur seolah
mengiris-iris ruang dan waktu juga, menyibak ruang padang hewan milik istana
Susuhunan di Karta yang membentang sangat luas sampai di Pantai Selatan;
membelah waktu yang tadi menjadi saksi, ketika keris kekuasaan merenggut hayat
dua manusia yang hanya satu kesalahannya, saling mencinta. Secepat-cepatnya,
sejauh-jauhnya, semua yang di belakang ingin mereka tinggalkan. Tiga orang.
Ternyata wanitalah yang paling depan. Gadis remaja lagi. Yang lainnya, menilik
pakaian, sosok, dan roman muka mereka yang udik bloon, laik-layaknyalah
abdi-abdi si gadis itu, yang tampak sedang tersayat-sayat oleh suatu kesedihan
yang pedih memberang. Mata merah, wajah memeleotkan tangis terengah-engah.
Berkali-kali gadis itu membungkuk lebih dalam lagi, tangan kirinya melepaskan
pegangan rambut kuda, dan mengusap air mata yang membanjir membaurkan
pandangan. Mahir serba mengagumkan memang ia` menguasai keseimbangan, seperti
bersatu dengan tubuh kuda, walau galau-balau galih batinnya.
Samalah juga
serba guncang goyah hati kedua pemuda pengiringnya yang getir menggigit bibir,
dahi mengernyit dan ,berulang-ulang menoleh, was-was menyelidik ke
cakrawala belakang; ke arah lima atau tujuh kepulan debu yang mengejar mereka.
Harus diakui, luar biasa trampil si gadis di depan itu menguasai kudanya.
Seperti keranjingan Wara Srikandi-Edan dia, seolah tidak duduk tetapi terbang
di atas punggung binatang pacunya yang seperti perunggu terpoles rempelas asam,
mengkilat-kilatkan api kesal amarah; amarah yang sudah membuih beringas di
mulut-mulut kuda bermata melotot; sedangkan kepulan awan debu yang mereka
tinggalkan tambah menegangkan lagi berang peristiwa. Nyaris putus asa ketiga
pengkuda kencang tadi berikhtiar melepaskan diri dari ancaman yang mengepul
menghantu di belakang mereka. Pemburu-pemburu bayaran betul, berotot alot serba
ganas berangas, para pengejar korban yang berteriak-teriak mencaci maki; dan
yang tidak mau kalah mengepul-ngepulkan awan debu juga sewarna mesiu gertakan
maut.
Peristiwa apa
yang telah dan sedang terjadi di padang seni-berburu para bangsawan istana
Mataram di Pantai Selatan ini? Yang serba kaya sapi, berbondong kerbau dan
rusa-rusa itu? Mengapa yang mereka kejar-kejar bukan binatang-binatang yang
memang sudah tersedia demi acara-acara perburuan meriah kaum istana itu saja?
Tinggal tembak tombak. Daripada susah payah mengejar tiga orang muda itu?
Setiap petani dan nelayan pantai di sekitar Sungai Oya dan Opak tahu
hulu-hilirnya. Gadis remaja itu Genduk Duku namanya, dayang tersayang Rara
Mendut dari Pantai Utara; Rara Mendut wanita rampasan dari Puri Pati yang
menolak dijadikan istri selir panglima besar balatentara kuasa Mataram,
Tumenggung Wiraguna. Dan si Genduk Duku itu ikut menolong puannya melarikan
diri dari Puri Wiragunan, demi cinta puannya kepada pemuda pilihannya sendiri,
Pranacitra. Kedua muda pujaan gadis itu telah tertusuk oleh keris sang Panglima
di pasir muara Sungai Oya-Opak sana siang tadi. [1]) Dan
kini pasti giliran Genduk Duku-lah, yang akan dijadikan tumbal malu sang
Penguasa yang naik pitam merasa dikalahkan perempuan, paling tidak digerogoti
kewibawaannya.
Bagaimana bisa dibiarkan! Semua wanita di seluruh Kerajaan Mataram
adalah milik Susuhunan-ing-Ngalaga Sayidin Panatagama, apalagi
perempuan-perempuan rampasan dari negeri yang pernah memberontak. Itulah hukum
kerajaan Jawa. Rara Mendut sudah dianugerahkan Sri Baginda kepada panglima
besarnya. Maka letak masalahnya sungguh tidak pada soal asmara, tetapi pada
kenekatan melawan wewenang keramat dan hak kenegaraan mengenai setiap wanita
dalam kerajaan. Setiap wanita. Tidak terkecuali. Dan dua pemuda, yang menjadi
abdi-abdi Pranacitra, dan ikut berdagang jauh dari Pekalongan itu pun, jangan
tanya ampun, harus mati juga. Negerinegeri Pantai Utara )elamanya pembangkang
kedaulatan Pusat Mataram. Tanah ngarai yang semakin kaya semakin merasa diri
merdeka dari kewibawaan gunung-gunung megah dan suka membandel, mana mungkin
dibiarkan. Betul Pantai-pantai Utara tidak menerima air dari gunung Putra
Halilintar yang bernama Merapi, akan tetapi mutlak harus selalu ditegaskan,
bahwa orang pantai wajib menyembah kepada kewibawaan wilayah Selatan, karena
kemakmuran datang dari gunung. Itulah tata semesta yang dari awal mula sudah
ditakdirkan dan yang setiap hari terang-benderang dibentangkan oleh alam.
Bukan! Soalnya bukan cuma soal sepele macam asmara yang berpayu-payah
didambakan orang-orang kaum cacing-kecoak. Ini soal pengakuan tata tunggal yang
telah diatur dan disahkan oleh Allah serta para dewata.
Namun dari
pihak lain, Genduk Duku, si dayang remaja yang sejak kecil mahir naik kuda
tiada tandingannya di kalangan semua putri istana, memacu kudanya tidak karena
takut diburu seregu serdadu. Silakan, Duku rela mati, asal jangan dengan cara
konyol. Silakan! Genduk Duku hanya ingin enyah dari ruang padang kaum istana
yang membunuh puannya terpuja dan tercinta. Ia hanya ingin cepat menjauhi
kenangan penggelap hati yang menggumpal sejak Puri Pati dibakar hangus oleh
balatentara Mataram, dan ia bersama puan mudanya dikurung dalam istana
Wiragunan. Lain tentulah kedua abdi Pranacitra, si Bolu dan Untir-untir, yang
serba ketakutan menyabung nasib dengannya.
Rara Mendut,
Raden Rara Mendut! Apa sebutanmu di istana? Harimau betina dari padang ilalang
Pantai Utara, ah itulah! Genduk Duku pun harimau kini. Bukan si Genduk perawan
kencur atau si manis Genduke. Sungguh sulit dipahami, Rara
Mendut pujaan, sekaligus kakak tercintanya sudah tiada. Terbunuh, ya! Namun
terbunuh dalam kemuliaan sikap, dalam keagungan tindak yang berdaulat dan yang
berani untuk memilih. Memilih sendiri kekasih. Artinya memilih sendiri perahu
kehidupan, mengemudikan sendiri dengan arah yang ditentukan sendiri. Sungguh
luar biasa. Tak terduga sampai ke situ, juga oleh Genduk Duku anak asuhan
istana, walaupun ayah almarhum Genduk Duku bukan bangsawan. Hanya rakyat kecil.
Hanya?
Baru
sekaranglah Genduk Ddku sadar, ya, berkat hikmah sikap Rara Mendut almarhumah,
betapa mulia sebenarnya derajat dan martabat rakyat kecil. Betapa merdeka,
betapa lepas cakrawala-cakrawalanya, betapa kencang dan segar udara yang
dihirup rakyat di ladang di lereng di sawah di pantai. Lain sama sekali dari
nasib di sangkar dalam kisi-kisi kayu jati berperada palsu di puri.
Mengapa
kearifan sesederhana ini belum pernah terlintas gamblang dalam benak Genduk
Duku dahulu? Tentulah, usia hampir tiga belas perputaran matahari belum
memungkinkan penyulingan kesimpulan dari suatty kematangan yang telah teruji.
Namun Kak Mendut ternyata guru ulung dalam seni keberanian mengendalikan arah
kehidupan di tangan sendiri. Karena itukah sang Rara rupa-rupanya memperoleh
anugerah rahmat Hyang Widi, terangkul kembali dalam pelukan sang Air serba
bergelora, terlabuh dalam rahim maha gaib sang Samudra Raya? Menyedihkan namun
sekaligus membahagiakan. Sial? Tidak. Justru terhormati oleh suatu pelayanan
terakhir yang perkasa dari Alam Agung.
Rara Mendut
puan terpuja, kakak tersayang, telah tiada. Tiada? Genduk Duku si abdi dina,
betapa tak terhancurnya sang wanita muda Mendut. Dan betapa jiwa Rara Mendut
hidup bergelora terus dalam sikapmu sekarang. Alangkah kuat manusia, biar masih
remaja pun, bila merasa dalam kalbunya berpadu dua kekuatan, kekuatan diri dan
kekuatan sang tersayang. Mungkin itukah sebabnya, mengapa kaum ibu yang terbiasa
berbadan dua adalah orang-orang yang luar biasa kuatnya? Jauh lebih kuat dari
panglima siapa pun? Panglima tukang merenggut nyawa. Wanita ibu melahirkan dan
menjaga kehidupan. Untuk itu dibutuhkan kekuatan ganda.
Mengintailah
tajam si gadis ke belakang. Pemburu-pemburunya yang bertombak
ganda sudah lebih mendekat. Cemas juga rasanya, sebab kuda sudah sampai batas
kemampuannya, sedangkan dua abdi di belakangnya bukan pembalap ulung. Keadaan
sungguh mencemaskan.
Ya, menangis
memang Genduk Duku. Dengan tangis nyaris tanpa suara karena terlalu mendalam
sedihnya. Entahlah, manusia menangis bila terlalu menderita. Tetapi manusia
menangis pula bila berlimpah kebahagiaannya. Keharuan dari penjuru angin mana
yang sedang mendorong layar-layar perasaan Genduk Duku yang baru saja
meninggalkan masa anak-anak, tetapi sudah begini pagi, tanpa terduga, langsung
tergembleng oleh tragedi yang memperkokoh seluruh tulang sarafnya? Dalam waktu
pendek hanya dua musim? Inikah buah perjuangan Raden Rara-nya? Menjadi gadis yang
kini merdeka sungguh-sungguh dari segala kurungan kencana istana, entah Pati,
entah Mataram, entah mana lagi? Betapa tidak? Benihnya pun sudah unggul dari
dunia merdeka. Almarhum ayahnya tumbuhan dari padang-padang kuda luas Pulau
Bima, walaupun almarhumah ibunya hanya karyawati sederhana dalam kadipaten yang
kalah. Namun jelaslah kini, kebanggaan telah menyusup ke dalam kalbu si gadis
yang semakin gesit bahkan seolah menari-nari di atas kudanya yang tercambuk
kencang. Sebab bukankah Kak Mendut anak rakyat kecil juga, wanita muda lagi,
satu-satunya di seluruh negara yang berani melawan kehendak seorang panglima
besar kerajaan jaya? Tunggulah, Kanjeng Raden Tumenggung Wiraguna! Tunggu saat
hukum karmamu! Semoga kau tidak akan meninggal sebagai ksatria yang gugur di
medan laga berkat keris atau tombak lawan. Semoga kau mampus, cuma karena minum
racun tikus!
Abdi yang
bertubuh pendek agak gemuk, si Bolu dengan susah menghampiri si gadis, dan
sekuat kerongkongan berteriak, “Hei, kita ke mana ini? Mereka semakin mendekat!”
Tetapi si gadis tidak menjawab. Mata yang masih merah mengerling sedikit.
Satu-satunya jawabannya ialah cambuk yang disebat lebih keras. Dan ter pontal-pontal-lah Bolu dan
Untir-untir di belakang gadis itu. Gila, pikir si Bolu. Tetapi sikapnya yang
begitu tegar toh memperkuat hatinya yang sudah amat cemas. Kalau anak perempuan
sekecil itu begitu yakin, apa tidak memalukan kalau dia dan rekannya putus asa?
Tiba-tiba, di
balik bukit kecil beralang-ilalang Genduk Duku tajam membelok ke arah pantai. Gila,
mau ke mana anak itu. Membelok lagi. Sekali lagi membelok. Dan tiba-tiba mereka
melihat, di tengah rumpun-rumpun bambu dan pohon kelapa, sebuah bangunan mungil
berbingkai tembok-tembok bata merah dengan tiang-tiang penguat berukir yang
bermahkotakan kuncup-kuncup besar berbentuk bunga teratai dari batu kapur
putih. Langsung tanpa sopan santun kula nuwun Genduk Duku
menyerbu pintu gerbangnya dan masuk ke dalam halaman yang kelihatannya tidak
terjaga; disusul Bolu serta Untir-untir yang serba penuh pertanyaan namun patuh
saja mengekor si gadis. Tetapi langsung setelah mereka menghentikan kuda
tunggangan mereka yang basah keringat menguap, segera halaman penuh dengan
pasukan prajurit siaga tempur. Cepat seperti anak panah keluar dari busurnya
seorang perwira muda berkuda ke luar gerbang dan langsung menjemput regu
pengejar tadi. Kira-kira sepuluh kali jarak lemparan batu dari gerbang, regu
pemburu tadi dihentikan olehnya. Tampak mereka beringas berbincang-bincang.
Akhirnya regu pengejar tadi, sesudah menerima sepucuk surat dari perwira muda
itu dan mengunyah beberapa keragu-raguan, pelan-pelan mau membalik lalu pergi.
Sementara itu
Genduk Duku dan sahabat-sahabatnya diantar masuk gapura pendapa, membelok
ke gandok wanita, [2]) untuk
dihadapkan kepada seorang nenek berambut putih dengan raut-raut wajah yang sama
sekali bukan ningrat, nyaris simbok udik belaka. Namun
sepasang mata yang warnanya mengingatkan kepada logam loyang blencong
kelir gaib memancarkan batin yang teguh tak dapat ditipu oleh semu,
seolah-olah mengebor ke dalam lubuk yang paling tersembunyi pun.
“Seorang abdi
dari adik-emas Bunda Bendara Pahitmadu, bernama Genduk Duku,” demikian seorang
dayang tua bersembah hormat kepada nenek tadi, “penuh kesedihan ingin bermohon
menghadap Bunda Bendara Pahitmadu. (Kepada Genduk Duku.) Dan kau, Gadis kencur
Genduk Duku, ketahuilah bahwa yang kauhadapi ini ialah kakak tuanmu Tumenggung
Wiraguna. Kemarin dulu Bendara Ayu Arumardi datang kemari, kau kenal sekali
bukan beliv, salah seorang belahan jiwa tersayang Tumenggung Wiraguna?
Beliaulah yang memohonkan perlindungan bagimu dari hati mulia Bunda Pahitmadu.
Untung kau penurut yang baik, Genduk Duku. Telah kautaati tepat segala petunjuk
Bendara Ayu Arumardi kepadamu. Dan dua pemuda berwajah jenaka di belakangmu
itu? Siapa mereka? Tak usah kau jawab, Gadis kencur. Kami sudah tahu semua.
(Kepada nenek tua.) Bunda Mulia Pahitmadu, inilah si Genduk yang Bunda ingin
sekali melihatnya. (Kepada Genduk.) Ya, Anak kencur Duku, kami telah mendengar
banyak tentang Rara-mu yang membandel itu. Orang seperti Mendut-mu itu
teranglah menjadi buah bibir semua orang, khususnya di kalangan kami kaum puri.
Dan dayang ciliknya yang sangat mahir naik kuda telah kami kenal pula dari
warta berita. Tetapi janganlah kau tergesa-gesa menyombongkan diri, Genduk
Duku, sebab mati-hidupmu sekarang ada di tangan Bendara Ayu Pahitmadu. Ingat,
beliau kakak Tumenggung Wiraguna. Dan biarpun sang Tumenggung adalah panglima
besar Mataram lagi tangan kanan terpercaya dari Sri Susuhunan, akan tetapi
terhadap Bunda Pahitmadu, kakaknya, sang Prajurit Perdana Kerajaan Mataram pun
takut, namun dalam artian ajrih-asih.[3]) Maka
berbahagialah dalam rumah pesanggrahan ini, kalian bertiga. Tetapi ingat,
jangan berbuat yang bukan-bukan.”
Selama dayang
tua itu menerangkan semua itu, nenek tua dengan sepasang mata loyang dalam
wajah simbok (namun betul-betul simbok dalam arti terdalam,
sang Bumi Induk dan pengemban kehidupan), hanya hening tersenyum nyaris tak
kentara. Tetapi kedua mata tembaga loyangnya seperti lahap menikmati sosok
remaja serta wajah menunduk yang rupa-rupanya sangat mempesonanya. Dan dua kali
ia mengangguk kepada Genduk Duku. Maka dayang tua tadi mengantar Genduk untuk
mendekat pada pangkuannya. Diletakkannya kepala Genduk Duku pada kedua paha
bertutupkan kain mulia yang berbau melati. Dengan sayang rambut dan pipi-pipi
Genduk Duku diseka oleh nenek tua itu, yang penuh perkenan hati hanya diam
tersenyum, sambil kadang-kadang mengangguk-angguk. Tak dihiraukannya bau
keringat serta debu si gadis yang tentulah masih serba kotor itu.
Akhirnya
dengan suara serak yang sayang sulit ditangkap, Bendara Pahitmadu mencoba
berkata-kata ke dalam telinga dayang tuanya, yang segera mengangguk-angguk
tanda mengerti. Maka di bawah pandangan penuh sayang dari kakak Tumenggung
Wiraguna yang ternyata punya pandangannya sendiri tentang Rara Mendut dan
dayangnya, Genduk Duku lalu diantar ke luar. Harimau muda pun masih wajib untuk
mandi.
Laut. Laut
lazuardi. Luas. Leluasa. Lenggara langgam laras. Baru pertama kali ini Genduk
Duku berlayar di laut. Oh, laut lazuardi yang disontek warnanya oleh permata
kecubung para raden ayu. Bagi manusia daratan seperti Genduk Duku, laut sungguh
merupakan pengalaman perdana yang indah. Luas leluasa laut itu, penjamin
kemerdekaan yang hanya terbeli dengan tekad bayaran maut, penguat jiwa bagi
mereka yang ingin menjauhi ketidaksenonohan adat daratan yang rapuh tak
ketolongan. Hanya sayang, nah, inilah lagi yang menggerigiti hatinya, tanpa
Rara Mendut.
Jangan terlalu
bersedih, peringatnya dalam hati. Aja kagetan,[1])petuah Ni
Semangka, pengasuhnya dulu yang entah sekarang bagaimana nasibnya. Semua ini
hanyalah laku dan lakon yang tak perlu dirisaukan. Orang seperti Ni Semangka
biasanya tetap akan selamat, karena sangat pandai menyesuaikan diri dan lekas
ikhlas. Tidak memberang, tidak memberontak. Sumarah selalu dan
melaraskan diri dalam setiap kenyataan yang amat pahit pun. Sebaliknya,
watak-watak seperti Rara Mendut, dan terus terang saja Genduk Duku juga, tidak
akan pernah sederhana hidupnya. Tergolong anak nakal. Ya, nakal karena kaya
akal. Dan sering akal yang menurut adat disebut “yang bukan-bukan.”
Namun
bagaimanapun Genduk Duku harus bersvukur atas segala rahmat perlindungan Yang
Mahakuasa terhadap dirinya. Ini semua jasa Putri Arumardi. Semakin kagum Genduk
Duku terhadap Bendara Raden Ayu satu ini, istri selir Wiraguna yang
memungkinkan Rara Mendut lari Dengan pahlawan hatinya, dan yang amat arif
menata penyelamatan abdi-abdi Pranacitra dan Genduk Duku dari amarah suaminya.
Sebab memang betul apa yang beliau pesan untuk terakhir kalinya sesudah
tumenggung yang marah itu pergi mencari Mendut, “Tidak adil bila kau, Genduk,
beserta abdi-abdi Pranacitra, ikut terkena tombak amarah Kakangmas Wiraguna.
Sebab kalian pada dasarnya tidak bersalah apa pun. Dan seandainya pun dinilai
salah, berbahagialah karena semua itu demi pembelaan cinta yang indah. Aku
merasakan sendiri Genduk-ku, apa arti penderitaan tidak boleh memilih. Tetapi
tak mengapalah. Agar beberapa anggrek dapat tumbuh kendati tersembunyi di
tengah rimba belantara yang buas sekalipun.”
Ya, siapa
sebetulnya lebih agung jiwanya? Rara Mendut atau Arumardi? Siapa lebih benar?
Wibisana atau Kumbakarna?[2])Ternyata tidak semudah itu
persoalan dunia dewasa. Apakah Genduk Duku telah siap masuk dalam dunia dewasa
yang rupit ini? Selamat jalan masa anak-anak fajar yang masih dapat
bersorak melihat intan-intan embun di dedaunan. Sebentar lagi, bahkan
barangkali sekarang sudah, intan-intan masa kebahagiaan purba akan lenyap,
menguap oleh terik matahari. Ah, pasti pastilah Ni Semangka kini terlindung
oleh kemuliaan jiwa Putri Arumardi. Tak perlulah mengkhawatirkan dayang-dayang
pengasuhnya, yang kendati cenderung ke arah watak Kumbakarna, yakni setia
kepada abang yang lalim pun, berlawanan gaya dengan Duku dan puannya. Ia adalah
manusia yang baik hati.
Namun ke mana
kini arah perahu? Ke timur, mengikuti bintang kejora, ya, betul. Tetapi ke
mana? Betapa baik tuntunan Kahyangan selama ini. Sesudah mendapat perlindungan
Bendara Ayu Pahitmadu (Alangkah dalam makna nama itu!) perjalanan serba
terjamin. Setelah beristirahat sepekan dalam pesanggrahan kakak Tumenggung
Wiraguna, yang ternyata sangat sayang sikapnya kepada Rara Mendut dan
dayangnya, mereka diantar dengan pengawalan seregu prajurit ke arah barat
sampai di tepi Sungai Praga. Aman melewati sungai lebar itu perjalanan
diteruskan sampai ke pos penjagaan Rabut-Besar, perbatasan wilayah Bumija di
timur sungai dan Siti Bumi Kulon Praga; terus ke barat melewati desa Barosot
dan daerah pesanggrahan raja di Ranugading sampai di Sungai Bagawanta. Pos
pertahanan barat di Jagabaya yang sangat ketat dijaga oleh pasukan-pasukan
Wiraguna mereka lalui dengan sangat mudah, berkat surat ialan dan jaminan
Bendara Ayu Pahitmadu. Di desa Jali, barat sungai dengan nama yang sama, Genduk
Duku dan sahabat-sahabatnya dititipkan kepada sepasang petani desa yang oleh
orang-orang di pasar disebut Mbah Legen dan istrinya Nvi Gendis, karena mereka
mencari nafkah dengan membuat gula yang terkenal istimewa enaknya dari sari
pohon kelapa. Dari Jali rute perjalanan sudah tidak perlu lagi mengkhawatirkan
pengejaran pasukan-pasukan Wiraguna, sebab di daerah Pagelen, Urut Sewu,
kedaulatan Susuhunan Mataram tidak mutlak. Para bangsawan daerah Kedu dan
Pagelen memang sukarela bersekutu dengan raja-raja Mataram. Panembahan Senapati[3]) vang mengajak mereka
merdeka dari Kesultanan Pajang. Akan tetapi mereka tidak diwajibkan menyetor
pasukan-pasukan tempur bila Raja menghendaki suatu peperangan; suatu hak
istimewa yang tidak dinikmati oleh para adipati dari Madiun, Pati, Blitar,
Surabaya, Semarang, dan lain-lainnya. Senapati-ing-Ngalaga Mataram[4])boleh
menghancurkan Pati atau menaklukkan Madiun dan Surabaya, tetapi menghadapi
panglima-panglima pegunungan Kedu beliau merasa segan. Untir-untir dan Bolu
sudah sangat mengenal rute jalan dari Pagelen langsung ke Pekalongan, ke rumah
mewah Nyai Singabarong,[5]) ibu
Pranacitra almarhum. Maka tenanglah kedua orang itu menuntun Genduk Duku ke
tanah kElahiran Pranacitra. Sebetulnya ada jalan lebih enak melalui Krasak,
Borobudur, Gunung Tidar, Kedu, lalu Candirata, tetapi demi keamanan terpaksalah
dipilih jalan menyusur sisi barat Gunung Sumbing dan Sindara, melalui Sempura,
Wanasaba, lalu Candirata. Tinggal Weleri, lalu Pekalongan. Apa boleh buat.
Melalui hutan gelap hanya sendirian bersama dua orang bujang nakal. Tetapi
belati di pinggang yang selalu siaga sudah cukup untuk membela diri apabila
godaan yang bukan-bukan dari si Bolu atau Untir-untir melonjak. Tetapi untuk
berbuat jahat macam itu, kedua pelayan tersayang Pranacitra itu pasti tak mau.
“Kau tidak
suka tinggal di sini?” tanya Nyai Singabarong penuh ramah kepada Genduk Duku.
“Kau gadis yang cerdas, dan pasti maju dengan ikut aku. Selain itu, aku janda
seorang diri. Akan sedikit terhiburlah aku oleh kehadiranmu di sini; kau yang
telah setia dan berani menyabung nyawa bagi anakku Pranacitra.”
Tetapi Genduk
Duku, penuh terima kasih kepada pedagang kaya di Pekalongan itu, dengan halus
namun tegas memohon meneruskan perjalanan. Dan alasannya sulit dibantah oleh
Nyai Singabarong. “Hamba masih harus memenuhi kewajiban suci. Menemui orang tua
dan wali Rara. Dan rasa-rasa hamba, Genduk Duku menggantikan Rara Mendut di
Telukcikal.[6]) Dijadikan
budak mereka aku pun rela. Demikianlah lubuk hati hambamu merasa, bahwa dengan
sesuatu, entah bagaimana, Rara Mendut tidak boleh hilang begitu saja.”
Itu pikiranmu
sendiri atau memang ilham dari seorang gurumu?”
“Hamba pun
tidak tahu, Puanku yang amat baik, namun aku merasakannya demikian.”
” Kau berhati
budiwati, Genduk kecil. Tetapi manusia tidak dapat diganti begitu saja oleh
manusia lain. Apa kau kira ada pengganti untuk Pranacitra-ku?”
“” Maafkan,
Puan besar. Bukan itu yang hamba maksud. Memang mungkin sekali Genduk Duku keliru.
Namun hamba bagaimanapun harus pergi ke Telukcikal dahulu, paling sedikit untuk
memberitakan peristiwa Putri Mendut kepada orang tua dan sanak saudara-nya.”
Tak terduga,
tiba-tiba Genduk Duku dirangkul erat-erat oleh puan pemilik armada dagang yang
terkenal selaku wanita kuat lagi angkuh itu, namun yang kini lunglai menangis
lirih, “Kau masih gadis kecil. Tetapi sudah searif itu kata-katamu. Pasti itu
kau belajar dari Rara Mendut yang belum pernah kulihat itu. Ya, walaupun aku
belum melihat pilihan hati anakku, aku sekarang sudah tahu, betapa betul
pilihan Pranacitra. Jauh lebih betul dari ibunya. O, Prana, O, Citra-ku!
Barangkali kepergian anakku hukumanku juga, karena aku selalu memaksakan
kehendakku kepada dia. Berat dan getir hukuman semacam ini, Nduk. Tetapi
barangkali sudah beginilah perbandingannya. Aku, puan armada dagang yang besar,
maka besarlah pula hukuman orang besar bila berbuat kesalahan. (Kemudian
langsung terhentak gemetar, suara melengking.) Tetapi mengapa anakku yang
menjadi tumbal agar aku semakin arif? Padahal semakin tua juga aku ini? Genduk
Duku! Ah, namamu nama gadis kecil. Tetapi jiwamu sudah melebihi orang dewasa.
Ya, aku yakin, itu karena pengaruh Rara Mendut. Sayang kau tidak mau tinggal
bersamaku di Pekalongan sini. Tetapi memang aku cuma memikirkan hiburan untuk
diriku sendiri. Tentulah duniamu bukan dunia dagang dan armada pengumpulan
barang dan uang. Dan ya, tentulah, kau harus pergi dahulu ke orang tua Rara
Mendut. Kau memikirkan orang lain. Aku hanya memikirkan diriku sendiri.” Dan
tersedu-sedulah Nyai Singabarong menangis, melolong-lolong, sehingga pilu rasa
hati Genduk Duku.
Maka semakin
teguhlah keyakinan Genduk Duku, betapa uang serta kekuasaan melulu sama sekali
tidak mampu membuat orang menjadi bahagia dan kuat. Wiraguna dan Nyai
Singabarong, dua dunia yang seolah-olah bertolak belakang, tetapi ternyata satu
dunia juga. Den Rara Mendut telah menolak masuk dunia itu. Mengapa Genduk Duku
tidak? Kasihan sebetulnya Nyai Singabarong itu, berhari-hari ia menceritakan
kepada Genduk Duku tentang anaknya, tentang hari depan gemilang yang ingin
diberikannya kepada Pranacitra, tentang kekecewaan karena anaknya tidak mau
mengikuti kebijaksanaan ibunya. Dan berhari-hari pula Nyai itu hanya
menanyakan, bagaimana keadaan Pranacitra pada hari-hari terakhir sebelum
meninggal? Apa saja yang diomongkan? Apakah pernah menggerutui ibunya? Apa
pernah mengungkapkan cita-citanya kelak? Kemudian ia bertanya juga tentang rupa
Mendut, bagaimana tabiatnya, sebetulnya siapakah dia, berasal dari mana,
berdarah bangsawan atau tidak? Apakah Genduk Duku pernah melihat dua orang itu
bermesraan? Apa pernah bersanggama dengan Pranacitra? Apakah pernah diperkosa
oleh Wiraguna? Apa masih perawan?. Jangan-jangan puntung rokok itu bukan
puntung rokok sungguhan.
Lama-lama
jengkel juga Genduk Duku mendengar pertanyaan-pertanyaan yang sebagian dapat
dipahami, namun sebagian sudah melampui batas kesenonohan. Tetapi Genduk Duku
tidak marah kepada ibu Pranacitra itu. Ia hanya memahami dan ada sekelumit
kasihan kepada wanita sengsara itu terasa dalam dirinya. Kasihan memang seorang
ibu` yang tanpa sadar ingin mutlak memiliki anak. Tetapi begitulah adat. Semua
wanita Mataram milik Susuhunan dan setiap anak adalah milik orang tua. Dan,
Genduk Duku yang yatim-piatu? Ah, merdeka Gpnduk Duku! Ia bukan milik
siapa-siapa. Batangkali milik Allah subbhanahu wa ta’ala. Tetapi Allah pasti
bukan semacam Tumenggung Wiraguna atau Nyai Singabarong.
Nyai
Singabarong tidak mau melepas Genduk Duku sebelum seorang nelayan yang
betul-betul berasal dari Telukcikal ditemukan. Ya, dengan caranya sendiri Nyai
Singabarong sudah menganggap Genduk Duku sebagai anak sendiri. Sebagai hiburan?
Barangkali begitulah. Akan tetapi toh tidak hanya itu. Genduk Duku bagi Nyai
Singabarong sudah menjadi lambang perubahan sikapnya yang kini ingin ia tata
baru. Pembaharuan sikap yang terlambat memang, akan tetapi lebih baik terlambat
daripada menjadi semakin histeris atau konyol. Tidak. Genduk Duku tidak boleh
ke Telukcikal bila keperawanan serta keselamatannya tidak terjamin sungguh. Ia
harus langsung pergi ke Telukcikal. Sudah hampir satu perputaran bulan Genduk
Duku tinggal di istana Nyai Singabarong. Akhirnya ada nelayan datang dengan
perahu layarnya yang kecil, dan yang mengaku penduduk Telukcikal. Seorang pemuda
dia, yang disuruh teman-teman sekampungnya membeli bahan layar baru di
Pekalongan. Ikut dengannya dua orang perempuan yang ingin mencari kain mori
halus. Baiklah. Sesudah teruji sungguh diri mereka, Nyai Singabarong dapat
mempercayakan Genduk Duku kepada pemuda dan dua orang simbok itu.
Tetapi siapa
yang mengirim pemuda nelayan itu dari Telukcikal ke Pekalongan? begitu tak
habis-habisnya Genduk Duku berpikir dan bertanya dalam hati. Sebab sungguh
mengherankan, pemuda itu mirip sekali wajah dan sosoknya dengan Raden
Pranacitra. Mustahil. Tetapi begitulah nyatanya. Aneh, sungguh aneh. Apakah
karena Genduk Duku terlalu menggumuli peristiwa Rara Mendut dan Pranacitra yang
menyedihkan namun penuh hikmah itu? Apakah ini hanya suatu bayangan ejekan
nasib yang sering membuat walang godong berwujud
persis seperti daun? Tetapi sungguh tidak tersangkal. Ini Pranacitra, bukan
orang lain. Hanya kulitnya jauh lebih sawo daripada kulit nangka kekasih
Mendut. Dan bahasanya masih kurang halus. Tetapi lain-lainnya ielas serupa.
Persis. Bagaimana mungkin? Tidak, ini bukan kilauan khayal Genduk Duku sendiri.
Sebab ketika pertama kali pemuda nelayan itu dihadapkan kepada Nyai
Singabarong, langsung Nyai juga berseru, “Lho, ini kan anakku! Kok…”
Tersenyumlah
sendirian Genduk Duku, tetapi pilu. Bayang-bayang peristiwa untuk sekian kali
meliputi kalbu si Genduk. Kalau begini terus, selalulah bayangan
Mendut-Pranacitra akan menghantu tanpa henti. Aja
kagetan. Aja kagetan. Bagaimana tidak kaget, melihat si
pemuda nelayan itu begitu mirip dengan kekasih puan almarhumah? Sungguh sulit
dipercaya. Kepala oleng, Genduk Duku hati-hati memutar bola-bola mata
kelincinya, dan di bawah naungan bulu-bulu matanya yang panjang ia mencuri
penglihatan ke arah nakhoda muda yang gesit mengatur layar-layar dan kemudi,
tangkas melawan angin timur. Kedua perempuan tua yang sibuk melindungi gulungan
mori pemberian dari kota itu terhadap air asin, masih saja ribut berceloteh.
Biarlah, begitu si Genduk dapat lebih mudah mengamat-amati si nakhoda tanpa kentara.
Ya Allah, sungguh mirip dia dengan kekasih puannya. Bagaimana seandainya dua
perempuan tua itu tidak ikut perahu ini dan dia sendirian dengannya? Gila.
Tentu Puan Singabarong tidak akan menitipkannya kepada si Pranacitra ini. Bukan
Pranacitra dia, ah bukan. Tetapi seandainya… ya hanya seandainya sajalah… ?
——————————-
Laut. Laut
cita kecubung yang serba bergerak mengombak. Laut kemerdekaan yang menganginkan
janji harapan dari awan-awan putih yang tak terikat bentuk beku. Kancah tiada
hingga, penyelenggara nada-nada dahsyat tetapi meyakinkan. Tak henti-henti hati
Genduk Duku bersorak-pesona menikmati guncangan-guncangan perahu yang sungguh
selera gelora kaum kuda balatentara. Tidak. Sungguh tidak berprahara lagi batin
Duku akibat berang remaja yang terluka terlalu pagi; tersobek oleh
peristiwa-peristiwa kaum yang disebut dewasa tetapi tak pernah mau tahu tentang
apa arti dewasa. Luka-luka hatinya sudah mulai sembuh, sebab bukankah hampir
lima pasang musim telah lewat sejak ia meninggalkan Pekalongan, dan di
Telukcikal menemukan seorang suami yang cocok dengannya? Begitu cepat memang.
Tetapi sesudah peristiwa penghancuran Pati kala itu oleh balatentara Mataram,
apakah yang tidak berlalu secara sangat cepat? Apalagi bagi seorang wara-turangga[1]) ulung seperti
Genduk Duku, yang terbiasa dengan kecepatan kuda berlari kencang? Sesudah Pati,
Jayakarta mendapat giliran dua kali diserodok oleh panglima-panglima Mataram,
dan sekarang konon perdamaian telah kembali menaungkan sayapnya.
Seperti tak
percaya dengan matanya sendiri, si Genduk mengamat-amati nakhoda muda, ya,
pemuda yang sama, yang dulu mengantarkannya dari Pekalongan ke Telukcikal, dan
yang sudah dua perputaran bulan ini menjadi suaminya. Syukurlah beribu syukur,
sebagai nakhoda paling muda dalam armada Mataram, ia telah pulang selamat dari
sekian pertempuran laut dekat Indramayu dan Bekasi, dan yang namanya Slamet
juga, sesuai permohonan orang tua asuhnya. Dialah pria yang membuat Genduk Duku
kini sudah merasa diri wanita dewasa betul-betul. Spontan seperti terpanggil,
si nakhoda membalas pandangan Duku. Suami yang baik tidak membutuhkan kata
seruan untuk merasakan getaran himbauan diam dari belahan jiwanya. Garwa,
sigaraning nyawa, belahan jiwa, kata orang-orang istana. Jodo kata
pemuda-pemuda kampung nakal, ijo tur bodo, hijau dan
bodoh. Spontan pula Genduk Duku menutupi mulutnya dengan tangan karena terdesak
untuk tertawa. Mata sang nakhoda membesar mengecil dan alis-alisnya naik-turun.
Ada apa? Genduk Duku hanya menggelengkan kepala. Jangan dikatakan. Edan
apa! Ia hanya berbahasa tangan menunjuk kepada layar yang
menggelembung, menandakan betapa gembiranya perahu begitu melaju. Oh laut, laut
lazuardi, luas leluasa, lenggara langgam laras!
Tersenyum
Genduk Duku mengenang waktu oemuda nelayan, yang sekarang suaminya itu,
mengantarkannya ke Telukcikal. Kebetulankah dia dulu datang berlabuh di
Pekalongan? Apa yang kebetulan dalam lakon luar biasa yang selama ini dialami
si gadis remaja Duku sampai ia jadi wanita cepat dewasa sekarang ini? O laut,
laut cita kecubung yang mengkilau karena terasah angin dari segala penjuru.
Benarkah kau biru lazuardi hanva serba kebetulan?
“Ada apa?”
seru suaminya melawan deru ombak-ombak sambil maju mengatur layar yang
tiba-tiba membelok lepas tali.
Genduk Duku
hanya menggelengkan kepala dan :ersenyum padanya. Mendadak ia pegang pergeangan
kakinya erat-erat. Dan hanya tersenyum saja, istrinya itu. Bukan pemalu si
Duku. Ya, masih ingat betul ia kepada si Gadis Duyung dulu, yang bernama Mendut
itu. Dan sekarang, inikah penggantinya? Mengapa ia harus selalu bersua dengan
gadis-gadis binal bergairah? Padahal ia sendiri lebih suka bersikap pendiam?
Ilham mana yang sepancawarsa[2]) yang
lalu mendorongnya untuk mencari kain layar atas nama teman-teman dan
mengantarkan dua wanita pembeli mori dulu itu ke Pekalongan? Hanya untuk
kembali ke Telukcikal bersama seorang gadis aneh, titipan si puan kaya
Singabarong?
Kek Siwa, yang
menjadi guru nelayan sampai ia menjadi pelaut cukup baik, sungguh sayang telah
meninggal. Tak kuat ia menahan dukanya, akibat si Mendut kekasihnya direnggut.
Sayang, Kek Siwa almarhum tidak lagi dapat mendengar dari gadis yang kini
menjadi istrinya itu, tentang lakon yang kendati sedih sekalipun, namun
membanggakan. Begitu sayangnya Kek Siwa kepada si Mendut yang direnggut itu,
sehingga ia semakin layu, tersedot gairah hidupnya. Apalagi setelah ia
mendengar kehancuran Pati. Lebih dari empat puluh hari ia mencari keterangan
dari sana-sini, tetapi tak menemukan jenazah Mendut maupun kesaksian mata
sebutir pasir pun tentang nasib anak angkatnya. Sesudah itu terdengar
berita-berita burung tentang hal-hal yang aneh-aneh dari ibu kota kerajaan yang
begitu jauh; itu pun hanya sesisik demi sesisik tak keruan sosok ikannya. Nenek
Siwa ternyata lebih tabah, tetapi akhirnya ia harus memikul nasib menjadi
janda, dengan hanya dikawani si pemuda nelayan yang setia lagi penuh tanggung
jawab itu.
Kedatangan
Genduk Duku terang menghebohkan seluruh desa terpencil yang jarang mendapat
berita dari dunia luar. Kisah yang dituturkan bekas gadis istana itu memang
menggemparkan, dan serulah tanggapan-tanggapan bertubi: masya
Allah, masya Allah dari orang-orang kampung. Mosok mungkin?
Tetapi bagaimanapun, laporan Genduk Duku jauh lebih indah daripada apa yang
selama ini mereka dengar dari sumber-sumber yang serba tak menentu arah arus
angin dari musim mana. Ah, memang sudah dapat diramal, begitu tafsiran para tua
dengan mengangguk-anggukkan kepala. Sudah dapat diduga sebelumnya. Sudah layak
dan cocok dengan sifat si Gadis Duyung, gumam orang sekampung sambil
mengkhayalkan macam-macam dari dunia ibu kota Mataram yang 5agi mereka laksana
kota dongeng api unggun belaka, yang menggiurkan tetapi sulit dimengerti lavar
dan tali-temalinya.
Namun jelaslah
banyak ibu dan nenek menggelengkan kepala sambil berceloteh, alangkah bodohnya
si Mendut itu. Dipinang Panglima Besar kerajaan kuasa, eh… mengapa yang bodoh
dipilih, sedangkan banyak yang… yang… (Dan mata mereka memandang masygul kepada
anak-anak perempuan atau cucu mereka sendiri.) Mana ada wanita dalam pewayangan
dan segala hikayat yang berbuat macam si anak pungut Kek Siwa itu? Nggak ada.
Namun mereka senang juga memandang si gadis yang baru datang dari Mataram, dan
ikut perahu si Slamet dan mengabaikan Pekalongan untuk mendarat di pantai
mereka; gadis yang ternyata pintar naik kuda (ah ah ah ada-ada saja, kaum
istana itu, ah ah ah apa nanti bisa punya anak begitu itu, ah ah ah); dan yang
sekarang menumpang di tempat orang tua Mendut. Baik hati gadis itu. Dari jauh
datang hanya untuk, memberitakan kisah nasib Mendut.
Ya, Genduk
Duku merasa, betapa hormat penduduk Telukcikal kepadanya, betapa lurus-burus
mereka memanjakannya. Ternyata ada alasan terpendam: orang-orang pantai tak
suka Mataram. Ya, selamat tinggal, Mataram! Di Telukcikal Genduk Duku menemukan
kembali kedamaian jiwanya. Luka-luka hatinya semakin sembuh dan semakin
mampulah ia untuk tertawa riang dan bersenda seperti sediakala. Dan… semakin mekarlah
pula kesayangan diam-diamnya kepada pemuda nelayan yang setia menjaga nenek
tua, janda dari guru seni-lautnya.
Ya, Genduk
Duku tanpa kentara, seperti buah kelapa dari pulau jauh yang terdampar di pasir
pantai lalu bertunas, telah menjadi semacam pengganti Mendut juga. Dan si
pemuda nelayan? Semacam Pranacitra-kah dia? Atau hanya keinginan yang mewayang?
Yang sebentar muncul sebentar lagi masuk kotak? Khayalan hati yang mendamba
terlalu kuat ataukah memang kenyataan yang dapat diraba, dirangkul, dicium? Ya,
pemuda nelayan itu… tak khilaf, tetapi entahlah, sungguh-sungguh Mas Slamet
seperti wayang saja dari Pranacitra, mirip sekali dengan kekasih puannya dulu.
Ah, bukan. Bukan Slamet. Dalam hatinya, tetapi sering dalam senda gurau juga,
Genduk menamakannya Mas Prana.
Pranacitra.
Tidak baguskah nama itu? Prana: ‘jiwa’,
‘inti’; citra: ‘cita’, ‘cipta’, bahkan ‘bahasa’, menurut Ni
dalang Semangka? [3])Memang baru diakui, kemiripan
Mas Slamet dengan Pranacitra pasti datang dari jiwa rindunya yang tidak mau lupa kepada
peristiwa yang begitu mengesan selagi si Genduk masih begitu remaja dan
pekacita. 0rang-orang kampung tertawa mendengar nama begitu mentereng untuk si
Slamet, tetapi biarlah. Kan dia gadis istana. Apa saja bolehlah. Namun akhirnya
Genduk Duku sendirilah yang sadar, bahwa nama Slamet, walaupun tidak seharum
nama istana Pranacitra, toh lebih baik dan bermakna. Sebutan Slamet akhirnya
terdengar lebih manis dan semakin disukai oleh Genduk Duku. Tresna
marga kulina.[4])
Maka
terjadilah sesuatu yang sewajarnyalah harus terjadi. Atas kehendak Nenek Siwa,
Genduk Duku dinikahkan dengan Slamet. Tetapi tidak dapat disangsikan, kehendak
Nenek Siwa pada dasarnya hanya penggamblangan resmi saja dari apa yang sudah
diketahui oleh seluruh kampung, dan terutama oleh Genduk Duku dan Slamet-nya.
Seperti kayu buritan, hanya penerusan saja dari kayu haluan perahu. Si gadis
dan si pemuda telah jodoh, cocok sebelumnya. Maka sudah selayaknyalah, seperti
sampan dengan cadik-semangnya, mereka dipersatukan. Seperti Dewa Kamajaya di
mana pun akan jumbuh dengan Dewi Kamaratih.[5]) Aneh kalau tidak. Dan
dalam dunia nelayan sederhana, orang tidak boleh menghindar dari apa yang sudah
ditentukan iklim maupun angin. Begitulah juga dengan Nenek Siwa. Seperti perahu
yang tahu kapan saatnya pulang, apabila angin pagi membalik menuju daratan,
demikian pula Nenek Siwa, yang telah menemukan kedamaian hatinya dengan berita
sebenarnya tentang Rara Mendutnya, tahu, bahwa saatnya pun sudah tiba untuk
meneruskan warta yang mengharukan itu kepada almarhum suaminya. Warisan kepada
Slamet dan Duku bukan berupa harta atau uang, sebab Nenek Siwa sungguh tidak
punya apa-apa, tetapi modal petuah. Kepada Slamet dituturkan, agar jangan
mengikatkan diri hanya kepada Telukcikal.
“Nenek tak
mampu memberikan warisan apa pun, Met. Dan kau pun tak punya apa dan siapa pun
kecuali Genduk Duku. Tetapi ingat, Genduk Duku bukan anak desa kecil. Di sini
dia berziarah. Kau pun, Met, aku tahu, kau sudah ikut menjadi kelasi krocuk dalam angkatan
laut, sudah menghitung jumlah muara sungai sampai Banten, teranglah dambaanmu
ingin melihat dunia yang lebih luas. Sesudah nenekmu pergi, jangan rikuh dan wigah-wigih [6]) meninggalkan
kampung yang kecil dan tercinta ini untuk menemukan pantai-pantai lain yang
lebih luas, lebih ramai, lebih memberi kalian kepuasan dan kebahagiaan.” Lalu
mangkatlah nenek yang baik itu, menyusul suaminya.
Demikianlah
kemudian, setelah pesta selamatan seratus hari yang sederhana, dan minta diri
dari penduduk Telukcikal, layar dikembangkan. Dan ombak-ombak terbelah oleh dua
muda-mudi itu; perahu semakin melaju terhembus angin timur yang menyegarkan,
menjelajah serba gembira ke arah barat. Ke Jepara. Menyabung untung. Tidak
untuk pertama kali Slamet mengatur kemudinya menuju ke Jepara. Tetapi kali ini
teranglah lain sama sekali laut dan angin yang menyertai perahunya. Sekarang ia
bersama seorang istri manis yang ia sayangi, dan pergi merantau
sungguh-sungguh. Di Jepara ia tahu beberapa kenalan, yang biasanya menjadi
tengkulak ikan-ikannya. Tujuan kedua mempelai muda itu sebenarnya lebih jauh
lagi, ke Cirebon, ke kerajaan yang lebih tua dan lebih keramat daripada
Mataram. Di Jepara Genduk Duku masih takut, jangan-jangan dikenali lagi oleh
salah seorang bawahan Panglima Mataram. Di wilayah keramat Sunan Gunungjati,
tidak lebih rendah atau kurang sakti dibanding dengan Sunan Giri, tangan-tangan
Mataram tidak dapat seenaknya saja merenggut seseorang yang tidak disukainya.
Dan konon, nelayan-nelayan Cirebon sangatlah ulung dan luas penjelajahan serta
ilmunya daripada kaum Pantai Timur. Slamet masih ingin belajar ilmu laut lebih
banyak lagi.
Oh laut, laut
luas. Laut lazuardi lenggara langgam laras. Betapa bahagia Duku. Betapa
berdendang hati Slamet.
[1] wanita penunggang kuda
[4] cinta karena terbiasa
[5] dewa-dewi asmara dalam pewayangan
[6] malu, tak berani, ragu-ragu
———————————————————————-
Pengalaman
bagi Genduk Duku yang biasa naik kuda, sekarang naik perahu. Tadinya
gedubrak…gedubrak… gedubrak…, sekarang nyut…nyut….nyut… terombang-ambing oleh
ombak laut.
Seharusnya Sungai Brantas yang melewati wilayah bekas pusat
Kerajaan Singasari bermuara di Pantai Selatan. Tetapi oleh kepastian
duduk-tidurnya gunung-gemunung ia terpaksa menyasar memutar ke barat, membelok
ke utara, terbentur bukit-bukit dan dilingkarkan lagi ke barat, sampai akhirnya
seperti tertipu bermuara di Pantai Timur. Seharusnya pula Genduk Duku dan
Slamet sudah sampai di Cirebon, mengikuti angin timur yang ikhlas berdaya dan
bergaya dalam layar perahu muda-mudi dari Telukcikal itu. Maksud semula mereka
hanya ingin singgah sebentar di Jepara, untuk meminta keterangan lebih
terperinci dari seorang sahabat tengkulak ikan tentang alamat tempat memangkal
di kota Gunungjati nanti. Tetapi jalan peristiwa ternyata berkehendak lain.
Ketika Slamet menyelip Ujung Muria dan pandangannya tidak terhalang lagi oleh
bukit-bukit anak gunung tinggi yang seperti candi raksasa menjaga Juwana, Pati,
Demak, dan Jepara itu, dari jauh ia sudah melihat suatu gugusan kapal perang
besar yang sedang berlabuh di muka pantai Jepara. Dari bentuknya yang montok ia segera tahu, itu kapal kaum Kompeni
bule yang berbendera merah-putih-biru, kaum berambut jerami mangkak dengan roman
muka agak panjang berhidung kelewat mancung. Lain dari kapal-kapal perang
orang-orang Ingles punya, yang lebih panjang luwes ramping. Begundal-begundal
Peose itu! Kaum jago kelahi yang rupa-rupanya lebih buas daripada kaum Farang[1]) lain,
misalnya kaum wajah lancip yang berambut serta kumis-jenggot serba hitam; yang
tidak cuma dengan mulut kalau bicara tetapi dengan tangan dan seluruh tubuh,
kaum penyanyi ulung, yakni orang-orang Prategal.[2])Jelaslah ada suatu peristiwa
gawat.
Resminya kaum
Peose itu datang untuk berdagang, akan tetapi nyatanya, ya seperti kaum Kompeni
bule-bule yang lain, banyak sekali mereka campur urusan dengan pemerintahan
Jepara. Susahnya di Jepara kaum bule Ingles, kaum mata-abu hidung anak bambu
berambut jerami lin, sudah mendirikan benteng. Padahal bule rambut jerami
ilalang bermusuhan dengan yang berambut jerami gelagah, dan mereka masih
berperang lagi antar mereka melawan yang rambut hitam wajah lancip. Jadi
semakin ruwetlah keadaan di Jepara. Bagi Slamet dan nelayan-nelayan lain,
keadaan sungguh merepotkan. Sebab kadang-kadang dari pihak sana, oleh si Peose
itu, perahu-perahu para nelayan dianggap pengangkut perbekalan perang. Akan
tetapi dari pihak sini juga, Adipati Laksamana, penguasa Jepara yang mewakili
Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram, sering mencurigai kaum nelayan kecil yang
didakwa menyelundupkan beras untuk kaum jerami di Betawi. Apalagi sesudah
beberapa kali Susuhunan Hanyakrakusuma [3]) gagal merebut kembali Jayakarta Betawi;
lalu semakin ketatlah peraturan-peraturan pengangkutan beras melalui laut.
Mataram ingin mencekik Betawi dengan melarang sama sekali pengiriman beras ke
sana. Akan tetapi ya, kaum bule itu punya kapal-kapal layar raksasa yang ngudubilahi besarnya,
sehingga dari Bali yang dimusuhi Mataram atau tempat-tempat lain mereka masih
dapat membekali diri. Susahnya, bila perairan masih dibumbui penjelajah kaum
pembajak dari segala kuala yang suka kambuh menjala di air keruh.
Bagaimana
sebaiknya? Genduk Duku sudah pucat mukanya. Terus ke Cirebon jelas tidak
mungkin. Akan lebih mengundang curiga. Nekat masuk bandar Jepara tidak tanpa
risiko besar. Berhati-hati Slamet, setelah layar perahu ia gulung, mengarahkan
perahunya mendekat ke daratan. Suami-istri itu mengayuh perahu ke pantai, ke
suatu perkampungan kecil untuk bertanya dulu, ada apa di J epara. Akan tetapi
seorang nelayan tua yang baru saja terengah-engah pulang dari jual ikan dengan
hanya mendayung dari Jepara hanya dapat menerangkan, bahwa ada serombongan
orang asing sedang memohon izin dari Pangeran Adipati agar diperbolehkan
menghadap Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram. Slamet sebetulnya ingin menginap saja
dulu di kampung nelayan itu, tetapi Genduk Duku tidak mau mengulur waktu.
Diputuskan untuk berangkat di tengah malam dan pelan-pelan mereka mengayuh
sampai di suatu kampung yang dekat dengan bandar kota. Dari situ mereka akan
berjalan kaki saja.
Saraan si
Genduk cukup nalar, dan Slamet sendiri sebenarnya juga ingin lekas sampai ke
tujuan; maka hati-hati berangkatlah kedua petualang itu dalam cahaya
bulan kerowok. Ternyata perjalanan dalam
remang-remang cahaya bulan yang belum matang, punya pesona sendiri. Laut sudah
tidak biru lazuardi lagi, tetapi buih-buih ombak perak yang mengeriting
timbul-tenggelam itu mengingatkan Genduk Duku kepada jajaran-jajaran anak-anak
kecil yang serba bersorak-sorai mengantar mereka dengan gurauan riuh tanpa
dosa. Ataukah karena si ibu muda sedang mendambakan buah rahim mungil yang
mestinya akan menjadi mahkota percintaan antara pria dan wanita? Ah, bukan pria
dan wanita. Dua saudara sekeprihatinan, sahabat seperjuangan. Genduk Duku tahu,
bahwa sejak menginjak alam kaum dewasa, hidupnya akan penuh penderitaan. Itu
kesimpulan yang tidak sangat luar biasa, karena sedikit-banyak Genduk Duku
mengenal dirinya juga, wanita yang tidak berwatak penetap tenang seperti
perempuan petani. Jiwanya sejak kecil di atas panggung kuda, dan bila sekarang
ia timbul-tenggelam dalam perahu mungil di atas ombak-ombak hitam malam bersama
Slamet, maka ini pun ia nikmati sebagai dunianya yang tidak asing. Seperti di
atas kuda juga rasanya. Kuda pemakan cakrawala. Bukan, Genduk Duku memanglah
bukan buah duku yang manis dan damai tumbuh perlahan di pohon, sambil menunggu
ada burung kepodang memakannya. Hari depan apa yang sedang menunggunya selain hari
depan yang mestinya penuh peristiwa-peristiwa sulit? Slamet pun, kendati jauh
lebih tenang dan bijak dalam kata maupun ulah, ternyata adalah nelayan juga,
manusia yang tidak mengenal kebahagiaan di –luar perahu, yang
merasakan suatu keasyikan tersendiri menempuh gelombang dan badai bahaya.
Namun kendati
kesiapan untuk menderita telah tersedia dalam hati Duku, masih gemetarlah juga
ia, ketika setiba di kampung yang mereka tuju, sungguh malang, mereka langsung
ditangkap oleh kepala kampung. Soalnya tidak segawat yang dikhawatirkan. Hanya
menjengkelkan. Pangeran Adipati Jepara telah menerima perintah dari Susuhunan
Mataram untuk menangkap serombongan utusan Belanda pimpinan Tuan Duta Besar van
Maeseyk yang atas nama pusat Peose di Betawi ingin menghadap beliau. Sementara
itu bandar Jepara penuh dengan perahu-perahu dan sampan-sampan perang yang siap
adu kekuatan dengan kapal-kapal kaum merah-putih-biru yang lebih besar tetapi
lebih sedikit jumlahnya itu. Kalau perlu pengeroyokan akan diperintahkan.
Tetapi rombongan orang Holan itu tetap tak dibebaskan. Jengkel tetapi menyerah
pada keadaan, kapal-kapal Peose itu mengangkat sauh.
Semua utusan
Peose yang ditawan mendadak itu akan dikirim ke Mataram. Diperintahkan kepada
kepala kampung di kota Jepara untuk menyetor beberapa pemikul barang atau
gerobak beserta kusirnya sebagai pasukan kerja bakti pemikul inti.
Pemikul-pemikul lainnya akan diambil bergilir dari desa-desa sepanjang jalan
sampai di gerbang ibu kota Mataram. Tetapi jelaslah, bahwa tak ada orang yang senang
dengan penugasan yang akan memakan waktu berminggu-minggu pergi ke ibu kota
pedalaman itu. Kecuali bagi beberapa orang petualang yang ingin melihat Mataram
di selatan Gunung Merapi itu. Maka dicarilah oleh mereka orang-orang pengganti.
Dan malang sungguh bagi Slamet, dia dipaksa atas nama kampung yang sialan itu
dengan ancaman keris, untuk pergi mengikuti barisan yang akan mengantar para
tawanan Belanda itu ke Mataram. Tak ada jalan lain, Slamet harus taat.
Maka sekali
lagi, ya Allah, Genduk Duku harus mengulangi perjalanan duka yang pernah ia
jalani nun lima pasang musim yang lalu. Namun dulu ia enak ditandu bersama
puannya Rara Mendut. Kini ia di samping suaminya sebagai penggendong barang.
Menyesal Genduk menjalani kemalangan karena ia telah melawan usul suaminya
untuk menginap saja dulu di kampung kemarin yang , lebih jauh dan aman. Slamet
merasa sedih pula dan jengkel dijadikan tukang pikul, tetapi ia menghibur
istrinya, lebih baik hidup daripada melawan keris ancaman. Dan lagi, bukankah
mereka baru mencari jalan demi hari depan yang serba baru? Mana ada hari depan
yang dapat dicapai melalui jalan lurus seperti garis sakaguru rumah? Jalan anak
panah pun sudah lengkung. Hidup hanyalah laku dan lakon, dan bukankah hanyaa
untuk mampir ngombe?[4])
Baiklah, ada
untung juga ikut dengan rombongan tawanan tinggi itu: berkesempatan mengenal
Mataram yang belum pernah dilihat Slamet dengan keamanan serba terjamin. Sebab
tidak jarang, di tengah perjalanan menembus Hutan Bayalali orang dirampok
penyamun. Dan mengapa tidak dicari sisi kemujurannya saja dari peristiwa yang
menimpa? Bagi Genduk Duku bukankah semua itu menandakan, bahwa ia sudah tidak
dikenal lagi sebagai si dayang pemberontak yang membuat amarah Panglima Besar
balatentara Mataram?
“Mana?”
“Ya itu tadi,
yang membawa seikat bengkuang itu tadi.”
“Oh, dia?
Suamiku.”
“Mosok. Ayo
sama-sama untung, Sayang. Boleh nanti malam saya tidur dengan dia?” Dan perempuan
itu menyodorkan satu real perak. Terkejutlah Genduk Duku mendengar pertanyaan
kasar si tapih kendo[5]) itu.
Serombongan perempuan ikut dalam barisan, memang. Mereka berwajib mengurusi
soal dapur dan tetek-bengek lain bagi para ningrat, perwira, dan prajurit,
sebab mengandalkan seni dapur wanita-wanita dari desa yang mereka lalui
sulitlah. Tetapi baru pada hari ketiga Genduk Duku tahu, bahwa ada jenis perempuan
lain yang ikut rombongan, dan rupa-rupanya Ni Sampur yang melontarkan usul hina
tadi tergolong di dalamnya. Merekalah yang menjaga berlangsungnya “sesaji
Kama-Ratih” selama perjalanan. Daripada serba tegang dan tidak dapat
diandalkan, lagi mengacau wanita-wanita desa, para prajurit dan kaum lelaki
lainnya mendapat kesempatan untuk “bersesaji kepada dewa dewi Kama-Ratih”
melalui rahim para sekarmargi[6]) itu. Maka baru
mengertilah Genduk Duku mengapa selalu ada beberapa dari kaumnya yang enak
sekali hanya disuruh menggendong bakul ringan berisi pakaian harum, dan yang
selalu didahulukan waktu mandi di pancuran. Kerja berat mereka tidak di waktu
siang, bisik seorang kawan senasib kepada Genduk, tetapi di waktu malam.
Sebetulnya Duku jijik didekati selalu oleh Ni Sampur yang tak senonoh
omongannya itu. Tetapi mustahillah menghindar darinya dan terangterangan
mengemohi, karena mereka punya hubungan dekat dengan para prajurit dan para
penguasa barisan. Dan celakalah bila mereka mulai main fitnah. Tak jarang
wanita baik-baik yang dibenci mereka menjadi korban terkena hukuman harus
menjadi “sesaji Kama-Ratih” juga. Penderitaan kaum wanita serba takut diperkosa
di tengah kebuasan penguasa lelaki semacam ini membuat Duku semakin gigih.
Genduk Duku tak akan gentar menolak dengan kekerasan Srikandi. Seperti Rara
Mendut dulu. Akan tetapi bagaimana nanti nasib Slamet?
“Silakan,
Yu-kalau mau memakai dia. Bahkan aku akan berterima kasih. Saya ingin selamat.”
“Lho, ada apa
kok ingin selamat?”
“Anak bajang[7]) dia, Yu.
Tapi dijual orang tuanya yang serakah kepada ayah saya. Nah, kau tahu
sendirilah, soal hutang tidak dapat dilunasi. Tetapi ayahkulah yang tertipu
untuk kedua kalinya. Baru sesudah menikah kami tahu dia anak bajang. Meruwatnya pun belum
beres. Padahal Yu tahu apa arti menggauli anak bajang yang belum dilepas ikatannya
oleh upacara ngruwat. Minta penyakit cacar namanya, Yu. Bisa
mati muda setiap saat. Dan kalau bayi lahir, akan menjadi bekakrak,[8]) bukan. Dan ibunya jadi wewe. Nah, ini
nasib, Yu. Tetapi saya jelas tak mau disuruh jadi wewe”.
“Lho, kamu itu
omong benar atau cuma menakut-nakuti saya?”
“Jangan tanya
saya, Yu. Cobalah saja. Saya akan sungguh berhutang budi pada Yu, bila aku bisa
satu dua-kali bebas melayani dia.”
“Ah, emoh. Nggak jadi.
Masih banyak lelaki yang saya senangi, dan yang lumayan duitnya. Tetapi kau
tidak takut mengawini anak bajang?”
“Takut sih
takut, Yu. Tetapi kuat puasaku. Senin-Kamis memutih[9]) dan jamu bratawali paling
tidak sebatok sehari. Dan sesudah jago pertama berkokok tak
boleh terbaring. Malam Jumat Kliwon minum air seni dua puluh satu tetes.
(Edan!) Agar kebal, Yu. Kalau Yu kuat puasa, boleh ambil suamiku.”
“Ah, emoh. Kok
seperti kurang rambut.”
Tetapi
entahlah, bagaimanapun Ni Sampur terhitung baik kepadanya dibanding perempuan
lain-lainnya yang tak sadar berebutan perhatian lelaki. Selalu begitu akibatnya
bila perempuan banyak diceburkan di tengah dunia lelaki. Cari muka, ingin
diingini. Peduli amat, Genduk Duku sudah merasa cukup dengan Slamet. Slamet
sendiri sangat khawatir dengan perangai si Sampur yang ingin saja mendekat pada
Genduk Duku. Ia tertawa mendengar bagaimana istrinya menyiasati perempuan itu.
“Tetapi
hati-hati, Nduk,” pesan suaminya.
“Oh, tentulah
tentu, Mas. Tetapi dia sebenarnya lebih pantas dikasihani daripada ditakuti.
Kalau sedang berkemah malam, kerap dia pagi-pagi dini pulang dan masuk dalam
gubukku. Hanya untuk membetulkan kayn selimutku. Kadang-kadang aku terbangun
tetapi pura-pura tidur. Dia sering menangis, Mas. Padahal di waktu siang dia
begitu kasar bahasanya, jorok omongannya, pongah gayanya. Tetapi kalau
sendirian, dia seperti gelagah lunglai.”
Lama Slamet
memandang istrinya. Hati mutiara anak ini, gumam hatinya. Mampukah aku menjadi
suami yang pantas bagi gadis istana seningrat hati ini? Aku, yang cuma Slamet,
anak piatu tanpa orang tua yang hanya pungutan belaka? Nelayan miskin yang
tidak terdidik priyayi? Entahlah, lika-liku keputusan Kahyangan[10]) sering
tidak masuk akal. Apakah yang mampu aku berikan kepada wanita tiban,[11]) yang
dalam arti tertentu piatu juga seperti aku; aku si Slamet yang hanya selamat,
berkat kebaikan Kakek dan Nenek Siwa? Dan semakin berakarlah keyakinannya yang
selama ini dia peluk, namun yang semakin membuatnya bingung juga, yakni bahwa
berkat si Genduk Duku, dan hanya berkat si Duku inilah, ia akan selamat. Tetapi
bagaimana sebaliknya? Apakah wanita berpendidikan istana ini membutuhkan sampan
nelayan dina, dengan pikat yang sekuat ia rasakan terhadap Genduk Duku?
Alangkah malunya bila pihak lelaki nanti ternyata hanya akan mendompkng saja
pada istri, seperti benalu pada pohon nangka dengan buah-buahnya yang subur.
Inilah yang
sering menjadi benih penderitaan dalam kalbu si Slamet, anak kampung nelayan
miskin, bila ia memandang istrinya yang begitu lincah, begitu ria, dan serba
merasa pasti dalam menjalani kehidupan. Nduk Genduk, jangan sampai aku
kautertawakan. Akan hancur segala-galanya. Tidak, kesulitan tidak datang dari Genduk
Duku. Dari si Slamet sendiri.
Sudah
pagi-pagi almarhumah Nenek Siwa mempersiapkan anak angkatnya mengenai perkara
satu ini dalam suatu percakapan panjang sebelum mereka dinikahkan. Lelaki yang
merasa kalah terhadap istri akan menghancurkan segala-galanya. Terutama diri
sendiri. Tidak ada pihak kalah atau menang dalam lakon omah-omah. Kalau yang
satu kalah, yang lainnya pun kalah. Sebaliknya juga begitu. Kejayaan istri
adalah kejayaan suami. Namun sering tidaklah mudah bagi Slamet bila melihat,
betapa merdeka dan tangkas si Duku. Seolah-olah tanpa Slamet pun, dia mampu
maju. Biarlah, tresna marga kulina, itulah peneguh akhirnya. Tetapi
tak dapat dihindari, dengan sifat watak Genduk Duku yang Srikandi itu, pasti
istrinya akan menyolok. Dan kalau menyolok, bagaimana nanti bila ada satu-dua
orang ksatria ningrat atau jantan entahlah yang tertarik kepadanya? Sebab
segar, ya segarlah tubuh istrinya itu. Dan kesegaran menyinarkan kecantikan
yang khas, yang teramat sering menawan perhatian lelaki. Kekhawatiran Slamet
tidak tanpa alasan.
Baru-baru ini
ia ditanya ditanya oleh seorang kawan pemikul barang.
“Eh, itu
perempuan muda yang kau beri seikat bengkuang itu adikmu?”
“Dia? Dia
istriku.”
Mengerutlah
hati Slamet, dan dengan jantung berdebar dia tanya, “Siapa?”
“Pokoknya
dapat kaukenal dari mata yang tak pernah berhenti kiyer-kiyer, dan dari
kerisnya yang selalu diikat manja dengan sutra merah jambu. Dia salah seorang
perwira perdana yang langsung memerintah pasukan pengawal tawanan asing
itu; gandek[13]) khusus
yang diutus oleh Susuhunan Mataram. Jagalah baik-baik istrimu.”
Tiba-tiba
Slamet tertumbuhi rasa curiga. Jangan-jangan orang ini calo juga.
“Dia omong
sendiri. Aku dipanggil dan dia bisik-bisik, menanyakan wanita yang ternyata
istrimu itu. Jangan salah paham, Dik. Saya bukan calo, bukan germo, bukan
mucikari, bukan kaum begituan. Sampeyan dari mana? Saya dari Semarang saja.
Memang sial. Baru pertama kali ini saya memenuhi permintaan menyetor buah-buah
mangga untuk istana Adipati, eh, coba, terus langsung disuruh ikut barisan edan
ini memikul barang-barang kaum congkak yang seenaknya saja memperbudak kita.
Kau senang disuruh bertamasya ke Mataram ini? Aku tidak. Ya, kau untung membawa
istrimu. Saya lebih malang dan istri-anakku pasti bingung mencari aku. Lalu mau
ke mana?”
“Kakang lebih
untung. Istri Kakang aman di kampung. “
“Siapa bilang?
Pokoknya orang Semarang orang Mataram gori dan nangka. Hanya nama dan warnanya
saja berbeda.” (Dan berbisiklah teman itu dalam telinganya. ) “Saya benci pada
kaum ningrat dan priyayi istana itu.”
Hati Slamet
lega. Dia salah duga. Kapan-kapan ia akan mengimbanginya dengan kebaikan.
“Apa yang
harus saya perbuat, Mas?”
“Yang penting,
jangan gegabah. Mereka itu kuasa, tetapi punya kelemahan. Takutnya bukan main,
jangan-jangan gengsinya jatuh atau tidak berkenan kepada atasan mereka. Mereka
menganggap kita ini kerbau. Baiklah, kita kerbaukan mereka juga.”
Belum mudeng juga Slamet
apa yang dimaksud temannya itu. Tak mengapalah. Yang penting, dia punya kawan.
Ini yang paling menggembirakan. Genduk akan dia peringatkan, bahaya apa yang
mengancamnya. Pasti dia lebih tahu cara menangkisnya atau menghindarkannya.
Bagaimana seandainya melarikan diri saja?
Raden Wedana
Yudamenggala mulai penasaran. Setiap hari Kang Kimpul, yang bertugas
memikul kopor-kopor beliay, yakni teman baik Slamet tadi, dipanggilnya
dan ditanya mengenai si Derkuku manis dari Telukcikal. Jika nama Genduk Duku
dipermanis menjadi Derkuku, begitu pikir Kang Kimpul, aku berhak juga
menyebutmu Raden Yuyukiyer. Maka bersepakatlah Kang Kimpul dan Slamet untuk
memakai nama sandi Yu Yer. Biar aman bila harus menyebut nama beliau.
Genduk Duku
sendiri tidak terkejut mendengar laporan suaminya tentang niat serong Yu Yer
itu. Sejak gadis kuncup dia sudah tahu, seperti setiap wanita Mataram, bahwa
kaum bangsawan selalu merasa berhak atas tubuh wanita bawahan mereka. Ada yang
tak ambil pusing, yang penting selamatlah. Ada yang bahkan bangga, karena itu
bukti mereka dinilai cantik dan menarik kaum atasan, dan begitu dapat
mengalahkan teman wanita lain yang kebetulan menjadi lawan atau saingan. Tetapi
selalu ada yang merasa memberontak melawan penerimaan salah-kaprah[15])masyarakat
mengenai hak-hak istimewa para priyayi itu atas wanita kaum bawahan. Soalnya
tinggal, cara pemberontakan mana yang dipilih. Genduk Duku masih terlalu muda
dan kurang berpengalaman dalam soal lelaki untuk tahu cara mana yang paling tepat.
Tetapi satu hal yang membuatnya kuat yakin: yakni suri teladan Rara Mendut.
Pada suatu
pagi Genduk Duku mendapat perintah untuk pindah tugas. Dan seperti sudah diduga
semula ia dijauhkan dari suaminya, masuk ke kelompok
juru masak para tawanan tuan-tuan Belanda yang langsung di bawah wewenang Raden
Wedana Yuyukiyer. Lemaslah Slamet dan ia menjadi lebih pendiam lagi.
Untunglah
Slamet masih punya Kang Kimpul, vang setiap hari selalu membawa berita dari
dapur para tuan Belanda. Kang Kimpul sungguh kancil luar biasa. Dengan segala
cara ia mengelabui Raden Wedana Yuyukiyer sehingga ia tidak terlalu terburu-buru
menerkam Genduk Duku, bahkan akhirnya, dengan cerita khayalan tentang sihir
hitam rimba jati yang berbahaya, yang keluar dari pusar perut si perempuan
secantik peri yang mencurigakan itu, sang Yuyukiyer melepaskan niat mesumnya.
“Kok Kakang
begitu baik terhadap kami, Padahal kita baru berkenalan sebentar,” tanya Slamet
terharu.
“Gini ya, Dik.
Kita sama-sama bernasib malang. Apa yang terjadi pada istrimu dapat terjadi
juga pada istriku. Nah, kalau saya berhasil menyelamatkan istrimu, saya
percaya, Allah yang Maha Berbelas Kasihan akan menjaga istriku pula. Amalku
tidak sepi ing pamrih, Dik, tetapi kita senasib. Nasib
istriku dan nasib istrimu tidak lepas seperti dua batu dalam onggokan. Kita
satu pohon, Dik. Apa yang baik untuk daun, baik juga untuk bunga.”
Orang baik
Kang Kimpul itu, pikir Slamet. Slamet berikrar dalam hatinya untuk tidak lagi
cengeng cuma bisa menggantungkan kepala. Betapa kuatnya buah budi Kang Kimpul
yang sederhana tetapi teguh itu. Sejak itu Slamet berubah menjadi pemberontak.
Seperti istrinya. Seperti sepantasnya jiwa nelayan. Melawan angin, melawan
ombak, merebut kehidupan.
[2] Portugal
[3] sebutan beliau yang kelak diberi gelar
Sultan Agung
[4] singgah untuk sekedar minum
[5] kain kedodoran: pelacur
[6] bunga di jalan = pelacur
[8] hantu yang transparan
seperti plastik. Segala usus, paru-paru, dan lain sebagainya kelihatan semua.
——————————–
Heran juga ya,
Kali Brantas ujungnya ada di Kota Batu, kemudian lewat Kabupaten Malang,
membelah Kota Malang, kemudiam lewat Kota/Kab Blitar, Tulungagung, Treggalek,
Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, berakhir di Kota Surabaya dan Kabupate
Sidoarjo. Muter-muter sampai pusing
Dan…, lucu
juga ya YB Mangunwijaya mendiskripsikan kapal kok seperti manusia saja
he he he ….
Namun tentulah bagi Genduk Duku pembelokan arah
perjalanan ini membuka lagi luka-luka batinnya yang sudah mulai menutup.
Menangislah ia tersedu-sedu di bawah pohon, ketika barisan beristirahat
sebentar. Ia tidak menangisi kelelahan dan susah payah menggendong
barang-barang utusan Belanda itu. Ia tidak menangisi nasib menjadi budak
paksaan yang setiap kali dicaci-maki mandor-mandor kadipaten. Bukan itu. Ia
menangisi penggalnya persahabatan indah dengan puannya, Rara Mendut, yang nun waktu itu bersama Duku pernah
lewat di jalan yang sama ini juga; sahabatnya yang paling dekat, kakak pujaan
yang telah tiada. Alangkah lain jadinya jalan yang sama ini apabila dilewati
setelah suatu kurun waktu tertentu berlalu, dan dalam suasana jiwa yang lain
pula. Slamet tidak dapat menemukan kata-kata untuk menghibur istrinya.
Satu-satunya percobaan meringankan beban hati kekasihnya hanyalah nasihat
warisan para nelayan, “marwita marganing maruta”[1]) Angin
dorong dari belakang maupun angin lawan dari muka, keduanya dapat dimanfaatkan
agar perahu tetap maju. Tinggal caranya. Dapat dipelajari. Sangat inginlah
Genduk Duku merangkul suaminya dan menciuminya habis-habisan. Begitu bahagia
rasanya, memiliki seorang Slamet yang memang tidak mampu berbincang banyak,
akan tetapi mengena ampuh sekali kalau kebetulan berbicara. Tetapi tentulah
niat itu tak mungkin dipuaskan di tengah prajurit dan pembawa barang. Maka
hanya dipegangnyalah tangan Slamet, dan seangin sepoi berlalu memandangnya
dalam-dalam, sambil mengangguk.
“Baik, Mas. Akan saya coba.”
Alangkah kuat kembali sekarang Genduk Duku.
Mungkin inilah sasmita-nya:[2]) Genduk
Duku harus mengulang, menjalani kembali jalan yang sama, akan tetapi sekarang
tidak lagi sebagai anak, tetapi sebagai wanita dewasa.
Barangkali sebagai ibu dewasa?
Ah, dan dipegangnya perutnya. Mengapa sampai sekarang ia belum mengandung?
Mungkin masih terlalu muda? Lima belas pasang musim, masih terlalu mudakah itu
untuk menjadi ibu seorang bayi mungil? Mungkinkah karena Genduk masih harus
lebih matang lagi jiwanya? Seperti yang dipesankan oleh Nenek Siwa. Sang anak
jauh lebih membutuhkan rahim dan susu batin daripada yang mengalir wadag saja.
Bersabarlah, Duku, saatmu pun akan tiba.
Danau Pening, hulu Sungai Tuntang, dan pintu
gerbang kerajaan di pos Selembi lereng Gunung Merbabu yang dijaga ketat oleh
lebih dari seribu prajurit dan terlindung oleh Sungai curam buas Nglumbe, telah
dilewati; dan sampailah rombongan, setelah berhari-hari menerobos rimba dan
menjelajahi sawah-sawah ngarai (dan yang tentulah sepanjang jalan sangat
menarik perhatian penduduk), di tepi Sungai Opak, di pintu gerbang kerajaan
lapis kedua, desa Taji. Karena melampaui batas kelelahan, tidak terbiasa dengan
kerja seberat itu, Genduk Duku telah dua hari jatuh sakit. Atas keputusan
manggala yang memimpin mereka dan tak suka terhalang, Genduk Duku dan Slamet
disuruh meninggalkan barisan saja. Sebab beban beras dan perbekalan perjalanan
lain toh sudah berkurang banyak. Ya, begitulah. Tanpa upah cukup, dan tanpa
mendapat ucapan terima kasih sepatah kata pun karena dianggap pengabdian belum
tuntas, mereka ditinggalkan begitu saja di Taji.
Taji adalah pos penjagaan besar yang menguasai
jalan strategis yang menuju ke timur. Lalu lintas di situ sangatlah ramai.
Setiap orang memikirkan urusan mereka sendiri-sendiri, dan para prajurit
penjaga sibuk dengan pengawasan, jangan-jangan ada mata-mata negeri musuh
menyelundup. Apalagi akhir-akhir ini banyak santri dari daerah Wedi dan Tembayat,
yang sejak zaman Panembahan Senapati berkeliling ke mana-mana, tak
henti-hentinya menghasut secara terselubung untuk membelot melawan Mataram.
Bahkan dua tahun yang lalu mereka memberontak dengan pertumpahan darah banyak.
Dipapah Slamet, Genduk Duku memaksa diri untuk
berjalan sampai di suatu warung, tetapi tanpa daya ia terjatuh di muka sebuah
gubuk reyot yang agak menyendiri di tepi jalan. Ke mana nasib akan membawa
mereka? Selama ikut barisan tawanan Peose itu mereka masih mendapat makan. Tetapi
sekarang? Bekal dari Telukcikal dan upah tak seberapa sebagai pemikul untunglah
ada juga, tetapi hanya untuk berapa minggu? Slamet sungguh cemas dalam hati.
Ditidurkannya istrinya di muka dinding gubuk itu. Setidaknya Genduk dapat
beristirahat sebentar.
Tiba-tiba membelalaklah mata Slamet karena dari
dalam gubuk keluar seorang anak seumur kira-kira lima pasang musim. Tetapi
sungguh mengherankan anak itu. Dia bule. Bukan bule seperti yang sering
terdapat di udik, anak bule, seperti kerbau bule tetapi sebetulnya Jawa tulen,
hanya kulitnya yang putih kemerah-merahan. Ini anak berbangsa asing sungguh.
Hidungnya mancung, matanya biru dan besar. Rambutnya jerami. Heh, dari mana
makhluk jenaka ini? Siapa penghuni gubuk?
Anak itu hanya diam memandang Slamet dengan istrinya
yang merintih tiduran. Kemudian ia masuk lagi dan berteriak,
“Papaa…Papaa… een zieke mama!”[3]) Bahasa
apa itu?
Sejurus kemudian, keluarlah dari pintu yang
sudah nyaris jebol itu, seorang lelaki bertubuh besar, jelas orang
berkebangsaan asing. Dadanya yang berambut tebal telanjang seperti anak tadi,
dan ia hanya bercelana ketat sekali yang aneh potongannya, bekas beledu hitam
tetapi sudah serba sobek dan lusuh. Apa dia ayah si anak itu? Dengan bahasa
Jawa yang lumayan ia bertanya, siapa Slamet dan istrinya. Bernada sedih dan
sedikit was-was juga menghadapi raksasa merah itu, Slamet menceritakan
hal-ihwal kemalangannya, terseret ke dalam barisan yang menawan utusan-utusan
Kompeni merah-putih-biru di Jepara. Tanpa minta izin atau apa pun, oleh
orang-orang itu Genduk Duku langsung diangkat dengan kedua tangannya yang kuat,
dan dimasukkan ke dalam gubuk. Walaupun Genduk Duku terkejut setengah mati,
tahu-tahu sudah terpeluk di dalam tangan-tangan lelaki raksasa asing, dan
karenanya spontan melawan, tetapi akhirnya menyerahlah Genduk Duku serba lemas
dan membiarkan diri dibaringkan di atas suatu ranjang bambu. Orang asing itu
menepuk-nepuk bahu Slamet dan menandaskan, agar Slamet dan istrinya tidak perlu
takut. Dia akan menolong. Jangan khawatir. Si raksasa pergi ke belakang dan
mengambil sisa air panas dari dalam kuali. Setelah dicampur dengan air
dingin-menjadi hangat-hangat saja, ia mengambil sehelai sobekan kain dan
memberikannya kepada Slamet.
“Mandikan. Mandikan istrimu. Segar dulu biar.
Bersihlah kotoran di jalan. Ayo, mandikan.” Lalu ia mengajak anaknya keluar
gubuk. Pintu ditutup dari luar sehingga tiba-tiba gelap remang-remang
satu-satunya ruangan dalam gubuk rumah itu.
Pelan-pelan Slamet, sambil di hati mengucap
syukur atas pertolongan yang tak terduga itu, mencium pipi Genduk Duku. Lalu
hati-hati ia menanggalkan pakaian istrinya yang sudah serba kotor. Dan penuh
kemesraan memandikannya. Panas tubuh itu dan menggigil. Belum pernah Slamet
memandang dan membelai istrinya dalam keadaan lunglai seperti ini. Biasanya
semua tergenang dalam langgam kebahagiaan dan kenikmatan. Namun sekarang?
Mungkin Allah Maha-arif berkehendak memberi pelajaran bagi kedua mereka.
Bercinta dalam suasana suka dan indah adalah rahmat. Tetapi bercinta dalam
keadaan sedih dan nyaris putus asa barulah puri yang kokoh tahan badai. Untuk
inikah Sungai Brantas harus membelok dan melingkar, agar mampu memberikan
kesuburan kepada lahan-lahan luas yang tak akan berbuah manusia seandainya
tidak dilewati?
Tetapi siapakah orang asing tadi? Mengapa dia
tinggal di Taji dalam gubuk begini miskin? Itu tadi anaknyakah? Lalu siapa
ibunya? Tetapi satu pertanyaan betul-betul merisaukan Slamet. Bagaimana ia,
yang kini tidak punya apa-apa, dapat membalas budi kebaikannya?
Sepekan sudah Slamet dan Genduk Duku dilepas
dari barisan penawan orang-orang asing dari Jepara itu, dan mendapat
peristirahatan di gubuk budiwan ini. Terlambat sedikit, nyawa Duku bisa
melayang. Versteegh nama orang asing itu. Yos Versteegh. Berkali-kali Yos
mencoba mengajari Slamet, bagaimana mengucapkan namanya secara tepat, tetapi
hasil paling pol adalah pengucapan Pestih. Bolehlah, Yos Pestih tertawa senang.
Sungguh nama yang bagus, pribumi sekali. Anaknya Karel namanya, yang dapat
terucap lancar oleh Slamet. Dengan tekun dan baik hati Yos membagikan
makan-minum untuk para tamunya. Ternyata aneh rasanya. Apa boleh buat. Tiga
hari lebih Genduk Duku bersuhu tinggi, bahkan mengigau, memanggil-manggil Rara
Mendut dan Nenek Siwa. Ucapan-ucapan di bawah sadar tentang cinta dan syukurnya
untuk Slamet, sangat mengharukan hati suaminya. Pada hari keempat barulah suhu
menurun dan Genduk Duku kelihatan menyegar, walaupun masih sangat lunglai badannya.
“Saya pun tawanan orang Mataram,” tutur
Versteegh kepada Slamet pada hari pertama, sesudah Genduk Duku berhasil
ditidurnyenyakkan oleh Yos dengan air sari buah pala dicampur gula aren.
“Saya sudah larang, tetapi apa mau, anakku Karel
ini ingin ikut saja. Kami maksud ke Bali berlayar. Tetapi kami terkena badai.
Kandas lalu di pantai dekat Tegal.”
“Tetapi kau boleh bebas leluasa pergi ke
mana-mana?”
“Bebas, ya ya, sedikit. Dulu
tidak. Sekarang bebas tetapi terbatas. Hanya di desa Taji ini boleh saya tinggal.
Keluar Taji dilarang. Lari? Sulit. Sedikit dari desa keluar akan tahu, bersua
harimau-harimau. Dan lupa jangan belentong-belentong ular-ular sebesar kelapa
pohon. Belum nyamuk yang mampu seluruh menyedot darahmu keluar dari urat-urat.
Bunuh diri namanya itu.”
“Tetapi lumayan kan, daripada dikurung dalam
penjara batu.”
“Orang-orang Jawa kikir. Mereka mau tidak
sepeser pun kehilangan untuk tawanan lawan makan-minum memberi. Maka harus kami
nafkah sendiri mencari. Oh, itu bukan soal. Aku lebih senang dari hasil
keringat sendiri makan daripada dimanja tetapi biar pun burung emas di sangkar
emas. Saya kasihan hanya si Karel. Begitu kecil anak masih, semua ini dia sudah
susah mengalami. Saya tahu tidak bagaimana ibunya keadaan sekarang ini. Ia
menderita pastilah sedih suami dan anaknya kehilangan. Ya, Karel ini paling
disukai mamanya. Cuma nakalnya! Ia mau mutlak ikut bapaknya. Memang berdarah
laut dia. Tetapi bagaimana ini, pelaut di tengah hutan terus-menerus. Dan kapan
dimerdekakan kembali kami akan, masih besar teka-teki juga.”
“Saya juga pelaut,” sambung Slamet. “Tetapi
tidak dalam kapal-kapal besar seperti kalian punya.”
Gossie! Is ‘t waar?[4]) Kau juga pelaut? Ah, sini.” Dan tangannya
yang panjang besar mengayun ke belakang, lebar mengayun lagi, menangkap tangan
kanan Slamet. Aduh, teriak Slamet. Sakit sekali. Yos Versteegh tertawa
terbahak-bahak.
“Tak apa-apa. Ini kami cara. Erat-erat
berjabatan tangan. Kita sahabat, bukan. Ya, semua pelaut di seluruh dunia
sebetulnya satu besar keluarga. Harus sesaudara merasa. Tetapi memang die
verdomde oorlogen.[5]) Ya
betul, dulu aku memang berangas kelahi tukang. Mana orang ke timur pergi tidak
berangasan kelahi suka. Tetapi hampir sudah setahun di jantung Mataram seperti
kere ini si Yos Versteegh berubah, ya ya ya. Kelahi, kelahi, kelahi, tidak
suka. Mungkin ada baiknya orang kadang-kadang kesengsaraan mengalami. Biar
ingat, bukan, ha ha ha! Nah, itu istrimu bangun. Cantik itu istrimu, Kang Met.
Baik-baik dijaga, dan jangan lagi tentara Mataram tangkap. Nanti sakit lagi.
(Orang asing itu mendekati ranjang Genduk Duku.) Bagaimana, Nyonya? Sudah
baik-baik? Saya nama Yos Versteegh alias Pestih menurut Nyonya suami, ha ha.
Dan Karel (Ia menoleh.) Karel! Karel! Di mana kau? Ah, ke mana lagi gentayangan
si anak nakal saya ini? Itu Karel anak, ya perkenalkan. Pelan-pelan dulu ya,
Nyonya. Tergesa-gesa pergi tak perlu dari gubuk si Yos. Sayang ini rumah cuma
begini kecil. Jika lebih besar, Nyonya dan Nyonya suami tinggal boleh di sini
kalau mau. Tetapi itu dipikirkan jangan dahulu. Sekarang dulu sembuh, bukan?”
Ya, tak mampu apa-apa, Slamet dan Genduk Duku
sesudah sembuh hanya dapat membalas budi tuan rumah dengan tenaga kerja. Slamet
memanfaatkan kesempatan untuk memperbaiki gubuk yang sudah tak keruan reyotnya,
karena waktu Yos habis sudah untuk mencari nafkah. Dan tak ada orang Jawa yang
senang menolong orang-orang asing dari Betawi itu. Sebagian karena takut
didaftarhitamkan oleh telik sandi istana yang banyak itu,
disangka kongkalikong dengan musuh. Susuhunan-ing-Ngalaga
masih belum dan mungkin tidak akan sembuh amarah beliau terhadap Betawi. Bila
perang bedil dan meriam tidak dapat mengusir Peose, barangkali perang beras
dapat. Suasana tak senang pada orang asing tetaplah mengawan. Maka pertolongan
Slamet sungguh sangat menggembirakan. Genduk Duku mengambil oper tugas-tugas di
dapur, sehingga Slamet dan Pestih dapat mencurahkan waktu penuh untuk mencari
nafkah dan memperbaiki gubuk yang mereka huni. Tidak hanya itu, atas biaya
bersama dibangunlah lagi sebuah gubuk di samping, sehingga dengan damai dan
penuh kehormatan Genduk Duku dan suaminya dapat berumah tangga. Versteegh orang
bule, jadi serba blak-blakan ia mengadakan kesepakatan mengenai keadilan
pembagian keuntungan mereka berdua. Tetapi ia menolak uang ganti rugi perawatan
istri Slamet.
Sementara itu kedua orang Telukcikal yang
terbuang di Taji ini sempat berkenalan dengan beberapa orang tawanan lain. Di
antaranya, yang paling sering mendatangi Versteegh ialah Yan Ruding. Merepotkan
juga pengucapan namanya, sehingga apa boleh buat, akhirnya menjadi Yanuring.
Kedua sahabat itu suka berbincang-bincang ramai tentang pengalaman-pengalaman
mereka di laut. Slamet biasanya hanya melompong mendengar-kan mereka. Betapa
luas dan jauh mereka sudah mengarungi samudra raya. Kambuhlah lagi cintanya
kepada dunia bahari. Tetapi ia sadar, Genduk Duku tidak dapat ditinggalkan
begitu saja. Mungkin ia sudah akan puas apabila dapat kembali menjadi nelayan
sederhana di Pantai Selatan, sehingga istrinya dapat menemukan kedamaian
hatinya juga. Sebab bagaimanapun Genduk Duku tetap orang daratan.
Ia manusia punggung kuda. Dapatkah ia menabung
sekepeng demi sekepeng untuk akhirnya membeli kuda untuk istrinya? Tidak untuk
bermain-main seperti di istana mewah tentu saja, tetapi taruhlah untuk
berdagang kuda misalnya? Ayahnya pun dulu pedagang kuda. Jadi… ah siapa tahu,
sesekali mereka berdua akan mampu berlayar ke Pulau Bima, jauh ke timur sana,
mencari bibit muda. Tetapi sementara ini tak usah bermimpi sajalah.
Pestih dan Yanuring menyambung hidup mereka
dengan sedikit berdagang barang-barang langka dari luar negeri atau lebih tepat
menjadi perantara Cina-cina yang berjual-beli kalung, medali, dan
kancing-kancing uang perak Kastilia, Inggris, Belanda, atau badik belati yang
cukup tahan karat, lampu-lampu minyak kecil dari perunggu, dan sebagainya. Tetapi
yang paling memasukkan uang ialah pengganti jasa memperbaiki senapan-senapan
dan pistol-pistol kuno yang sudah berkarat dan tinggal dibuang, seandainya
tidak ada si Pestih. Dengan tekun Slamet mempelajari keahlian baru ini. Masih
ada barang dagangan yang sangat digemari orang, yaitu apiun yang
teratur disalurkan dari Betawi. Uang pendapatan itu dihitung-hitung, tidak
banyak, sebab kedua orang Belanda itu, dengan pahit tetapi terpaksa sumarah,
harus menghadapi sekian banyak pungutan bea. Pungutan-pungutan itu harus mereka
bayar tanpa ampun, sehingga hanya sedikitlah sisa hasil keahlian Pestih dan
pembantu barunya yang pandai menyulap besi rongsokan menjadi senapan yang masih
mampu membunuh bajing di pucuk kelapa. Hanya bila kiriman apiun dari Betawi
datang, makanan dapat agak lezat. Tetapi Slamet memperoleh keuntungan baru.
Tidak lamalah waktu yang dibutuhkannya untuk belajar dari sahabat-sahabat
barunya itu, untuk mengenal jenis-jenis senjata api dengan seluk-beluknya. Yang
dibutuhkan ternyata hanyalah ketekunan, ketelitian, dan nalar yang sehat. Dan
semua itu dimiliki Slamet.
Selain bekerja di dapur seperti layaknya
perempuan, amat pagi-pagi bangun, memasak air panas sambil membakar ketela dan
sedikit menimba air di perigi, Genduk Duku kemudian masih memperoleh tambahan
nafkah dari tetangga dekat, hanya lewat tiga rumah, dengan berburuh memandikan
dan membersihkan kuda-kuda muatan pedagang batu bata. Betapa inginnya si Genduk
Duku lagi di atas punggung kuda dan berlari anggun galop seperti nun di kala
itu. Akan tetapi ia masih harus berhati-hati, jangan sampai orang menerka,
bahwa wanita muda yang mahir naik kuda ini tidak lain tidak bukan ialah
dayang-dayang Rara Mendut dulu, yang pernah menghebohkan seluruh ibu kota
karena peristiwanya dengan Panglima Besar Mataram yang sekarang pun masih
kelewat kuasa itu.
Ya, ingin tahu juga Genduk Duku, bagaimana
Tumenggung Wiraguna sekarang. Dapatkah ia sembuh dari luka-luka gengsinya
setelah ditampar habis-habisan dimuka umum oleh Puan almarhumah Rara Mendut?
Betapa rindunya ternyata si Genduk kepada tempat-tempat penyimpan riwayat yang…
ya berapa musimkah sudah lewat sesudah peristiwa dulu itu? Lima pasang musim
kira-kira. Masihkah mereka ingat kepada remaja bandel yang ulung naik kuda, dan
yang lari tanpa bekas setelah sekian ayunan perputaran matahari? Dan beliau…
Bendara Pahitmadu yang telah menyelamatkannya? Dan Mbah Legen serta Nyi Gendis
di Jali, di tepi Sungai Jali sedikit ke timur
Sungai Bagawanta? Berlinang-linang air mata si
Genduk bila kebetulan ia sedang sendirian memandikan kuda-kuda tuannya.
Sesuatu malam, pada saat mereka berdua-satu di
ranjang cinta, Genduk Duku mengungkapkan hasratnya kepada Slamet. Ia ingin
mengunjungi Bendara Eyang, Mbah Legen, dan Nyi Gendis. Bukankah dulu, mereka
itulah yang membebaskan Duku dari bahaya nasib teriris-iris pedang atau
tersatai tombak abdi-abdi Wiraguna?
[1] berguru pada
jalannya angin
[2] pertanda, makna .
[3] seorang ibu yang
sakit
[4] “Astaga! Benarkah
itu?”
[5] perang-perang
terkutuk
——————————————–
Dalam perjalanan, Geduk Duku selalu ingat
Puannya, meskipun dia bepergian dengan suamiya
he he he ….., monggo
Dengan bekal sedikit dari Taji, dan setelah
berpisah hangat dari Pestih, Yanuring dan tetangga, Slamet dan istrinya menuju
ke barat, nenepi Hutan Beringan, memintas ke arah Pingit. Tetapi di Pingit
kedua orang itu keluar dari jalan pedati. Melewati pematang-pematang sawah yang
serba subur loh jinawi[1]) dan
desa-desa serba kartaraharja[2]) mereka
berpedoman pada tembok batu besar di kejauhan, warisan zaman sebelum Panembahan
Senapati yang sudah mulai rusak di sana-sini, terus ke selatan; lalu membelok
ke barat lagi, berjalan masih dua pal ke arah muara Sungai Bedog. Padepokan yang
mewah, tempat tinggal Bendara Eyang Pahitmadu bagaikan pulau kelapa di tengah
lautan padi yang sudah berat berbutir-butir lezat.
Seperti dulu, pintu gerbang tidak terjaga dan
terbuka. Lebih tepat kelihatannya saja tidak terjaga. Sebab priyayi berpangkat
tinggi seperti Bendara Pahitmadu, kakak Panglima Besar Mataram, tidak akan
pernah serba lepas lindung, boleh dirampok begitu saja oleh setiap hulubalang
serakah. Tetapi sebelum mereka masuk ke pintu gerbang pondok puri yang sudah
nampak dari kejauhan itu, Genduk dan Slamet mencari sebuah pancuran air dulu,
yang tidak sulit ditemukan. Di mana ada pohon besar di tengah sawah dan ada
selokan yang mengalir berlimpah, biasanya sumber air didapati. Mereka mandi
sedap segar dan Genduk Duku keramas rambut. Di bawah pohon nyamplung yang
teduh oleh daun-daun berbentuk bagus sekali dan bernuansa aneka hijau, dengan
buah-buahnya yang mirip kelapa mini, yang sering dibuat permainan anak-anak di
Puri Pati nun dulu, Duku mengajak suaminya menikmati nasi berlauk tempe
bungkil khas Kedu, yang sangat disukai Genduk Duku. Tempe bungkil
mengingatkan si Genduk kepada Mbah Legen dan Nyi Gendis. Slamet telah
berbulan-bulan menderita karena tidak dapat makan ikan asin, akan tetapi
bungkil bawaan dari pasar Taji nikmat juga bagi si nelayan.
Kedua orang itu menunggu sampai matahari sudah
agak condong tiga perempat di barat. Kemudian Duku mulai merias diri. Rambutnya
yang sudah kering disisirnya halus dan dibasahi minyak kelapa sedikit. Kain
yang paling bagus dibalutkannya luwes pada tubuhnya yang sudah mencitrakan
lahan mengombak yang mendambakan padi kehidupan baru. Setagen jingga tua
melilit ketat di perut yang belum lagi mau meninggalkan masa remajanya,
sedangkan kain bagian atas ditata lipat menutupi buah dada. Punggung dan bahu
dibiarkannya manja dibelai angin. Slamet pun bertelanjang dada dengan kain
berlipat melingkar pantat yang membiarkan celana hitamnya menandaskan kebolehan
kaki laki-laki kuat kenyal yang tampak bersih pula, walaupun sewarna tanah
basah, jujur tak mengingkari kedudukan pemiliknya. Jarang Genduk Duku melihat
suaminya begitu rapi berbusana, apalagi dengan ikat kepala wulung biru
hitam dengan bintik-bintik hijau di ujung-ujungnya. Cemerlang mata bangga
Genduk Duku menumbuhkan senyum jantan pula pada wajah Slamet.
Nah, siaplah mereka menghadap Bendara Pahitmadu.
Semua untung-untungan. Bendara itu sudah tua sekali, dan seandainya beliau
tidak mengenal kembali Genduk Duku-maka ya, besarlali risikonya mereka akan
dicemoohkan. Seandainya begitu, mereka masih dapat meneruskan perjalanan yang
cukup jauh ke Sungai Bagawanta, lalu ke Jali. Pasti Mbah Legen dan Nyi Gendis
tidak akan lupa pada Genduk Duku. Mudah-mudahan keadaan di sana sudah tenang.
Suasana Kerajaan Mataram sebelah barat akhir-akhir ini cukup gawat. Adiprabu
Hanyakrakusuma merasa perlu menumpas penduduk kabupaten-kabupaten Sumedang dan
Ukur karena mereka dianggap melarikan diri dari tugas ketentaraan di medan
perang muka Betawi empat-tiga musim yang lalu. Tentara-tentara penghukum itu
melewati Pagelen, dan siapa tahu, seperti dulu pernah terjadi, tempat tinggal
kedua orang tua itu terkena lagi getah kerusuhan perang saudara.
Dari belokan, tinggal lima puluh langkah dari
gerbang, mendadak sepasukan perwira-perwira berkuda muncul. Cepatlah kedua
orang itu lari meloncat ke pematang sawah, menghindari kepulan debu yang dapat
mengotori pakaian dan wajah mereka. Beberapa dari perwira itu menertawakan
Genduk dan Slamet. Tetapi seorang penunggang kuda yang berlari di tengah,
seorang pemuda sangat remaja, nyaris masih anak, agak memperlambat galopnya. Ia
menoleh dan memandang kepada Genduk Duku. Lalu bergaloplah lagi ia, kembali
kepada irama lari kencang bersama-sama perwira-perwira yang tadi taat memperlambat
diri juga, meninggalkan kepulan debu. Dengan agak cemberut Genduk Duku
meneruskan perjalanannya di belakang suaminya. Tetapi langkah mereka sengaja
diperlambat untuk memberi waktu kepada para pengawal puri menyelesaikan upacara
penyambutan tamu-tamu yang rupa-rupanya serba berpangkat tinggi tadi. Ketika
tamu-tamu itu masuk ke dalam, masih juga remaja ningrat tadi sempat menoleh dan
memperhatikan Genduk Duku. Siapa dia? tanya Duku dalam hati, yang merasa
terkena anak panah pandangan kurang enak.
Slamet dan istrinya memberanikan diri untuk
melapor dan mohon diperkenankan menunggu di dapur saja sebelum menghadap
Bendara Ayu Pahitmadu. Mujurlah mereka diperkenankan masuk. Hanya Slamet harus
menunggu di regol[3]) penjagaan.
Di dapur Genduk Duku diterima dengan ramah, bahkan atas desakannya sendiri ia
diperbolehkan menolong memarut kelapa. Ia lalu duduk di bawah pohon jeruk
nipis, menolong kerja, sambil mengamati sekelilingnya. Namun tiba-tiba teriak
geli dan tawa terkikik-kikik menggaduh di dalam dapur. Beberapa gadis lari
terbirit-birit ke kebun, bersembunyi di sembarang tempat. Seorang gadis dengan
rambut terurai lari Nambil bingung membenahi kainnya, keluar dari ruang
sebelah, tetapi tertangkap oleh seorang Pemuda remaja, (ah, sang remaja
penunggang kuda tadi), dan tak berdaya diciumi habis-habisan. Beberapa abdi
perempuan tua melerai kedua remaja itu, tetapi rupa-rupanya mereka bahkan
membujuk si gadis untuk mau diajak main asmara. Akhirnya pergilah mereka dan
meninggalkan Genduk Duku terbengong-bengong. Setelah agak lama, satu per satu
gadis-gadis yang bersembunyi tadi keluar, dan sambil tertawa cekikikan saling
senggol-menyenggol mereka meneruskan tugas -nasing-masing. Siapa pemuda yang
begitu rakus ,iuman dan dibiarkan berbuat seenaknya saja oleh para abdi dalem
itu? Tak beranilah Genduk bertanya. Baru kemudian ia agak tahu duduk perkaranya
dari beberapa kata keluhan berbumbu geleng-geleng kepala dari seorang
dayang-dayang tua, yang menggerutu tentang Den Bagus Jibus, yang
tanpa arah tanpa kemudi suka ngawur main buaya. “Ya mun4 sijI kuwi,
baGUS beSUS, ning kompal-kampul kaya gaBUS. Pantes parabane sang
Jibus[4]).
Baru menjelang malam, sesudah para perwira
dengan remaja yang disebut Den Bagus Besus Jibus tadi selesai bersantap malam
dan pergi, Genduk Duku diperkenankan menghadap pelindungnya, Bendara Pahitmadu.
Lagi dayang tua yang dulu itu yang mengantarkan Genduk Duku ke ruang dalam
kakak Panglima Wiraguna. Langsung Genduk Duku dirangkul, dan disuruh
menceritakan hal-ihwalnya. Slamet pun dipanggil dan diperkenalkan kepada wanita
tua yang bermata loyang lagi berkuasa itu; kuasa karena pengaruhnya kepada
adiknya yang telah meningkat menjadi Panglima Besar Kerajaan Mataram.
Malam itu Bendara Ayu Pahitmadu sangat
menginginkan tidur kelonan bersama Genduk Duku. Slamet harus
puas dengan kamar lain di keputran. Tetapi ia memohon agar
diperbolehkan tidur di tepi pendapa saja. Tirakatan, katanya
kepada para abdi dalem.
“Siapa pemuda yang enak terlindung boleh
menciumi gadis-gadis di dapur tadi?” tanya Genduk Duku akhirnya tak sabar,
walaupun dengan risiko dapat menggusarkan nenek pelindungnya itu. Ia berani
bertanya karena Bendara Pahitmadu sendirilah yang mulai menggerutui si Jibus.
“Ya, doakanlah negeri kita ini, Nduk. Aku tak
tahu, ke mana semua ini akan pergi. Wiraguna dulu sudah saya marahi. Tidak
sepantasnyalah seorang Panglima Mataram cuma berurusan dengan ekor lelaki
belaka. Hal-hal macam itu seharusnya kan sudah lampau. Terlalu terlambat itu
namanya. Nah, sekarang justru kebalikannya dengan Raden Mas Jibus ini. Terlalu
pagi. Ke mana negeri yang besar ini mau dikusiri? Dengan susah-payah Panembahan
Senapati dan Susuhunan Hanyakrakusuma mencangkul, menanam, membajak, dan
memperluas sawah ladang kebesaran Mataram. Tetapi ahli warisnya, ya seandainya
jadi, beliau menjadi ahli waris, …kan nanti cuma seperti… ya ya betul juga Ni
Sukun yang kurang ajar mengatakan Jibus kompal-kampul-kaya-gabus…. Oh,
akan lepas dari leher kepalanya, kalau ia ketahuan berdendang nakal tentang si
Jibus. Perempuan suka cerewet, tetapi untung dayang-dayangku dapat membedakan,
mana yang boleh dan mana yang dilarang diomongkan ke luar. Tadi kaudengar
tentang ucapan Jibus-kompal-kampul-kaya-gabus dari Sukun? (Genduk Duku
berbohong, “Tidak Bendara Ayu.”) Nah, kalaupun mendengar, jangan disiar-siarkan
ke mana-mana. Dapat menggelundung seperti kelapa kepalamu nanti.”
“Maafkan ketidakpantasan hamba. Tetapi apakah
ada larangan bagi hamba untuk mengetahui siapa yang disebut Den Bagus Jibus
itu?”
“Heh? Mosok kau sendiri belum tahu? Ya,
maklumlah, kau selalu terkurung di Wiragunan sana dan selama ini mengembara ke
Pantai Utara. Jibus? Oh, semoga Allah kasihan kepada Mataram. Jibus? Ya, aku
sendiri juga tidak tahu, dari mana nama panggilan atau mungkin nama kesayangan
itu datang. Dari Raden Mas Sayidin kok melorot jadi Jibus. Nama
kurang enak karena artinya: ‘ditiduri’. Tetapi mau apa? Saya dengar, pagi-pagi
dia sudah mulai belajar meniduri gadis-gadis kecil. Dari mana pembawaan itu?
Dari ibunya, Raden Ayu Wetan tetapi asli dari Batang yang saleh itu? Terang
tidak… ya, meski negeri panas itu Batang. Panas, sama dengan Cirebon. Atau dari
ayahnya sendiri? Beliau dulu juga dipanggil dengan nama panas, Rangsang? Nama
orang desa, biar! Ndeso, biar selalu sadar, bahwa semua raja
Mataram itu aslinya dari desa dan berdarah petani belaka. Wiraguna tidak
terkecuali. Dia pun anak rakyat sebetulnya. Tetapi sering lupa dan pongah dia.
Ya, memang sering begitu. Semakin udik semakin sombong. Kau jangan sombong ya,
Nduk. Saya setuju suamimu nelayan. Lebih baik nelayan merdeka daripada abdi
keraton, Nduk.”
Genduk Duku sudah penasaran, “Siapa ta Jibus
itu, Eyang Pahitmadu?”
Tertawalah nenek tua itu sabar, “Mosok
belum mudeng. Jibus ya Jibus. Kata kalangan istana, dia yang
akan dijadikan putra mahkota.”
————————-
[1] sangat subur
pantas untuk ukuran Pulau Jawa
[2] serba makmur dan
sejahtera
[3] pintu gerbang
[4] “Ya cuma satu itu,
tampan suka berpakaian rapi, tapi terapung-apung mirip gabus. Pantas julukannya
sang Jibus.”
—————
Pantas, Belanda dulu menjajah Indonesia, khususnya di Pulau Jawa,
karena memang Pulau jaw Itu subur sekali, apa saja bisa tumbuh dan menghasilkan
buah dan biji-bijian dengan baik. Kapal-kapal Belanda hilir mudik mengangkut
hasil bumi ke tanahnya sendiri, ber mil-mil jauhnya lautan dijelajahi. Eh…,
kalau ukuiran jaraj pada jaman dulu untuk daratan apa ya?
Seperti orang yang baru saja sembuh dan rakus
makan, begitulah Genduk Duku. Setelah sekian lama tidak merasakan terbang di
atas punggung kuda, rasanya ketagihan[1]) saja
ia. Setiap pagi setiap siang sampai matahari condong ke barat, rakus ia menikmati rasa
menunggang hewan ningrat itu dengan bebas, tanpa takut tanpa prihatin;
mengombak-layang di atas padang-padang rumput luas yang terhampar sampai pasir
Pantai Selatan. Atas kebaikan Bendara Eyang Pahitmadu, Genduk dan Slamet
mendapat suaka dalam Puri Pahitmadu. Bagi Slamet, ini keuntungan yang luar
biasa. Sebab Bendara Eyang sangat gemar makan panggang ikan segar. Untuk itu
beliau mempunyai abdi dalem khusus untuk menangkap ikan setiap malam dari
Samudra Selatan. Slamet boleh ikut Kang Jalajarot, yakni penangkap ikan khusus
Puan Pahitmadu tadi. Kedua orang itu langsung menjadi sahabat karib; sedangkan
Genduk Duku, ke mana lagi selain ke kandang-kandang kuda. Agak merana kuda-kuda
Bendara Pahitmadu. Maklumlah beliau bukan pria yang sepenuh hati menganggap
kuda semacam belahan jiwa. Lagi prajurit-prajurit Puri Pahitmadu bukan
jantan-jantan tingkat jago sabung. Seadanya sajalah mereka memelihara kuda dan
segala prasarana kereta.Bagi Genduk Duku, ini justru mengasyikkan. Dimandikan,
dikerok sampai mengkilau kuda-kuda itu semua, dimanja gula-gula tak lupa. Satu
ekor, hadiah dari Panglima Wiraguna kepada kakaknya, masih sangat muda dan liar
sekali. Tak seorang pun dari para abdi berani menaikinya. Teranglah jiwa
Bima-Sumba yang bergelora dalam Genduk Duku tidak melewatkan kesempatan
tantangan sebagus ini. Sudah tiga hari sejak kedatangannya di Puri Pahitmadu,
Genduk Duku menggarap kuda satu ini, yang mendapat nama Jeliting.Kemajuan sudah
tampak. Jeliting sudah mau mengikuti Genduk Duku ke padang, akan tetapi masih
saja ia membelot bila punggungnya mau dinaiki. Pagi itu Genduk Duku sudah
berniat untuk nekat naik punggung dan entahlah nanti bagaimana mengendalikan
kuda binal itu sekuat mungkin. Bila satu kali ini berhasil, maka teratasilah
sudah ambang batas berontaknya. Untuk mempersiapkan itu, Genduk Duku duduk
bersila di muka kuda dan mulai mengheningkan cipta, memadatkan seluruh galih
dirinya pada sosok Jeliting yang sedang tenang makan rumput.
Masih di tengah renungan, tiba-tiba Slamet
datang berlari dan terengah-engah mengatakan, bahwa Den Mas Jibus datang lagi
dengan serombongan pengawalnya. Terdengar ia mencari seorang wanita muda belia,
yang pernah berpapasan dengannya di muka gerbang Puri Pahitmadu, pada
kesempatan terakhir ia berkunjung ke puri. Sekarang ia masih ditahan halus oleh
Bendara Pahitmadu dengan macam-macam basa-basi untuk mengalihkan perhatiannya.
Tetapi seperti anak kecil ia menginginkan sang Perawan-Dewi-Pematang tadi.
Apa-apaan Perawan-Dewi-Pematang, sela Genduk Duku terheran-heran jengkel. Sebab
jelas dialah yang dimaksud. Percuma saja Bendara Eyang meyakinkan sang Pangeran
satu ini yang terlalu pagi gila-gadis dengan mengatakan, bahwa dia bukan
perawan lagi, sudah bersuami dan cuma perempuan dina udik, dan macam-macam
lain. Tetapi Raden Mas Jibus tidak percaya sang Dewi-Pematang itu hanya anak udik,
sebab cantik sekali, dan roman mukanya khas sekali, dan seterusnya. Sungguh
seperti anak kecil yang merengek-rengek minta gulali.[2])
Apa yang harus diperbuat? Bendara Eyang memang
sudah berusaha pura-pura memanggil Ni Sukun, dayang tua kepercayaan beliau,
agar puaslah hati remaja Jibus itu, dan Ni Sukun sudah bersandiwara, bahwa
Genduk Duku sedang diutus ke Trunyam untuk mengambil bekisar yang
pernah dipesan oleh Puri Pahitmadu. Tetapi Den Mas Jibus tidak seperti gabus
hanya hanyut saja dalam kata manis wanita tua itu. Ia bersiteguh ingin bertemu
dengan si Dewi-Pematang yang, kalau tidak khilaf, ia lihat dalam halaman dapur
dulu sedang memarut kelapa.
Terkejutlah Slamet ketika istrinya justru
tertawa terbahak-bahak mendengar laporannya yang mencemaskan itu. Sungguh edan.
Mau apa makhluk lelaki kecil yang sudah begitu kelewat berahi ini? Tetapi
segeralah Genduk Duku menjadi bersungguh-sungguh, karena gawatlah bila kali ini
yang dihadapi calon putra mahkota kerajaan. Manja lagi. Bagaimana bila dia
mengamuk dan….
“Apa akal, Mas, sebaiknya… ?
“Sebaiknya? Sebaiknya kubunuh saja dia.”
Sekarang Genduk-lah yang terperanjat setengah
mati. Dibunuh? Penuh pertanyaan ia pandang suaminya yang biasanya lemah lembut,
pendiam, dan penurut itu. Tersenyumlah Genduk Duku. Dan dirangkullah penuh
gejolak kesayangan suaminya sambil hangat menciumi batu kepala dan
pipi-pipinya, sampai Slamet takut memandang ke segala arah. Untunglah sepi
semua. Berbisiklah Genduk Duku, “Begitu besarkah Mas Slamet mencintai anak
malang saya ini?”
Dilepaskan suaminya dan dengan mata kelinci yang
penuh permohonan mengharukan Genduk Duku berbisik, “Saya tidak berkeberatan,
Mas, kalau dia terkapar jadi mayat. Tetapi bagaimana nasib Bendara Eyang nanti?
Akan menjadi mayat, semua, dan puri seluruhnya terkena dendam menjadi bara dan
abu. Kita tidak berhak menjerumuskan Bendara Pahitmadu ke dalam malapetaka,
Mas, hanya demi Genduk Duku.”
Slamet hanya mampu diam saja. Betul istrinya.
Geram mata baranya memandang ke cakrawala, dada terengah-engah. Dari jauh
terdengar gemuruh Laut Selatan. Menoleh ke timur ia memandang sekelompok
banteng dan rusa yang sedang memakan rumput. Alangkah inginnya ia menjadi
banteng dan menerjang si Jibus dengan kawan-kawan mesumnya itu.
“Kita lari saja, yuk, ke tempat Mbah Legen dan
Nyi Gendis,” usulnya marah. “Jadi cukup jauh dari dunia ningrat keparat ini.
Bagaimana, kita lari?”
“Ya, sama saja nanti Eyang Pahitmadu lagi yang
menerima getahnya. Dan getah istana racun maut.”
Diam mereka berdua. Apa sih yang dimaui si Jibus
itu? Ketika masih remaja, ya masih anak besar dulu, Slamet pun ingin tahu
lekuk-liku teka-teki tubuh wanita. Tetapi di Telukcikal, hampir semua wanita
telanjang dada. Jadi sudah biasa sajalah semua itu. Menarik dan tidak menarik.
Tetapi kaum istana ini memang seperti sakit otak. Terlalu rapat perempuan
dikurung dan dibungkus. Jadi justru kelewat merangsanglah. Hasrat sih hasrat,
mana lelaki tidak suka menikmati tubuh wanita. Tetapi seperti Jibus ini, apa
tidak sakit namanya? Dan siapa akan rela istrinya dipermainkan? Oleh anak-anak
lagi. Menusuklah rasanya semua ini.
Slamet merasa sangat sadar pada saat seperti
ini, apa arti kekuasaan. Coba bila Jibus anak rakyat biasa. Pasti sudah dia
hajar. Tetapi hanya karena konon beliau ini calon putra mahkota, sampai Bendara
Eyang Pahitmadu, kakak Panglima Besar Mataram pun, tidak berani melarangnya
terang-terangan. Maka silakan, Den Bagus Jibus-Trasi-Busuk! Tetapi seandainya
hanya main-main saja? Hanya itu? Kan dia masih kecil? Tidak sungguhan seperti
pria dewasa. Bagaimana? Tai sapi! Kura-kura anak buayanya itu harus dipotong.
Biar namanya Jibus dan anak raja, tetapi itu tidak berarti dia boleh-boleh saja
menjibusi setiap gadis yang dijumpainya. Meraba-raba dada? Tidak! Istrinya
bukan sapi perahan. Tetapi bila cuma mencium saja?
Orang Jawa tidak pernah mencium seperti
orang-orang bule di Jepara itu. Tetapi kalau sendirian dan tersembunyi, nah,
siapa tidak berbuat? Anjing kucing pun begitu. Tetapi manusia kan bukan cuma
keanjingan atau kekucingan. Tidak. Itu pun tidak akan dia relakan. Tetapi
seandainya putra mahkota itu cuma ingin mencium sayang? Cium pujaan? Cium anak,
walaupun anak sakit atau sinting? Apakah Slamet akan membahayakan nasib Genduk
Duku atau Bendara Eyang hanya karena bersikeras, istrinya tidak boleh dicium
oleh Putra Mahkota? Apakah seharusnya ia justru harus bangga?
Pusing, sungguh memusingkan hal-hal semacam ini.
Alangkah sederhana dan lebih mengasyikkan menjala tongkol atau bandeng. Tetapi
Slamet pun tahu, bahwa hidup bukanlah sekadar menjalatongkol atau bandeng. Ya,
kekuasaan, ini masalah kekuasaan. Kekuasaan orang terhadap orang lain. Sangat
mengiris-iriyiah gagasan tentang penyalahgunaan kekuasaan. Orang Jawa priyayi
istana, apalagi petani, lebih suka menyerah sumarah bila menghadapi kekuasaan.
Tetapi Slamet bukan orang istana. Dia bukan pula anak pantai, dia putra lautan.
Dia menghirup angin kemerdekaan sejak bayi. Dia nelayan, kawan ombak gelombang
dan angin badai. Bukan orang istana. Bukan juga petani. Petani pun masih harus
dibedakan, petani mana. Warga desa perdikan Kedu, bukan petani Mataram atau
Pajang. Petani Kedu, seper’ti bahasa dan tingkahnya, kaku, persegi, tukang
serodok, lebih suka jadi tuan hutan lereng gunung daripada bangsawan kota. Batu
gunung watu item mereka, bukan batu bata merah keropos dari
kota-kota ngarai. Ya, betul, tidak ada satu pun Senapati-ing-Ngalaga yang
berani menuntut para tani Kedu yang seningrat sikap sekian gunung api itu untuk
berwajib setor pasukan bila Susuhunan Mataram berangkat ke medan perang.
Apalagi manusia pantai. Tidak! Slamet dan istrinya datang di Mataram bukan
untuk dipermainkan oleh sembarang Jibus. Dia dipaksa ke selatan ini. Bukan atas
kehendaknya sendiri.
“Kok diam, Mas? Sedih?”
“Sedih memang. Tetapi tak menyerah.”
“Kita jangan menyerah Mas. Hanya bagaimana
menyelamatkan Bendara Eyang Pahitmadu.” Diamlah lagi suaminya.
Akhirnya, “Sebaiknya kita tanya saja kepada
beliau, apa yang harus kita perbuat.”
“Ya, itu baik. Beliau tidak akan menyerahkan
kita ke dalam kesewenangan anak kecil.”
“Anak besar pun tidak bisa seenaknya saja
mempermainkan orang. Biarpun kita ini hanya orang kecil.”
Tiba-tiba suaminya memanjangkan lehernya. Mata
nelayannya yang awas sekali, terbiasa meneropong ke kejauhan, melihat bahaya.
“Lekas, Nduk!” teriaknya, “Mereka datang. Lari!” Genduk pun melihat kepulan
debu di kejauhan. Tanpa berpikir panjang dia berlari ke Jeliting yang masih
tenang makan rumput, dan langsung melompat di atas punggung kuda, yang tentu
saja terkejut dinaiki. Bagaikan anak panah, kuda dan penunggangnya meloncat
lari kencang menjauh. Hanya dengan tumitnya menggenggam tubuh kuda dan
berpegangan pada rambut binatang itu, Genduk Duku bertahan mati-matian agar
jangan sampai dilemparkan oleh kudanya yang beringas. Ia masih sempat mengambil
kebijaksanaan untuk membelok ke utara, agar suaminya terhindar dari perjumpaan
dengan kaum istana itu; dan dengan jalan busur besar, menghilang di balik desa
paling dekat. Kuda dilarikan begitu rupa, sehingga seolah-olah jarak antara dia
dan pengejarnya kelihatan semakin dekat, padahal justru menjauh. Begitulah para
pemburu perempuan itu tolol tergoda mengejar Genduk dan sekaligus menjauh dari
Slamet; mengejar kuda dengan penunggangnya yang sungguh gila menakjubkan itu.
Slamet berlari ke pantai, dan dengan perahunya
dia mencebur ke laut, melawan ombak-ombak yang menghempas pantai. Mengayuh dan
mengayuh ia, sampai terlewati gelombang-gelombang pantai dan sampai di perairan
yang lebih tenang. Cepat layarnya ia kembangkan, dan dengan pertolongan angin
yang kencang; melajulah perahu ke barat, ke arah Genduk Duku tadi berlari.
Genduk Duku sudah mengenal layarnya yang bertanda matahari dan bulan; dan bila
ia jeli, mereka dapat saling bersua di tempat sepi di pantai yang terpencil.
Sesudah itu akan dipikir lagi, melangkah ke mana. Gigi-gigi saling menggigit
rapat dan dengan hati panas Slamet berusaha agar perahu kecilnya jangan
terlempar oleh gelombang- gelombang yang mulai menggunung menanti air pasang. Akan
dia buktikan, dia bukan gabus seperti Jibus.
“Kalian harus menerkam kenyataan. Jangan
menghindari-nya,” demikian pesan Bendara Eyang Pahitmadu kemudian. “Anak
seperti Den Mas Jibus ini manja. Bukan salahnya. Setiap istana memanjakan
tuan-tuan kecilnya. Anak manja biasanya pendendam. Dia harus kauyakinkan, Nduk.
Jangan kau lari menjauh belaka. Cobalah cari siasat.”
“Bendara Eyang berhati budiwati. Mudah memaafkan
sesuatu yang menurut pandangan umum tidak baik. Tetapi bila beliau sang Jibus
mendekat, pastilah Genduk Duku tidak mungkin akan menahan tangan untuk tidak
menampar beliau di wajahnya.”
“Oh, jangan begitu caranya. Nanti kalian dan
kita semua dalam puri akan dibunuh oleh ayahnya.”
“Maka sudilah Bendara Eyang jangan menitahkan si
Genduk Duku mendekat pada beliau. Genduk Duku orang kodo mbrengkelo[3]) dan
mudah marah meledak.”
Bendara Pahitmadu menarik napas panjang.
“Ya memang kau begitu. Dan justru itu yang
kusenangi dalam dirimu dan terutama dalam puanmu almarhumah Mendut. Aku senang
Srikandi-Srikandi yang kadang-kadang menghajar kaum lelaki. Resi Bisma memang
sulit dipersalahkan, karena anak panah yang membunuh Dewi Ambika terlepas tanpa
sengaja dari busurnya. Tetapi apa guna menakut-nakuti segala? Kesalahan Bisma
bukan karena dia berluhur budi ingin wadat tak menikah demi
saudara-saudaranya, akan tetapi dia tidak mau sedikit pun mencoba memahami
kewajaran pikir dan perasaan Dewi Ambika. Perempuan sudah dinikahkan kepada
lelaki, kan sudah nalar dan haknya dia meminta tempat di sisi suaminya. Kalau
Bisma tidak suka didekati wanita, dia harus pergi ke Kahyangan dan mengadukan
soalnya kepada para dewata. Tetapi jangan pihak wanita yang dijadikan korban. Ya,
Resi Bisma biar resi luhur budi sekalipun perlu dihajar juga.”
“Apa Raden Mas Jibus perlu dihajar juga, Bendara
Eyang Pahitmadu?”
“O ya, dia juga. Tetapi sekarang cuma bagaimana
caranya.”
Genduk Duku tersenyum. Kedua manik matanya
bersinar tertuju ke mata loyang puannya. “Tetapi ini sulit.” Dan panjanglah
napas wanita tua itu. “Sebab di belakangnya ada seorang Senapati-ing-Ngalaga
Sayidin Panatagama. Mendut-mu pernah menghajar Panglima Wiraguna. Ya, biar
Wiraguna adik saya sendiri, dia perlu mendapat pelajaran, dan ia sudah
mendapatnya. Tetapi ya, pelajaran biasanya mahal. Mendut dan kekasihnyalah yang
harus menjadi tumbal.”
“Itu tidak adil,” kata Genduk Duku.
“Memang kau benar. Itu tidak adil. Tetapi
itulah, kekuasaan. Tidak menimbang mana adil dan tidak adil. Kekuasaan seperti
angin topan saja. Menghancurkan apa saja yang menghadang di jalan. Oleh karena
itu kita harus bijaksana menangani si Jibus. Dia sangat manja, anak raja kuasa,
dan orang-orang di sekelilingnya penjilat semua. Hati-hati. ”
“Kalau begitu, perkenankanlah hambamu Duku untuk
sementara minta diri dan bersembunyi di tempat yang cukup jauh saja. Sebab
hambamu Duku khawatir, bila beliau datang lagi dan minta hal-hal yang
bukan-bukan, tangan abdimu tidak dapat dikendalikan, dapat melayang ke wajah
beliau. ”
“Apa tidak dapat dengan bahasa halus misalnya?”
“Dengan bahasa halus tidak mungkin juga, Bendara
Eyang. Semakin kita menunjukkan kelemahan, semakin nekat dia.”
“Ya, kau memang anak cerdas. Tetapi tidak
semudah itu, tidak sesederhana yang kau bayangkan. Kekerasan hanya menelurkan
kekerasan lain. Coba, saya pikir dulu, apa yang baik bagi kalian berdua.
Tolong, jari-jari kakiku kau tarik sebentar, biar enak. Kok kaku sekali seluruh
tubuhku. Ya, sudah semakin tua, semakin mudah lelah eyangmu, Nduk. ”
Genduk Duku memenuhi permintaan wanita tua yang
begitu baik telah melindungi mereka berdua. Sayang, sayang Ni Semangka,
pengasuhnya dulu, sudah tak mungkin lagi diminta kehadirannya. Ternyata rasa
sayang Ni Semangka kepada Rara Mendut sangat mendalam. Dari luar tampak
sumarah, tetapi dari dalam ia telah hancur. Tetapi sebaiknya begitu sajalah. Ni
Semangka dan Mendut-nya tak terpisahkan. Siapa tahu, wanita penuh keibuan dan
anak dalang mistik punya saran dan akal? Ah, selama nama suaminya Slamet, semogalah
semua akan selamat juga.
Malam itu Genduk Duku menambatkan Jeliting pada
sebuah pohon sawo kecik di keputren, di dekat ruang tidur yang
disediakan khusus untuknya; rumah panggung kecil di sudut halaman yang dari
dunia luar hanya dibatasi oleh sebuah dinding bata merah, berpilar-pilar dengan
bunga teratai di pucuknya; halaman pasir sejuk serba terbayangi oleh
pohon-pohon sawo kecik. Kemudian Genduk menggelar tikar mendong berpola
silang-silang nila di lantai emperan panggung terbuka. Ia meletakkan pelita
minyak kemirinya di sudut dan bebas leluasa membaringkan diri di atas tikar
dengan hanya berkain tipis terikat di pinggang. Malam itu pengap dan nikmatlah
berbaring sebebas itu. Rambutnya terurai menggelombang, sebagian meriak di
lantai yang di sana-sini telah ditaburi bunga-bunga melati dan kembang mawar.
Wajahnya diboreh harum seperti tubuh atasnya juga, sehingga semerbak mewangi
terang-terangan “sangat menyolok hidung. Pelita kemiri tadi menerangi wajah dan
dada Genduk Duku yang menggunung di bawah kemben kain, yang oleh permainan tari
cahaya mempesona nyaris gaib, sehingga suasana berkadar pukau himbau asmara
secara khas. Tetapi Genduk Duku sama sekali tidak merasa gaib di dalam hatinya,
bahkan sebetulnya sangat berdebar-debar. Gila semua ini. Tetapi apa boleh buat.
Dunia istana bukan pantai damai kaum nelayan yang terhibur tari-tari tanpa dosa
dari pohon-pohon kelapa, dengan gelagah-gelagah bambu bersiteran
macapat;[4]) kendati
sama atap langitnya yang berbintang intan. Genduk Duku, terutama Slamet yang
belum pernah menghirup suasana istana kaum bangsawan, harus belajar bergaul
juga dengan kenyataan yang tak pernah termimpikan; seperti yang diistilahkan Bendara
Eyang Pahitmadu, menerkam persoalan pada tengkuknya.
Seperti sudah dapat diduga semula, di malam
pengap itu Raden Mas Jibus datang menyelundup lagi. Anak ini kalau sudah
terkena napas nafsu kenikmatan selalu penasaran. Ayahandanya sendiri konon sangat
prihatin melihat perkembangan putranya yang paling beliau sayangi. Akan tetapi
semua kenakalan putranya hanya dianggap gejala pancaroba biasa, seperti umumnya
anak yang sedang mendewasa dan yang sebentar lagi akan surut pula. Dan
jelaslah, siapa abdi dalem yang berani merisikokan lehernya hanya untuk
mengkhotbahi seorang calon putra mahkota yang telah terbiasa termanja?
Duku telah mencoba makan beberapa manisan pala
agar dapat reda ketegangannya dan dapat tertidur sedikit. Akan tetapi tentulah
itu sia-sia. Dalam hati ia berdoa dan memanggil-manggil puannya Rara Mendut,
agar ia bisa tabah mengatasi percobaan ini. Jorok sebetulnya semua ini. Anak
yang dua pasang musim lebih muda ingin main-main dengan wanita yang lebih tua,
yang sudah menikah. Seandainya nasib Bendara Eyang yang begitu baik tidak perlu
dipikirkan, memang ada baiknya Slamet dibiarkan mempergunakan goloknya. Dengan
perahu layar mereka berdua masih bisa melarikan diri dan menghilang di laut,
muncul di suatu bandar, tinggal pilih yang mana yang ada di seluruh pantai
Pulau Jawa nan luas ini. Terpaksanya lari ke Banten yang masih menjadi lawan
Mataram. tau ke Betawi bisa juga. Akan tetapi teranglah Genduk dan Slamet tidak
dapat membiarkan orang budiwati mereka menderita serambut pun.
Hampir saja Genduk Duku hanyut dalam alam tak
sadar, ketika tiba-tiba bunyi jengkerik-jengkerik di sekitar rumah Genduk
berhenti berbunyi semua. Inilah saatnya. Genduk Duku sengaja meliukkan tubuhnya
dan menghadapkan diri ke pelita. Suatu bayangan manusia kecil keluar dari
kegelapan dan menghampiri rumah panggung. Genduk Duku pura-pura tidur. Maka
bayangan tadi, yang siapalagi kalau bukan Raden Mas Jibus, hati-hati naik
tangga dan membaringkan diri tertelungkup di muka Genduk Duku. Jari-jari
tangannya maju dan menjamah tepi kain yang membalut dada Genduk. Pada saat kain
itu tersingkap, tegak duduklah Genduk Duku dengan mata masih tertutup. Alangkah
terkejutnya Raden Mas Jibus. Spontan ia mengundurkan diri sedikit. Dengan
membiarkan dada terbuka, Genduk memegang tangan Raden Mas Jibus yang masih
pucat tersihir suasana, tak berdaya. Masih seolah-olah mata tertutup, tetapi
sebetulnya mengamati Raden Mas Jibus dan semua gerak-geriknya lewat antara
bulu-bulu matanya, Genduk Duku, masih erat memegang tangan lawannya dan memaksakan
diri tenang mengantarkan tamu yang telah ditunggu itu menuju ke Jeliting dengan
langkah-langkah seperti melayang. Raden Mas Jibus serba terbengong seperti
linglung hanya mengikuti saja langkah-langkah Genduk Duku yang sambil berjalan
membereskan kainnya dengan tangannya yang lain. Maka seperti tersihir pula
Raden Mas Jibus diangkatnya menaiki punggung kuda. Genduk Duku naik punggung
kuda Jeliting juga di belakangnya. Tangan kiri merangkul sang pangeran kecil,
tangan kanannya mengendalikan kuda pada rambutnya… ke luar halaman, ke luar
gerbang, masuk ke dalam kegelapan.
Sedikit demi sedikit Jeliting disuruhnya
berlari, tetapi tidak cepat. Selama perjalanan Genduk Duku membisik ke dalam
telinga Raden Mas Jibus, “Adikku, adikku tersayang. Sudah lama kau kunanti,
Adikku,” dan kata-kata cengeng sejenis itu. Pangeran Jibus rupa-rupanya lunglai
menikmati pengalaman asmara serba luar biasa aneh ini, apalagi bau harum
semerbak yang membelai hidungnya menambah perasaan mistik yang penuh
kenikmatan. Malam tidak sangat gelap, dan dalam cahaya beribu bintang dan
jutaan kunang-kunang, jalan cukup terang. Raden Mas Jibus membiarkan diri
diganja dari belakang dan dirayu. Luar biasa pengalaman diajak main cinta oleh
seorang prewangan.[5])Prewangan?
Ya, begitulah kata Eyang, kakak Panglima
Wiraguna itu, Yang Mulia Pangeran Sayidin harus maklum, bahwa si wanita yang
Pangeran lihat di muka gerbang dulu itu adalah anak prewangan. Ya, dari
Pranaraga. Ibunya prewangan dari pulau jauh, lebih timur dari Bali, dan
ayahnya warok. Jadi maklumlah.” Bendara Pahitmadu telah
mencoba untuk membujuk sang pangeran remaja untuk mencari gadis lain saja yang
lebih biasa, akan tetapi Raden Mas Jibus percuma disebut Jibus bila tidak
mencoba pula mengenyami anak prewangan. Umur lebih tua tidak soal, bahkan
justru di situlah tambahan pesona gaibnya. Bukankah pada umur Raden Mas Jibus
sekarang ini, setiap anak lelaki sedang mendewikan wanita pilihan dambaan yang
terpuja lagi penunggang kuda? Nah, bukan hanya Dewi Pematang dia, tetapi Dewi.
Padang-padang Asmara Gaib.
Dengan tegas tanpa kekeliruan sejerami pun,
Genduk Duku mengarahkan langkah-langkah Jeliting menuju ke suatu kuburan.
Agak terlambat Raden Mas Jibus sadar, bahwa
mereka sudah terlanjur masuk ke dalam suatu kuburan gelap penuh pohon kemboja
dan nisan-nisan angker. Tetapi setelah sadar ia dibawa ke mana, terperanjat ia
berteriak ketakutan, meloncat dari kuda dan lari pontang-panting serba bingung.
Entah ke mana, pokoknya ke luar kuburan. Masih untung tidak pingsan kaget. Ya,
kalau ini, kalau ini, sama sekali tidak diduganya. Mati, sungguh mati! Ke
kuburan. Berkali-kali ia terjerat akar, menyandung nisan, atau terperosok ke
dalam lubang. Tak sadarkan diri akhirnya Pangeran Jibus masuk lubang makam yang
lapuk. Langsung dua sosok bayangan gelap keluar dari antara pohon-pohon
kemboja, dan mengangkat si penggemar prewangan itu ke luar lubang.
Diangkatnyalah tubuh kecil ramping itu dan digotong ke luar, dimasukkan ke
dalam tandu yang sudah tersedia. Dua sosok hitam itu pulang kembali menuju ke
Puri Pahitmadu.
Tetapi Genduk Duku pun rebah di tanah. Begitu
tegang saraf-sarafnya. Jera, sungguh jera melakukan cara penyelesaian semacam
ini. Sesosok bayangan lain segera menuju ke tempat Genduk Duku yang rebah itu.
Slamet. Dipeluknya istri tersayang dan digendonglah tubuh teguh tetapi semampai
itu melekat di dada. Di tengah jalan barulah Genduk Duku siuman, dan
tertatih-tatih, dibantu Slamet, mencoba menuju sebuah perahu di tepi pantai.
Pada kapyukan pertama air laut, Genduk Duku benar-benar bangun dan sadar segar.
Tanpa membuang waktu sedikit pun, bersama-sama mereka mendorong perahu itu ke
air. Hati-hati Genduk Duku naik perahu di penghulu, dan dengan kekuatan yang
meyakinkan sekali lagi Slamet mendorong perahu masuk ke laut, meloncat ke
buritan, dan dua kayuh mengayun, mati-matian melawan ombak laut malam. Sekali
di luar barisan-barisan gelombang pantai, Genduk Duku melemparkan kayuh ke
dasar perahu, membungkuk dan mencoba beristirahat. Basah kuyup oleh air asin
berbuih kedua orang muda itu. Tetapi juga basah kuyup dengan asa syukur dan
kebahagiaan, menghayati pengalaman bahaya hidup bersama dalam duka dan derita.
[1] sangat ingin, sudah seperti tak
tertahankan rasanya
[2] nama penganan dibuat dari air gula
[3] lekas marah
[4] main kecapi sambil mendendangkan
tembang Jawa
[5] perempuan pengantar hantu/tenaga gaib
————————–
he he he …, Genduk Duku kecanduan naik kuda
sampai sore hari
Anggun cantik Dewi Umayi, sanggul keong
bersahaja seperti biduk di sungai rambut yang sebagian terurai panjang
tergerai; pinggang bagai lebah kemit, gerak lenggang elegan rusa santai. Betari Durga kasar bermuka serigala
bermata buah dondong pecah, sanggul gaya putri Keling berhantu lidah melelet
membelakang serba mengancam, bibir sobek bertaring cerongat di atas sosok kayak
kentongan bongkot gelugu, inilah istri Batara Kala, juru kunci maut. Tetapi
setiap anak tahu, Umayi dan Durga adalah satu sama. Seperti siang dan malam
adalah satu. Cuaca Durga itulah vang sedang dialami Genduk Duku sekarang. Bukan
lagi laut biru lazuardi yang indah secantik Umayi yang mengharu hati, akan
tetapi laut dalam bentuk buas yang liar terhasut angin barat prahara
menderu-deru. Duku dan suaminya semula berusaha menuju ke Nusa Kambangan, untuk
mendarat di salah satu kuala Segara Anakan, muara Bengawan Serayu. Akan tetapi
tak berdaya perahu dihembus dilempar dan dihempaskan semakin ke timur.
Betapa pilu hati Duku ketika mereka melewati
muara Sungai Opak, tempat Rara Mendut dan Pranacitra diterima haribaan bahari,
pulang ke Samudra Sangkan-Paran[1]). Untunglah,
sesudah dua hari, angin dan badai mereda, dan serba pasrah kedua insan itu
hanya dapat menghanyut melewati karang-karang kapur pegunungan selatan. Ujung
Layang tahu-tahu telah terlampaui. Betapa berat dan menakutkan lautan macam
yang dialami Duku untuk pertama kali ini. Ujian yang dapat menghentikan denyut
jantung ternyata dirasakan indah sesudahnya, karena dialami bersama suami yang
dapat diandalkan. Manis rasanya menempuh bahaya dan kepahitan bila dibagi bersama
dengan manusia tercinta.
Selama prahara mengamuk barulah Genduk Duku
melihat dengan segala indrianya, betapa perkasa Mas Slamet, nelayan Telukcikal
pilihannya itu. Di darat tampaknya ia hanya biasa-biasa saja, bahkan
kadang-kadang seperti kurang trampil. Akan tetapi di atas gelombang-gelombang
angkara murka bahari, ya, di atas badai buas, tampaklah sang Slamet yang
sesungguhnya. Manusia laut, putra penantang Betari Durga dan Betara Kala,
pemenang atas ancaman Setragandamayit. Dua sejoli itu lega mendarat di pantai
pedukuhan kecil yang bernama Nyamikan, sedikit di sebelah barat Pacitan.
Penduduk pantai menjadi ramah setelah Slamet menerangkan mereka berasal dari
Pantai Utara, sebab seumumnya orang sana yang masih merasa anak-cucu
laskar-laskar Pangeran Jayaraga, yang dulu pernah dihabisi oleh Panembahan Seda
Krapyak,[2]) tidak suka pada Pusat
Mataram. Maka menetaplah kedua pengungsi itu di Nyamikan dengan damai dan penuh
syukur.
Sedikit demi sedikit Slamet dapat membuat sebuah
gubuk sendiri untuk pangkalan mencari nafkah sehari-hari. Sedangkan Genduk
Duku? Apa lagi, selain mencoba keuntungan dalam wilayah yang sangat ia kenal;
menjadi blantik jaran.[3]) Ini
berhasil. Segera Duku terkenal sebagai pengenal kuda, ahli dalam ngelmu
katuranggan,[4]) suatu
seni yang tidak sembarang orang bisa. Tetapi Genduk Duku bukan pengagum Rara
Mendut sejati, apabila mulai sekarang tidak belajar juga seni nelayan. Dengan
Slamet sebagai guru, mengarungi laut bagi Duku yang sudah terbiasa mengombak di
atas kuda membalap, sekarang bukanlah lagi usaha yang teramat sulit. Dengan
jaring ataupun pancing, Duku belajar memperdaya ikan-ikan kakap merah bang-bangan yang
dapat dijual mahal di pasar. Ke padang batu-batu koral mereka berdua pergi
juga, menangkap ikan-ikan tutning, buntut kuning dengan kepala
dan tubuhnya yang biru belawu dan ekor serta sirip kuning elok
yang amat disukai salah seorang demang panewu[5]) di
dekat Pacitan.
Dan bila laut teramat tenang dan saatnya tepat
untuk melepas lelah, Duku basah kuyup menidurkan diri di dasar perahu, geli
mendengarkan bunyi-bunyi sahut-menyahut dalam air seperti suara segerombolan
sapi beraneka nada atau penjual-penjual ywg sedang menawarkan dagangan di
pasar. Maka tertawa gelilah selalu Duku. Itu ikan-ikan tetet dan kerong-kerong. Maka
mengombak pula dalam aneka nada rasa bahagia Duku, berkerong-kerong puas.
“Mas, sini. ”
Slamet memandang insan berkain basah di mukanya,
dengan dua anak duyung di dada terbuka serta senyum damba yang menghimbau.
“Ada apa?”
“Sini.”
Slamet melawak dengan membelalakkan matanya.
“Nanti saja.” Lalu dengan batok kelapa
mengeluarkan air dari perahu.
Slamet ini gagah indah kalau sedang bekerja di
tengah laut, pikir Duku sambil menikmati pengamatan pada suaminya yang masih
sibuk itu. Barangkali lautlah istri pertamanya, dan Genduk Duku istri mudanya.
Biarlah tak mengapa.
“Awas!” teriak Slamet, sambil menundukkan
kepalanya.
Seekor ikan cendra bermulut
sepanjang lengan, seperti bangau tetapi bergigi, terbang dan nyaris menjatuhi
Duku. Untung dia mencebur diri pas lewat lambung sampan.
“Hampir,” seru Slamet lega.
“Biarlah. Tak mengapa.”
Setelah musim angin barat pergi, Slamet berangkat
dalam sampannya untuk pelayaran khusus menuju ke barat. Sudah lebih dari
waktunya ia atas nama istrinya akan mencari berita dari Puri Pahitmadu tentang
Putri Arumardi, pelindung besar Duku kala itu di Puri Wiragunan. Istrinya
dipercayakan kepada tetangga tua, seorang nenek ketus di Nyamikan yang sudah
menerima mereka selaku sahabat dan saudara. Maka berangkatlah Slamet di suatu
siang kencana sesudah air pasang turun, melawan ombak pantai, kemudian ke
barat,
Ada pun di dekat Pranaraga seorang warok
diam-diam menaruh perhatian yang terlalu bernafsu kepada si Blantik Jaran baru
dari Nyamikan yang begitu ahli tentang kuda, lagi rupawan. Maka pulanglah pula
di siang kencana yang sama dari warung nasi Nyamikan si Palanggedog menuju
tuannya. Ia pesuruh Warok Badogbadig yang sudah beberapa pekan memata-matai
suami-istri nelayan baru itu dengan pura-pura berkulak ikan.
“Hahaha, suaminya pergi? Hahaha helok
helok, hayu hayu tenan,heh? Hiyoh, hapa jare. Cabut
nama Habadog-habadig dari haku, kalau tidak mampu mendekap dan
mendenyuti si Genduk hayuitu, hei! Huahahaaaa, hinilah saatnya,
hai!” Dan dipelintirlah ujung-ujung kumis lebatnya yang meniru gaya mutakhir
orang-orang Kumpeni.
Badogbadig kekar walaupun pendek tubuhnya, dan
menggelembung perutnya. Kedua kakinya agak bengkong ke luar seolah-olah sejak
lahir ia selalu bertugas mengukur penampang perut kerbau dengan sepasang
kakinya itu sehingga bengkok. Ia sudah punya tujuh istri dan dua belas gemblak,[6]) anak
lelaki piaraan yang tampan. Tetapi tikus-wirog nafsu sang
Warok melebihi panjang kumisnya. Tambah lagi, suatu Rebo Legi, hari pasaran di
Pacitan ia merasa sangat dipermalukan oleh – ya si Blantik perempuan satu ini.
Ketika itu Badogbadig sedang memerlukan uang
karena gemblak yang paling ia sayangi merengek-rengek minta cincin emas dengan
mata zamrud yang pernah digodakan kepadanya oleh seorang pedagang emas Banjar
di Pranaraga. Tetapi kalau dia diberi cincin, gemblak-gemblak lainnya pun
terpaksa harus ia beri juga sesuatu yang mirip. Apa boleh buat, satu kuda
mungkin sudah cukup. Dia masih punya seekor kuda berwarna plangka-bang yang pancal
panggung[7]) dengan
dada kekar kuat dan rusuk-rusuk dada yang panjang, wulu-nguler-serit
buntut andangu aren.[8]) Hanya
sayang batu kepalanya tidak begitu menonjol dan kelihatan agak menyatu dengan
bagian kepala di belakangnya; kurang berbentuk batu asah cekung. Warok
Tantangpati dari Sleko punya kuda dengan kepala ngungkal-gerang[9]) yang
tidak dipunyai oleh si plangka-bang-nya. [10])Pernah saingan keparat itu
berpongah mengejeknya, “Si Badogbadig itu kan seperti kepala kudanya, utege
tepos.”[11])
“Babo! Siaplah!” Nama si penghina sudah jelas:
Tantangpati, bukan? Jadi jelas juga tak ada kesimpulan lain: suatu malam tanpa
bulan, ketika Warok keparat itu sedang berkonyolan dengan gemblak-nya, oleh
sepasukan jago-kepruk yang dipimpin oleh penerima cap uteg
tepos tadi, pintu rumahnya dijebol dan habislah riwayatnya. Tidak sia-sia nama
Badogbadig, bukan? Tidak ada penghinaan di negeri ini yang tidak harus dibayar
Jengan nyawa. Itu kalau masih ingin disebut wong Jawa, keturunan
Raden Wijaya atau Ken Arok.
Nah, dengan si Blantik Bawuk dari Nyamikan itu
soalnya agak lain. Seandainya dia lelaki, nah tahulah apa artinya carok
warok. Tetapi ia perempuan, manis lagi. Matanya seperti akik Tingal-Narayana,
mblalak-mblalak meleng-meleng,[12]) dan
kalau sedang merasa tidak senang memandang sesuatu, justru mempesona roman
mukanya. Bikin gemas nafsu memberangas.
Kuda yang ingin dijual Kang Badogbadig
ditawarkan oleh si Palanggedog, pembantu serta mata-matanya tadi yang memang
setia, tetapi sayang otaknya terbuat dari usus ayam. Nah, ketika itu si
plangka-bang ditawarkan kepada Demang Untara dari Blitar untuk anaknya. Tetapi
entahlah siapa yang menasihatinya, pengemban tugas Ki Demang, Raden Conte yang
malas seperti penyu, minta tolong pada wanita muda dari Nyamikan itu. Dalam
perundingan jual beli, ternyata kedudukan si dungu Palanggedog sangat lemah.
Sampai sang warok pribadi, meski kurang gengsi, terpaksa ikut campur tangan
langsung di dalam gelanggang perundingan. Mosok Warok tenar bermartabat kok
ikut tawar-menawar harga jual-beli kuda. Lain kalau perlu membeli topeng atau
perangkat bulu merak untuk pakaian kebesaran tari warok. Nah, ini soal mistik
yang menentukan hidup-mati warok.
Tawar-menawar tadi selalu kembali ke titik lemah
yang sudah dikhawatirkan sebelumnya, soal batu kepala si kuda yang kurang ngungkal
gerang tadi. Dengan segala kemahiran bicaranya, Palanggedog memuji kuda yang
memeragakan gaya larinya. “Lihat, betapa luwes kakinya dan jauh langkahnya,
tapak kaki belakang menyinggung bekas kaki muka. Sama jarak majunya kaki muka
dan belakang, bukan? Perhatikan, betapa lebar juga jarak antara kaki kiri dan
kaki kanan. Coba lihat, jauh kan dari gerak ayam jago bila berjalan
pelan-pelan? Lain bukan, dibanding dengan kuda sembarangan yang langkahnya
seperti sapi? Nah, lihat bregas[13]) bergelora
kalau sedang berlari, tegak kepala dan ekornya. Ini baru kuda. Dan tahu berapa
umurnya? Dewasa, tetapi muda; baru saja meningkat umur rampas,[14]) jadi
masih dapat dilatih apa pun dan masih dapat dinikmati banyak tahun. Berapa
harganya? Tidak banyak. Apalagi bagi orang demang. Seratus dan tiga puluh real.
(Ah, dagelan, kata si Blantik Bawuk. Lima puluh real, itu pun nanti kalau
soal unyeng-unyeng[15])sudah
diteliti.) Hah? Lima puluh? Mau tahu, apa yang disebut badig?
Carok, kalau tak kenal nama badig. Arit, tahu? Jangan menghina. Ini
kuda kekasih seorang warok yang paling tenar di seluruh wilayah Pranaraga.
Pernah ziarah ke makam Sunan Tembayat di Wedi beliau, kalau mau tahu. Artinya
sakti. Jadi kuda ini pilihan, bukan kuda lumping, hah! (Enam puluh!) Gila.
Dicoba dulu kalau mau menaksir harga. Jangan asal ngomong tong
mbetotong.[16]) Perempuan tahunya
apa! Kami hanya berurusan dengan abdi Ki Demang. Berapa, Raden? Terserah
blantik blang gentak[17] ini? Nah, siapa yang punya duit,
Raden Mas Demang Untara atau si istri nelayan dari Nyamikan? Ini perkara
kehormatan. Bukan cuma soal jual-beli kuda. Kuda sih di mana-mana ada, tetapi
kuda berwarna plangka bang yang pancal-panggung seperti ini jarang ada di
seluruh Jawa. Coba? Mau mencoba? Silakan, nanti kan terasa kuda ini pantas
untuk ikut main setonan di kadipaten. Sungguh, hah? Simbok
Blantik yang mau menaiki? Aduh, memalukan. Maaf, kalau jatuh kami tidak
tanggung. Nanti dulu, hei, ini mau apa? Bukan… uatho….” Tetapi
sudah berlarilah Genduk Duku dengan kudanya. Tahu-tahu sanggul rambutnya
terurai, disusul tepuk tangan orang-orang pengerumun. Dari belakang tampak
menggairahkan sekali rambut Duku dan rambut ekor kuda mengombak menggelombang
satu irama di atas awan debu yang membuat pemandangan seram seru. Orang-orang
di pasar bersorak dan bertepuk melihat Srikandi muda yang gesit itu
mempermalukan si Palanggedog yang terkenal pongah itu.
“Mau lari ke mana perempuan itu?” teriak
Palanggedog kesal. “Awas, kau dari kademangan, kalian harus menanggung semua
akibat apabila dia melarikan kuda yang termasyhur itu.”
Tetapi Raden Mas Conte hanya tersenyum. “Mungkin
sesekali kau berminat untuk berpacu kuda dengan si Blantik Nyamikan itu?” tanya
abdi demang dengan nada agak mengejek.
“Berpacu? Dengan perempuan? Seumur hidupku tidak
akan. Mana mungkin bertarung dengan istri nelayan, melarat lagi. (Eh, kau tahu,
dia berasal dari puri Mataram?) Mataram, persetan Mataram. Lho, katanya dari
Pantai Utara. Bohong kalau begitu. Tetapi kalau memang putri dari puri, mengapa
cuma dinikahi nelayan dungu? Pasti nggak beres dia. (Siapa tahu lho! Kalau dia
perempuan biasa, mana mungkin dapat naik kuda begitu mahir, lagi luas
pengetahuannya tentang ngelmu katuranggan.) Calo selamanya
calo. Musti tahu dia. Tetapi tidak berarti dia raden ayu apa-apa itu. Tawaran
Raden tidak bisa naik? Kurang ajar perempuan itu. Mosok, menawar kok lebih
rendah dari pada separuh harga yang diminta. Kan menghina itu namanya. (Enam
puluh kalau mau. Tetapi nanti dulu. Itu kalau beres nanti pemeriksaan unyeng-unyengnya.) Enam
puluh? Bisa dibuat apa dengan enam puluh real. (Beli lima pasang kerbau, Kang).
Kerbau? Apa-apaan kerbau untuk seorang warok tenar? Sudahlah, seratus dan dua
puluh lima: Hanya karena ini untuk Ki Demang Untara, junjungan Pranaraga yang
telah berjasa memberantas maling di daerah sini. (Seratus dan dua puluh lima?
Unyeng-unyengnya dulu diperiksa.) Nah, dia sudah kembali. Gila dia! Begitu
hebat wanita satu ini terbang di atas kuda. Nah, maka itu! Karena memang
terbukti kuda tumpangannya hebat, mengapa menawar begitu rendah? Siapa pun bisa
naik kuda. Tetapi kuda seperti apa, nah, itu rahasianya. Heih, Perempuan, siapa
namamu? Sudah cukup. Punggung kuda milik warok tenar sebetulnya tidak boleh
ditunggangi pantat perempuan. Khiyihihiihiik!” Dan tertawalah Palanggedog -ya,
mirip kuda juga. “Kalau nanti kau merasa hamil, ya tahu sendiri!”
“Mulut trocoh!”[18])> desis
Duku dengan mata menghalilintar.
“Tutup congor-mu!”[19] seru
marah Raden Conte pula. “Saya disini diutus Ki Demang Untara untuk beli kuda.
Tidak untuk mendengarkan mulut buaya busuk.”
“Maaf, Den Mas. Bukan itu yang saya maksud.
Sudahlah, seratus dan dua puluh sajalah, maaf tidak bisa kurang. Saya pun harus
bertanggungjawab kepada tuan saya.”
“Minta maaf dulu kepada Ni Duku ini. Dia kami
minta tolong mendampingi kami, karena terkenal dia tahu banyak tentang kuda.
Menghina dia berarti menghina Raden Conte dan menghina Ki Demang Untara, tahu?
Ayo, minta maaf.”
“Ya, sudah Raden, saya minta maaf.”
“Tidak pada saya. Pada dia.”
“Tidak mau.”
“Sudah? Tetap sombong tidak mau? Baik. Akan tahu
akibatnya nanti.”
Pada saat itu, terpaksalah Kang Warok Badogbadig
masuk ke dalam kalangan yang sudah menjadi kerumunan orang banyak.
“Hei, ada apa ini? Ada apa, Paldog? Ada apa, Raden?”
“Tanya dia sendiri.” Dan pergilah Raden Conte
meninggalkan gelanggang. Dengan kepala tegak menantang, Duku tetap berdiri
berkacak pinggang.
Sebetulnya amarah Raden Conte sebagian besar
hanya sandiwara saja. Agar harga kuda dapat lebih turun lagi. Nah, bukankah ini
kedudukan yang lumayan? Mendapat kuda dengan harga murah, dan nanti akan dipuji
oleh tuannya. Lagi masih dapat berlagak selaku pihak yang penuh dermawan. Dan…
ya, siapa tahu, si Blantik manis ini masih suka terus menjadi langganan. Langganan
keahlian tentang jual-beli kuda dan langganan… hyahuuuu! Tapi Conte harus
hati-hati dalam siasatnya. Perempuan ini menarik, tetapi galak juga. Paling
tidak keras kepala. Harga dirinya perlu dikurangi sedikit. Untuk itu Raden
Conte punya pengalaman.
Betul. Dengan muka menyesal atau pura-pura
menyesal, yang jelas muka menjilat, si Warok minta pengertian. Nah, sudah kalah
lebih dari separuh kedudukan si Warok itu bila ia pihak yang menyesal. Betul,
Warok Badogbadig yang sangat membutuhkan uang selekas mungkin, meminta maaf
kepada Raden Conte atas nama abdinya yang memang sudah diakuinya dungu, tolol,
tidak berpendidikan, dan macam-macam alasan mohon maaf. Tetapi mohon, dia dan
abdinya diperkenankan tidak perlu meminta maaf kepada blantik jaran itu, sebab
itu akan mencoreng-moreng mukanya tanpa akhir di kalangan rakyat. Dan untuk
menebus itu Kang Warok ikhlas untuk menurunkan harga kuda, asal jangan hanya
enam puluh real.
Tidak! Raden Conte tegas. Dan terpaksalah si
Palanggedog minta ampun kepada Ni Duku, walaupun dengan muka kunyuk disengat
lebah.
Unyeng-unyeng! Tentang unyeng-unyeng, tanggung
beres! Ini kuda silsilah mulia. Memang belum setingkat jenis bajakepranggul[20]) atau bujangga
ngumbara,[21])> akan tetapi dia
punya unyeng-unyeng pada kedua sisi punggung bagian muka. Jadi kuat dan tahan
uji, lagi membawa rezeki. Selain itu Raden dapat periksa sendiri, lidahnya
lebar dan bertepi membulat. Tadi lidah kok belum diperiksa perempuan pembantu
Raden, padahal ini penting. Kuda begini srilaba namanya, pasti
Raden Conte sudah mahfum; jadi tuannya nanti akan disenangi banyak wanita.
Buktinya tak kurang tak lebih ialah Warok Badogbadig sendiri, bukan?
Apa betul? Duku memeriksa betul-tidaknya ujaran
si Warok. Memang betul tentang unyengunyeng dan lidah. Tetapi kemudian
langsung Duku memeriksa bagian perut kuda. Ah, ternyata si Bawuk menemukan satu
unyengan, satu saja, pada sisi kiri perut. Brancah! Jenis
brancah! Kuda pembawa malapetaka dan cekcok rumah tangga. Dengan mata
berkilat-kilat jengkel, Warok Badogbadig memandang Duku. Ini bromocorah perempuan
rupa-rupanya. Segala apa pun dia tahu. Dan lebih celaka lagi, si kuda tiba-tiba
kencing. Mampus! Pancuran air kencingnya terbelah dalam dua pancuran. Padahal
menurut sang Warok, biasanya tidak. Tanda jelek, kuda pembawa malapetakalah
yang begitu caranya memancurkan curahan air kencingnya. Padahal sungguh,
sumpah, sungguh belum pernah begitu, ujar Warok Badogbadig berkali-kali. Baru
kali ini, sumpah Palanggedog, mendukung tuannya. Belum pernah. Terkena sihir si
perempuan jahat itu pasti. Awas kau, awas! Dan alangkah jahatnya apa yang
dikatakan dengan nada tawa oleh si Blantik Bawuk dukun itu, “Lho, jangan-jangan
kuda ini kalau kumpul sekaligus dengan betina dua.” Kurang ajar!
Tertawalah seluruh kalangan penonton yang asyik
ramai mengerumuni jual-beli. Siapa yang mulutnya trocoh?!. Celaka dua belas,
ada yang berteriak dari belakang, entah siapa, “Gek-gekniru ndarane.[22] ) Naik pitam si
Warok menoleh dan mengancam maut kepada siapa yang ngomong tak senonoh tadi.
Tetapi tak ada seorang pun yang mengaku. Dan karena ia di hadapan kehadiran
utusan-utusan pribadi Ki Demang Untara, Kang Badogbadig tak dapat berbuat
apa-apa. Tak bisa lain, jual-beli tidak jadi. Akhirnya, hanya untuk menutupi
malu, Kang Badogbadig terpaksa menjual murah kuda lainnya, seekor napas-madu[23])yang
sangat ia sayangi. Tetapi lebih menusuk hati rasanya, ketika sekali lagi
sebelum pergi ia menoleh dan melihat si Blantik Jaran sialan itu tersenyum
mengejek. Yah, Badogbadig nama si warok. Kalau ada soal carok-golok, dia
tergolong jagoan. Tetapi melawan senyum perempuan? Memang prewangan sialan
perempuan satu ini, pikir Warok Badogbadig dengan hati dog-dag-dig.
Ketika Badogbadig membunuh saingannya, Warok
Tantangpati dulu, malam tanpa bulan. Tetapi ketika kali ini Badogbadig menuju
ke Nyamikan, hanya diantar oleh si Teliksandi[24])Palanggedog, malam
terbatik nila bersulam perak oleh bulan purnama. Nyamikan hanya dihuni oleh
tujuh delapan belas somah, kaum nelayan belaka. Maka baiklah
pembalasan dendam kepada si Blantik Bawuk itu dilakukan dalam suasana suka-suka
pirena sengsem sumarsana.[25]) Tidak ada yang
dikhawatirkan. Bila Tantangpati saja tak berkutik melawannya, apalah cuma
perempuan. Tinggal soalnya bagaimana memperoleh kenikmatan selaras mungkin.
Sebab untuk karonsih[26]) dengan
kerja terlalu keras, Warok Badogbadig malas juga. Bukan, bukan itu. Bukan
karena ogah atau ogih, tetapi orang satu ini
harus dihajar, bagaimana cara bersikap terhadap seorang warok besar.
Bersiul-siul kecil sang pembalas dendam bersama
anteknya melewati pematang-pematang, lurus menuju ke padukuhan kecil di tepi
pantai yang tampak penuh damai bermandikan cahaya redup bulan penuh darma.
Tanpa menghiraukan anjing-anjing yang menggonggong, si Warok masuk kampung.
Atas petunjuk teliksandinya, rumah tempat si Blantik Jaran segera ditemukan.
Sementara Palanggedog menjaga dalam jarak selemparan batu dari rumah yang
dituju, Badogbadig mendodok pintu.
“Buka pintu!” gemuruhnya dalam malam sepi. Lagi
pintu digedor.
“Siapa itu?” tanya suatu suara nenek tua
gemetar.
“Buka pintu, perintahku.”
“Oh, inggih, sebentar.” Lho,
kok ramah sekali nadanya. Jangan-jangan keliru.
“Paldog! Tidak keliru kau?”
Dari semak-semak terdengar suara yang
dibikin-bikin lirih,
“Awas kau kalau menipu.”
“Tidak, Kang, sungguh itu.”
Sekali lagi Badogbadig menggedor pintu. Dari
dalam terdengar bunyi ranjang bambu berkerengket-kerengket.
“Jangan lari! Awas kau, Perempuan Blantik Jaran,
kalau lari,” teriak si Warok.
Tampak dari sela-sela dinding bambu, cahaya
pelita bergerak.
“Hei! Bisik-bisik apa itu? Jangan main-main ya,
lekas buka.” Bunyi orang beranjak, bunyi suatu benda digeser atau ditaruh
entahlah, kemudian suara serak tenggorokan yang sudah tua tadi,
“Siapa sampeyan, kok malam-malam?”
“Eh, tanya-tanya. Tak usah tanya. Buka!” Tak ada
jawaban. Hanya terdengar bunyi yang membuat Badogbadig curiga.
“Hei, tunggu apa?”
“Maaf,” jawab suara serak tadi. “Kami sedang
berdandan.” Meledaklah ketawa si Warok. “Untuk apa berdandan? Telanjang
sajalah, saya mau si Blantik Jaran itu bugil. Ayo lekas, ada apa ini? Ingin
pintumu hancur kutendang?”
“Jangan, Kang, jangan.” Nadanya sudah tidak
gemetar lagi. “Kami hanya orang miskin, maaf sedang bingung.”
“Untuk apa bingung? Bukan kau yang kucari. Mana
si perempuan istri nelayan dari Mataram itu? Ayo buka!”
“Sebentar, Kang. Kau, Badogbadig?”
Bermuntahanlah umpatan-umpatan. “Konyol! Tolol!
Siapa bilang aku Badogbadig? Si Blantik Jaran itu yang bilang? Mana dia. Ya, memang,
saya Badogbadig, warok paling perkasa di daerah ini. Jangan dibikin main-main,
awas. Baa-dog-baa-digg! Tahu?” Terdengarlah dari dalam bunyi palang pintu
digerakkan secara agak ribut dan ramai. Tetapi belum terbuka juga pintu.
“Sudah?”
“Sudah apa! Dari tadi kau permainkan Badogbadig.
Awas! Ayo lekas!”
Bunyi lagi palang pintu digeser kian kemari,
tanpa hasil.
“Maaf, Kang, agak macet.”
“Yang macet otakmu dan lubang istri nelayanmu
itu. Ayo cepat, mampus nanti kalian.”
“Sebentaaar, Kang. Sebentaaar!”
“Jangan banyak merengek. Kura-kuraku sudah marah
nih, keras nongol ingin berantem. Brengsek, mana perempuan mudamu itu, kok
diam. Hei, itu bunyi apa, awas, jangan lari ke pintu belakang. Di sana ada
antekku menunggu.”
Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang nenek ompong
gigi berdiri di pintu dengan pelita tanah liat di tangan.
“Hei, Mbah! Jangan dekat-dekat apimu itu di muka
hidungku. Kau ingin membakar mukaku? Mana si Blantik J aran. Sudah kaku dari
tadi belutku.”
“Siapa?”
“Si Blantik Jaran. Itu sundal dari Mataram.
Mosok tidak tahu. Yang biasanya jadi blantik jaran. Kan di sini rumahnya.”
“O Allaaaah. Yang kaumaksud…. (bisik-bisik) si
Duku?”
“Embuh Duku atau Duwet! (ssssst!) Tak peduli. Pokoknya perempuan
kurang ajar yang suaminya nelayan dari Mataram. Dia bohong. Dari Mataram. Tidak
dari Pantai Utara.”
“Oya ya, Nenek sudah tahu. Orangnya agak lindri langsing
semampai tetapi kuat trampil trengginas?[28])
“Trengginas atau trenggiling, ya embuh. Mana
orangnya si… si Duku busuk itu.”
“Ssyyyyyt!… Jangan keras-keras. Nanti kita
terkena sihir. ”
“Sihir apa-apaan? Ayo jangan disembunyikan si
Duku itu!”
“Sssyyyyyt! Nenek sudah bilang. Hati-hati.
Jangan ucapkan namanya. Nanti dia datang, kita kena sihir. Kalau kausebut si
Blantik J aran bahkan boleh. Tetapi jangan (bisik-bisik lirih sekali di telinga
Warok yang keheran-heranan atas sambutan yang tak keruan itu) Genduk Du-kuuuuu.
Nanti dia datang, kita disambar, masuk jaratan.“[29])
“Mbah, ini ada apa? Saya mencari si Duku.
(Ssyyyyyt! Ssyyyyt!).” Terpengaruh juga Kang Warok dan dia mulai ikut omong
lirih,
“Saya cari orangnya, mana?”
Nenek tua itu agak ke luar rumah sambil menarik
baju si penggedor. “Sini, sini dulu, Nak. Nanti saya katakan. Sini, duduk
di lincak dulu sini. Nanti kalau kau sebut namanya dan dia
mendengar, wah kita bisa jadi bekakrak kedua-duanya.”
“Bekakrak?”(Sysssst!)
“Sini, Nak.” Dan dihelanya tamu yang
terbengong-bengong itu untuk duduk di balai-balai bambu kecil di emperan rumah.
Berbisiklah Nenek itu, “Nak, Nenek senang kau kemari. Senaaaaaang sekali. Sebab
Nenek butuh pertolongan. Begini ya ceritanya, dua orang itu, ya si Anu dengan
suaminya, ya, entah suami atau bukan Nenek juga tidak tahu, pokoknya mereka itu
datang dari laut, malam-malam pas Jumat Kliwon. Basah kuyup, dan yang perempuan
rambutnya terurai seperti… seperti sssst… ! Lalu ya, mereka minta naungan,
katanya, katanya. Nah, Pak Dukuh sini juga baik-baik saja. Habis, kami ketika
itu lupa, pas itu Jumat Kliwon. Mereka ditolong, gotong-royong dibuatkan gubuk
atap klaras yang cukuplah. Kalau siang hari, ya biasa-biasa
saja, mereka bekerja. Yang lelaki cari ikan… katanya. Dan yang perempuan cari
nafkah dengan mblantik kuda… itu katanya lagi. (Itu betul. Dia blantik kuda.
Saya lihat sendiri dan sangat dirugikan oleh dia.) Nanti dulu, Nak. Belum
selesai cerita Nenek.
“Nah… apa tadi… nah, kalau siang seolah-olah
mereka begitu. Seolah-olah! Tetapi kami di desa sini tidak tahu, yang lelaki
itu berbuat apa kalau malam hari, cari ikan katanya, tetapi ya embuh. Ya,
cari ikan sih cari ikan. Tetapi anehnya, kalau orang-orang Nyamikan sini
semalam hanya mendapat dua tenggok ikan, dia mendapat empat
tenggok. Kalau sial hanya satu tenggok, eee… dia dua tenggok. Kalau mujur
sekali kami dapat lima tenggok, si nelayan yang katanya nelayan tadi kok
memperoleh sepuluh tenggok. Begitu terus. Ini kan aneh, mencurigakan.
“Naah, yang perempuan… yang perempuaaaaaaan,
waaaa ini gawat. Gawat. (Pelacur?) Oooooh melebihi. Dia ini… (Nenek memutarkan
kepalanya ke segala arah, lalu berbisik ke dalam telinga si Warok.) Dia
ternyata bukan manusia (Heh, apa, Mbah?) Bukan manusia. Dia sundel
bolong.[30]) (Omong kosong!) Eeeeh,
jangan diambil gampang. Nenek melihat sendiri. Dia tidak pernah mau tidur
bersama Nenek di amben di balik bilik sini. Selalu di tikar
sana, di tanah di sudut dalam sana. (Dan pelan-pelan dua pasang mata memutar
mengarah ke pintu yang masih ternganga yang sekarang tampak mengerikan di mata
Badogbadig.)
“Nah, sekarang dia tidak kelihatan. Sedang di
kuburan dia sekarang. (Kuburan? Masya Allah!) Ya, kuburan yang ada kijing-kijing-nya dan punthuk
punthuk-nya itu. Pohon kemboja, tahu? Kuburan, ya di kuburan dia
sekarang. Apa ya hari ini… nah, jelas Kamis Wage. Mesti selalu begitu. (Kok
tidak Selasa atau Jumat Kliwon?) Tidak. Kamis Wage. Selalu begitu dia. (Apa
betul ta, Mbah?) Nah, tidak percaya. Warok begitu gagah kok tidak percaya.
Nenek melihat sendiri. Kalau dia sedang tidur, dia selalu telentang, tidak
pernah telungkup kalau tidur. Tetapi Nenek pintar. Dia sedang tidur, di samping
dia Nenek kasihsebungkus tai lencung.[31]) Tahu tai lencung?
Aduhai semerbak baunya. Nah, karena mencium bau lencung yang aduhai itu, dia kan
lalu agak miring tidurnya. Nah, konangan! Apa yang Nenek
lihat? Bolong! Jan bolong plong-mblegendong-gulu-tekan-bokong![32]> (Nenek tidak takut?) Ya takut
tentu saja, Nak. Tapi Nenek kan sudah tua. Perempuan lagi. Nenek pikir, ah toh
sundel bolong itu sukanya cuma lelaki, apa lagi yang timus-ketelanya besar dan
cepat panas. Maka Nenek memperhatikan. Aduh, dalam bolongannya yang serba mblotong
mbluwer[33]) itu… (Sudah Mbah,
sudah. Saya mau pergi. Lain kali saja…) Lho, gimana ta Nak, ini.
“Tadi Nenek sudah gembira sekali kau datang,
padahal Warok, jadi orang kuat. Dibutuhkan pertolongan kok malah lekas-lekas
mau pergi. Siapa yang melindungi Nenek kalau ada apa-apa. Memang sundel bolong
sukanya lelaki, lelaki yang jantan, bukan yang cuma ingah-ingih[34]) banci, bukan durian
bukan gori, lha kok…. Mbok menunggu sampai esok pagi saja, Nak Warok. Soalnya
ya, dari bolongnya itu selalu saja keluar semacam blotong blonyoh.[35]) Padahal Nenek sudah
tua, kadang-kadang rasanya saraf sengkring-sengkring kalau
membongkok. Padahal kalau blotongnya itu tidak dibersihkan cepat-cepat, sering
keluar kelelawar-kelelawar hitam yang sakit sekali kalau menggigit. Nah, Nenek
sendiri belum pernah merasakan, seba yang digigit kelelawar itu cuma orang
lelaki. Tetapi tolong ya, Nak, kasihan tetangga, apalagi anak-anak lelaki di
Nyamikan sini.”
“Maaf, Mbah. Malam ini saya masih ada undangan jagong
bayi[36]) di desa kami.
Jadi….”
“Ah, tolong, Nak, Nenek cuma janda tua,
sendirian. Bagaimana kalau terus-menerus begini. Apa Nak Warok tidak dapat
mengusir si Sundel Bolong itu? Dan itu suaminya, yang belum tentu suaminya itu,
barangkali salah satu budak Nyai Blorong dia, siapa tahu… tolong, Nak. Mosok
lelaki -dan warok lagi- kok takut. Mana ada warok takut. Nenek cuma minta
sedikit. Tikarnya diambil lalu dibakar di bawah pohon pisang. Hanya itu.”
“Mengapa Nenek tidak membakarnya sendiri?”
“Ooo… yang membakar harus orang lelaki.
Begitu pamali-nya. Mosok hanya membakar tikar saja seorang
warok perkasa takut? Kalau orang-orang kampung sini takut, nah, itu bisa
dimengerti. Ayo, Kang.”
Sangat sulitlah situasi Badogbadig. Bila ia
menunjukkan rasa takutnya, keesokan hari seluruh wilayah Pacitan akan diberi
angin berita, betapa pengecut si Warok Badogbadig menghadapi perempuan Duku.
Bagaimana nanti ia akan menyelamatkan mukanya! Tetapi untuk menanggapi
permintaan Nenek keparat ini, sungguh kecut juga hatinya. Tidak mengira dia,
bahwa si Blantik Kuda yang… persetan, asal bersama dengan Nenek itu, kan hanya
mengambil tikar dan membakarnya, tidaklah berbahaya, bukan? Gedebog bosok![37]) Sesudah menghela
napas dalam-dalam berdirilah si Warok. “Mana pelitanya?”
Nenek itu menyerahkan pelitanya kepada tamu berangasan
itu.
“Mana perempuan itu? Ayo, Sundel Bolong, aku
punya hadiah ketela-pendam untukmu.” Dan serba menggagahkan diri si Warok masuk
pintu yang sudah terbuka tadi. Tiba-tiba terdengarlah teriak si Warok
mengerikan, “Haduh! Hadoooh, mati aku!” Dan menangis kesakitanlah Badogbadig
memeras-meras matanya yang baru saja diguyur air lombok pedas sekali oleh Duku
yang sudah gigih menanti dari balik daun pintu, dan yang tidak dapat dilihat
oleh Badogbadig karena silau pelita di dekat mukanya. Si Warok lupa, bahwa di
bawah setiap ranjang kaum perempuan selalu tersedia sebatok air cabe yang
sangat pedas, selaku senjata muslihat ampuh melawan pencuri yang lena. Maki dan
teriak kotor si Warok hanya sesaat, sebab langsung ia tersungkur di tanah,
pingsan karena begitu sakitnya ketela-belut-kura-kuranya ditendang sangat keras
oleh kaki si Blantik perempuan desa. Si Nenek cepat-cepat pergi ke sudut
ranjang dan dengan sekeras-kerasnya ia memukul kentongan. “Tak perlu lama
menunggu, para tetangga sudah datang, dan langsung tubuh si Warok ditarik ke
luar. Pak Dukuh Kepala Desa, seorang kakek berambut dan berjenggot putih dengan
pentungnya tanpa ampun menghantamkan senjatanya pada kepala si pengacau malam
yang sial itu, dan habislah riwayat sang Badogbadig. Tak lama kemudian
datanglah beberapa nelayan petani yang malam itu sedang mendapat giliran
menjaga ladang, melaporkan penangkapan seorang asing yang mencoba melarikan
diri, dan yang karena melawan langsung dihabisi nyawanya. Atas keputusan
bersama, disepakati agar jejak-jejak peristiwa segera dihapus sebelum
rekan-rekan nelayan yang malam itu sedang mencari ikan dan esok harinya pulang,
tidak mendarat dengan mayat orang asing dibawa ke kampung. Itu pantangan yang
dianggap berakibat buruk bila dilanggar. Maka ditariklah kedua mayat itu,
seperti pohon pisang, diikat di belakang sebuah perahu dan ditarik ke laut.
Dipersembahkan kepada ikan-ikan hiu. Selanjutnya seluruh kampung akan bungkam
mulut.
Ni Duku tidak menyaksikan segala kelanjutan
perlawanannya terhadap si Warok. Pucat ia, hanya termenung di tepi ranjang.
Dulu si Jibus, sekarang warok tenar. Dalam lubuk hatinya, Duku telah tahu,
bahwa hari-hari pengungsiannya di Nyamikan telah usai. Walaupun Nenek yang baik
hati itu mengatakan, bahwa seluruh kampung akan bungkam mulut, dan tidak akan
membiarkan diri terkena akibat dendam dari pihak keluarga si Warok, akan tetapi
Duku sudah merasa, ia dan Slamet harus mengungsi lagi. Sebab betul, orang-orang
Nyamikan baik hati, tetapi pada suatu saat naas, bila ada sesuatu yang kebetulan
sulit mereka atasi atau pahami, seorang anak jatuh sakit aneh sampai mati
misalnya, atau seorang perempuan dua kali gugur kandungan berturut-turut,
seorang nelayan mati jatuh dari pohon kelapa dan sebagainya, maka Duku-lah yang
akan ditunjuk sebagai sumber malapetaka dan semacamnya. Maka akan lebih
sedihlah nasibnya dan suaminya. Ya, Allah, semoga lekaslah Slamet pulang.
Tetapi mengungsi ke mana?
Apakah seumur hidup Genduk Duku harus dibedol dan
mengungsi dari tempat satu ke tempat lain? Sepanjang umur tak henti
diperlakukan sebagai semacam wanita rampasan? Perempuan yang selalu harus takut
diperkosa? Lunglai Duku merebahkan diri dan menangis. Kali ini menangisi gua-garba-nya yang
belum mau berhenti bergetah, belum mau didiami seorang anak Slamet. Selama masih
serba gelisah dan khawatir menghadapi bahaya, tentulah rahimnya tak berselera
mengandung janji. Slamet, Slamet, lekaslah pulang, ke Telukcikal pun maulah.
Asal perut diperbolehkan menjadi biduk kecil dari si Kecil-mu.
Dalam peti-peti kayu waru yang digetahi kedap
air, Slamet membawa oleh-oleh dari Kutanegara. Tepatnya dari Bendara Eyang
Pahitmadu dan Putri Arumardi. Yang akhir ini, istri selir Tumenggung Wiraguna
meneteskan air mata ketika menerima warta dari si nelayan dari Nyamikan, bahwa
sahabat kecilnya nun di kala gara-gara Rara Mendut dulu sudah menemukan seorang
teman hidup. Ya teman hidup yang dipilihnya sendiri; suatu anugerah yang tak
pernah beliau terima; dan yang sangat beliau irikan pada sang Adik-emas Mendut
almarhumah itu. Iri dalam arti kagum sayang. Kakangmas Tumenggung tahu peran
istri selir adik-emasnya, Arumardi, dalam usaha pelarian si
Harimau-Padang-Ilalang-dari-Utara itu, tetapi kekhasan khusus istri saleh dan
arif yang berpadu dengan kecantikan yang sangat dibutuhkan jiwa besi Panglima
Besar tangan berdarah, menyebabkan hati sang patih utama tua itu lunak
terhadapnya. Mungkin juga karena menghadapi seorang istri anak begawan,
Wiraguna takut terkena kutukan gaib dari ayahnya.
Ya, mengapa begitu bernafsu ia dulu terhadap
gadis pantai nelayan yang jelas tidak akan mungkin selaras dengan pranatan dan unggah-ungguh[38]) iklim istana? Nafsu
kekuasaan! Begitu penilaian Putri Arumardi. Dan bukan dambaan dari hasrat daya
hidup kama.[39]) Memang seorang panglima
diangkat untuk pada saatnya merenggut kehidupan lawan. Tetapi itu hanya demi
penyelamatan kehidupan kaum kerabat yang terancam. Dan demi kebesaran Susuhunan
serta negara yang ia abdi. Sebab wahyu dari Narendran[40]) ada
pada raja sesembahan praja. Begitulah keyakinan prajurit seharusnya, apalagi
seorang patih panglima besar keturunan rakyat biasa yang berhasil terbang
sampai ke jenjang tertinggi Kerajaan Mataram. Berani demi daya guna Raja dan
Negara.
Arumardi-lah, si Harum Gunung, yang ia petik
dulu dari pondok seorang begawan di lereng Gunung Merapi, dia yang halus
menyadarkannya, betapa semua, termasuk pengabdian kepada setiap penguasa, punya
batas-batas juga. Inilah kelezatan cabai pedas kemranyas, mempersunting
anak begawan yang tak gentar membenahi perilaku seorang suami yang ditakuti
orang. Namun ini pula ruginya, hambatan untuk ber-kiprah sesuka
hati. Ternyata Panglima Besar Mataram pun terkerangka oleh pakem,[41]) terjalin
dalam ikatan laras pelog sendro[42]) semesta raya. Hanya
berkat ikatan, keselarasan dapat berkumandang dalam gending-gending kehidupan.
Setua Wiraguna, masih sangguplah dia belajar dari istrinya yang sangat ia
hargai. Dan bukankah seorang resi besar, Bisma sekalipun, harus belajar
terpanah oleh seorang wanita, Srikandi? Hanya melewati itulah benar-benar jaya
binangun sumambirat[43]) memancar dari
setiap Bharata-Yuda.
Terkaca-kaca Duku mendengar berita dari suaminya
tentang putri terpuji ini. Juga bergejolak menari dalam hatinya ketika ia baca
baris-baris surat Putri Arumardi yang diselipi tiga daun bunga putih mawar
gunung. Huruf-huruf tulisan harus diakui tidak luwes bahkan kaku minggrang-minggring[44]) goresannya, akan tetapi
justru lebih asli, lebih bercap pribadi sang Arumardi.
Oleh-oleh bawaan Slamet sangat menggembirakan
penduduk kecil Nyamikan. Mori dan selendang-selendang dari Koromandel,
parang bendo buatan Mataram, dan satu blencong perunggu
untuk digunakan bila ada pesta wayang. Sungguh luar biasa untuk penduduk miskin
pantai terpencil itu.
Tetapi selekas mungkin Duku dan suaminya harus
pulang ke ibu kota. Pulang? tanya Duku dalam hati. Di ibu kotakah rumahku? Tak
mengapalah. Kelak akan dia katakan halus kepada beliau, bahwa Mataram bukan
rumahnya. Yang penting, Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram sedang berkehendak
memeriksa –cukup lama– pembangunan makam beliau beserta putra-putri
keturunannya, di Imogiri. Jadi Panglima Wiraguna yang lazimnya berwajib
mendampingi Raja, akan lama tak hadir di Wiragunan. Maka lekaslah, lekaslah
menemui sang Arumardi. Dan memang, dari alasan lain, kepergian tak dapat
ditunda. Mendengar riwayat “sundel bolong” yang telah terjadi, sebagai siasat
ampuh yang dijiplak dari gagasan “ngeri” Bendara Pahitmadu dulu itu –untuk
menyandiwarakan lakon gila prewangan kuburan, Slamet mengernyitkan dahinya.
Berhasil memang menangkis si warok berbahaya itu. Tetapi hanya pada jangka
pendek. Dalam jangka jauh, Duku dapat terbunuh bila penipuan yang memalukan itu
tersiar luas. Atau sebaliknya, justru orang percaya, Duku betul-betul sundel
bolong. Segala malang serta malapetaka yang terjadi dalam wilayah Pacitan
sampai Pranaraga akan dibebankan pada Duku. Akibatnya, seperti biasanya, suatu
saat masyarakat akan merasa lega, apabila mayat Duku “tanpa ada yang membunuh”
tertelentang di tepi jalan. Maka, lagi-lagi bersiap-siaplah suami-istri malang
itu untuk mengarungi ombak-ombak Laut Selatan menuju ke barat. Setiap saat
pantai dan pintu-pintu kami terbuka! begitu pesan para sahabat Nyamikan. Dan
lihatlah pada pemberangkatan sang Blantik Bawuk dan suaminya itu, Nenek pintar
penipu si Warok secara khusus mengenakan kain baru yang dioleh-olehkan Slamet
kepadanya dari Mataram.
Laut! Laut lazuardi, lenggara langgam laras,
laju perahu kemerdekaan! Bersama Slamet. Seperti kesepian, tetapi tak kurang
kawan di tengah jaladri.[45]) Sendirian,
tetapi teriring oleh ratusan burung-burung belibis laut yang mengajak hati muda
untuk terbang tanpa takut.
————-
[1] samudra tempat
asal dan tujuan
[2] ayah Sultan Agung
Hanyakrakusuma
[3] calo jual-beli
kuda
[4] ilmu tentang kuda
[5] pejabat yang
mendapat seribu unit luas lahan dari raja
[6] pemuda kekasih
homosexual
[7] kuda cokelat dengan
bulu-bulu putih pada keempat pergelangan kaki
[8] sebutan untuk kuda
bagus; rambut halus seperti ulat serit, ekor seperti gugusan bunga enau
[9] seperti batu pengasah
(pisau) yang sudah lama terpakai (melekuk)
[10] coklat dengan noda-noda putih
[11] otaknya keropos
[12] mata seperti kepunyaan
Narayana: besar mengkilau
[13] gagah tampan
[14] kuda berumur kira-kira enam
tahun, semua giginya sudah serba baru
[15] Susunan bulu yang tumbuh
seperti spiral kecil
[21] unyeng-unyeng hitam pada lidah
atas. Kedua jenis tersebut dianggap kuda-kuda perang yang unggul
Nyaris Putri Arumardi tidak mengenali kembali bekas dayang-dayang
almarhumah sahabatnya. Berapa putaran matahari telah lewatkah ? Ketika itu si
Genduk ini baru kira-kira dua belas surya umurnya. Nah, kini mendadak sudah
wanita matang dia. Bukankah umur sekian itu masa bunga yang paling segar dan
menawan? Jadi istri adipati pantas sebetulnya si Duku ini, andai saja… ah
biarlah Genduknya tetap anak rakyat. Perawan desa serba membuntut dia bukan,
jelas dari gerak tegak-dongaknya. Jenis jaya parosa[1]) atau muktisari[2]) bila
diibaratkan kuda. Selamat datang, Duku tersayang, saksi kenangan
pahit-manis! Tumenggung Wiraguna sedang mendampingi Susuhunan-ing-Ngalaga di
Imogiri. Jangan takut. Bersama Patih Tumenggung Singaranu dan hampir semua
para nayaka agung negara. Hanya Pangeran Singalarong bertugas
menjaga ibu kota. Paman dari istri kedua Panembahan Seda Krapyak, Bendara Ayu
Lung-Ayu. Beliau ini lebih suka main tomprang[3]) dan
memelihara merpati daripada pesta-pesta kenegaraan yang menurut anggapannya,
dapat diwakilkan pada orang lain.
Walaupun sudah tujuh warsa[4]) lewat
sejak peristiwa sedih Mendut dulu itu, namun hati-hati penuh kebijaksanaan
Putri Arumardi mengatur selubung si nelayan dari Telukcikal dengan istrinya itu
agar dapat diam-diam masuk ke dalam Puri Wiragunan tanpa heboh. Seperti suasana
langit diprada emas sesudah hujan kelabu rasanya pertemuan
kembali antar-sahabat lama yang pernah mengalami penderitaan bersama itu. Putri
Arumardi masih tetap saja muda seperti sediakala, kata Duku. Mosok? Betul. Jamu
apa yang dipakai? Duku sudah tahu, sama dengan dulu pasti: akar alang-alang,
cabe lempuyang agar saraf segar, laos, kencur, bawang putih, kunir dan
lagi-lagi temulawak. Tambah banyak minum air-surya agar awet cantik. Tetapi
semua itu percuma jika jiwanya kemrangsang-kemrungsung, pahit
dengki dengan macam-macam ulat jiwa yang dari dalam mengrikiti hati.
Ni Semangka? Oh, wanita besar dada dan besar
keibuannya itu sudah melewati garis-garis lengkung dari pantai berbusa
kehidupan ini. Betapa sumarahnya embok emban dari si Duku dan
Mendut itu. Namun kendati begitu, bagaikan ulat dalam jambu, kesedihan
kehilangan dua anak emban terkasih sekaligus sangat menggerogoti jiwanya yang
lunak lembut. Ya, atas permintaannya sendiri Ni Semangka ingin mengikuti
kekasihnya, dilabuh di Laut Selatan, tepat di tempat Mendut dirangkul oleh
kerahiman Air Tiada Terhingga. Tusuk gelung perak dan cincin emas berakik merah
selang kebiru-biruan bernama Kluwung Kluku dititipkan kepada Putri Arumardi
untuk sewaktu-waktu diberikan kepada Genduk Duku, seandainya masih berjumpa.
Menangislah ia, benda-benda itu dicium Duku, namun juga daya gaib jiwa keibuan
Ni Semangka diterimanya dan rapat-rapat ditekankan pada dadanya.
Banyak yang ditanyakan, banyak pula dijawab, dan
banyak saat kedua wanita dengan babad hidup yang begitu berlainan itu diam
hening. Malam itu di gandok Putri Arumardi keduanya hangat kelonan, teriring
jengkerik-jengkerik yang menambah haru suasana. Mendamba damai.
“Dik Rara, sering kuingin, daun-daun kuning
dapat kembali hijau kuncup,” begitu nun di malam penuh kenangan duka kala itu.
Ya, Putri Arumardi masih ingat semua wawan-kata dengan Adik-emas baru, Mendut,
yang mengeluhkan kerinduan bersama, memohon segala yang mendamaikan dan
mengikat mengangkat semua yang tergerai dalam kurun lakon manusia. Sampai saat
ini pun, meski jiwa telah sumarah seperti selayaknya bagi wanita Jawa anak
begawan, istri selir Wiraguna itu masih ingat semua kata keluh-kesahnya kepada
Rara Mendut… “Hari-hari dan malam-malamku lampau dalam puri.
Seperti serangga yang masuk dalam cahaya
gemerlap api pelita, hangus terkapar, nyeri di tikar. ”
“Ah, Mbak, jangan itu yang dikenang.”
“Tak dapat kubayangkan, Dik Rara Mendut, betapa
dalam rasa syukurku menyaksikan kisahmu dengan sang Prana, melihat lakon Adik
Mendut dengan Citra-nya….”
“Ah, Mbak, bukan kami yang berjasa. Cinta setiap
pasang jodoh selalu rahmat Allah-i-Rohman-i-Rohim. ”
“Bahagia hatiku dapat mengenal kau, Putri
Pantai. Yang aku tak sampai, itu kau peroleh: memilih kekasih.”
“Ah, Mbak, jangan itu yang ditimbang.”
Dan apa yang dikatakan Mendut dulu itu? Yang
membuat Arumardi pun kemudian kuat memikul nasib perkutut dalam kurungan emas?
“Arumardi, Mbok Ayu. Kau seayah derita seibu
sepi-sunyi denganku. Derita dan dambaan hampa sekalipun, adalah malam yang
memungkinkan embun kehidupan. Bila aku bahagia, yakinlah, itu hanya mungkin,
berkat sikap ikhlas yang mengemban sikap tuhu setia dari
sekian wanita merana seperti kau”
Adiknya hanya menghibur. Namun bagaimana
kenyataannya… ?”
“Hikmat mengalir seperti sekian mata air dari
manusia yang menderita. Menjadi Bengawan Serayu, cermin Bima Sakti. Begitu
selalu nenekku berpesan. Mbak Arumardi:”
“Dapatkah sengsara berharga, Dik Mendut?”
“Aku bukan dari dunia petani, Arumardi,
mbok-ayuku tersayang. Tetapi Mbak pasti tahu, bahwa bagi
petani yang mengerti, sampah kotoran kerbau pun justru penyubur kehidupan… bagi
yang tahu mengolahnya….”
Di luar gapura negara medan barat, Jagabaya, di
dekat muara Sungai Bagawanta sisi Pagelen, Putri Arumardi memiliki pesanggrahan
yang pernah dihadiahkan kepada Panglima Wiraguna oleh seorang petinggi wilayah
Urut Sewu. Di sanalah, Duku dan Slamet diberi tempat pengungsian selaku
abdi-abdi pribadi yang ikut menjaga pesanggrahan. Sayang pondok istirahat itu
sudah lama tak terawat, dan hanya dititipkan kepada sepasang kakek-nenek juru
kunci. Lurah desa Bangkawa-Kulon secara resmi ikut bertanggung jawab juga,
karena desa itu terletak hanya dalam jarak selemparan peluru meriam saja.
Apabila Slamet dan Duku ingin menghadap ke Puri Wiragunan, mereka telah punya bekal
berupa seperangkat petunjuk selubung siasat. Nama-nama sandi dan siasat apa,
tempat bertemu, jalan-jalan, dan lain-lain telah dibicarakan Putri Arumardi
dengan seksama bersama Slamet dan Duku. Teranglah betapa bahagia kedua orang
itu memperoleh tempat naungan yang meyakinkan itu. Putri Arumardi sendiri
gembira juga dengan belokan arus kejadian ini, karena sudah lama beliau ingin
lebih kerap bercuti dari sangkar emasnya di Wiragunan, menikmati kebebasan di
luar. Walaupun hanya untuk jangka waktu yang tidak lama. Tetapi susahnya, kaum
suami Jawa itu tanpa terkecuali berpenyakit cemburu yang kelewat ukuran. Dengan
alasan memenuhi kewajiban menjaga pesanggrahan yang bagaimana jua adalah milik
Tumenggung Wiraguna sendiri, Putri Arumardi dapat meminta izin untuk lebih
kerap pergi menyeberangi Sungai Bedog, Praga, dan Bagawanta, menghirup udara
segar Pagelen.
Bagi Slamet dan Duku, hari-hari pertemuan dengan
istri Wiraguna budiwati selama tinggal di Wiragunan ini, merupakan saat-saat
berarti yang memberi harapan, kendati tidak dapat leluasa keluar-masuk
halaman-halaman lain, kecuali di keliling-dekat gandok Putri Arumardi.
Pagi-pagi dini Slamet, tanpa banyak orang yang melihatnya, pergi ke Sungai
Gajahwong untuk mencari ikan lele. Kaya lele sungai yang mengalir ke dalam
salah satu danau kecil dalam ibu kota ini. Jauh sebelum lohor, pulanglah Slamet
dengan tenggoknya yang sudah berat, dan menyerahkannya kepada Duku untuk
dimasak khusus bagi Putri Arumardi. Tidak hanya lele. Belut gurih dan tak lupa
oleh-oleh remeh tetapi berharga bagi sang garwa selir dan
setiap lidah keturunan lereng Gunung Merapi, yakni daun lumbu untuk lauk buntil.
Namun Duku tak bisa lain terpaksa dipingit,
bahkan dilarang pergi ke kandang-kandang kuda. Cukup di sekitar gandok Putri
Arumardi saja.
Maka terjadilah, suatu pagi, ketika Duku sedang
membersihkan ruang-ruang tidur Putri Arumardi, didengarnya dari dalam suara
merdu dari seorang wanita yang memanggil-manggil nama Putri Arumardi. Belum
lagi Duku mampu memutuskan, apakah sebaiknya keluar dan menjawab suara wanita
yang penuh ketakutan memanggil puannya itu ataukah tetap di dalam kamar saja,
untunglah, suara Putri Arumardi telah menyambutnya. Dari kebun beliau
rupa-rupanya.
Tak sengaja ikut mendengarlah Duku dari dalam,
suatu percakapan penuh keluh yang seharusnya tidak boleh ia dengar.
“Bagaimana, Mbok Ayu, aku yang malang ini?
Sungguh bingung apa yang harus kulakukan, aduh aduh….” Dan Duku hanya mendengar
suara wanita, agaknya masih sangat muda, yang menangis senggruk-senggruk. Terdengar
suara tembaga halus Arumardi menghiburnya dan mencoba menenangkan putri yang
entah karena apalah sedang merasa terjepit. Ceritanya, ya, heran namun tak
heran juga, ceritanya kok sama saja dengan pengalaman si Duku lebih dari
setahun yang lalu.
“Tejarukmi tidak mau, dan pasti Tejarukmi
dihukum bila Kanjeng Tumenggung tahu. Tetapi bagaimana menolaknya, Mbok Ayu
Arumardi, beliau putra mahkota….” Ah memang satu ini, lagi-lagi si Jibus.
Tejarukmi nama wanita itu? Siapa beliau? Suaranya seperti suara anak. Dari kata-kata
Putri Arumardi dapat diterka, putri ini sudah kerap meminta nasihat mengenai
masalah gawat yang satu sama ini.
“Kan Mbok Ayu menjadi saksi, bagaimana
surat-suratnya diserahkan Tejarukmi kepada Mbok Ayu. Dan kita bakar bersama
sebelum Kanjeng Tumenggung tahu. Tetapi justru sekarang Kanjeng Tumenggung
tidak ada, tadi adikmu menerima lagi surat. Silakan Kakang Mbok baca sendiri.
Beliau akan kemari, Kakang Mbok. Ini nanti beliau akan ke Wiragunan sini.
Tejarukmi harus berbuat apa… ?”
Sejenak diamlah Putri Arumardi. Ya, jika Putra
Mahkota sendiri yang akan datang di Wiragunan, mana ada penjaga gerbang yang
berani melarangnya? Dan bila nanti Raden Mas Jibus nekat mau menjibusi sang
putri ini, ya, siapa yang akan berani melawan? Anak lelaki lima belas surya.
Sedang panas-panasnya ingin coba-coba. Sudah diberi sebutan Raden Mas Rangkah,
bahkan baru saja diresmikan sebagai putra mahkota dan bergelar mulia, Pangeran
Aria Mataram, kok justru menjadi-jadi si Jibus ini…. Apa yang harus diperbuat?
Sudah satu kali Putri Arumardi menanggung risiko ditikam keris demi
penyelamatan Rara Mendut. Apakah kali ini beliau harus berbuat sesuatu lagi
yang jauh lebih berbahaya? ,
Berdebar-debar Duku mendengar percakapan itu
semua. Dalam hati mendidihlah si Duku. Pasti berani Duku menolong putri muda
yang terjepit oleh Jibus ini. Tetapi bagaimana caranya? Dan bagaimana nanti
nasib Slamet? Sewaktu Duku masih perawan sendiri, soal dapat diselesaikan
langsung. Tetapi kini dengan seorang suami, perkara menjadi sangat lain. Oh,
pasti! Pastilah Mas Slamet tidak akan ragu-ragu sedesir ilalang, apabila
istrinya sudah bertekad bulat. Akan tetapi bagaimana nanti Putri Arumardi?
“Kapan menurut surat Raden Mas Rangkah, beliau
akan datang ke Wiragunan?”
“Nanti petang, Mbok Ayu. Beliau ingin diundang
makan malam di sini. Dan Tejarukmi yang malang inilah yang harus melayani
beliau… ah, harus berbuat apa aku?”
“Nyai Ajeng sudah tahu ini?”
“Belum. Tejarukmi baru meminta pertimbangan dulu
dari Mbok Ayu Arumardi.”
“Sudah, begini saja, Adik-emas. Kau sekarang
pura-pura sakit saja di ruang tidur saya. Kita masih punya satu pagi dan satu
siang untuk berpikir. Bagaimana?”
“Oh, dari dulu kau Mbok Ayu-ku yang paling baik.
Tak mengira adik-emasmu akan ditimpa kejadian sedih seperti ini.”
“Ya, Adikku sayang. Inilah penderitaan setiap
putri yang ayu seperti kau ini. Masih sekecil ini memang kau, sejenis bunga
wijayakusuma yang mampu menghidupkan orang mati, menggairahkan kembali panglima
tua yang sudah layu termanja oleh sekian banyak wanita. Kau sedang dipersiapkan
melayani tumenggung kita yang sudah sering terlalu capek dan murung. Ah,
Tejarukmi, sebetulnya kau terlalu kecil untuk tugas seberat itu. Tetapi
kecantikanmu, itulah nasibmu, Adik-emasku sayang. Ya, Genduk-ayuku, kecantikan
biasanya dicari wanita, dibuat-buat, dihasratkan, dipaksakan. Akan tetapi bagi
sang cantik itu sendiri, orang tidak tahu, hidup penuh duri dan racun. Putri
Arumardi tidak secantik kau, Adik-emasku. Tetapi seandainya saya wanita
biasa-biasa saja, berkali-kali ini kau dengar dariku, nasib sangkar emas dalam
puri ini bukan bagiannya. Tetapi sudahlah, Adik-emas Tejarukmi, masuklah saja
ke ruang tidur kakakmu, dan bersembunyi saja sementara di dalam. Nanti kita
cari bersama akal apa yang dapat kita gunakan.”
Siapa ta si Tejarukmi ini? Oooooh! Duku
terbengong bolong melompong. Alangkah cantikny a satu ini. Alangkah
eloknya. Dari celah-celah gebyog[5]) ruang
tidur, Duku telah berhasil mengintip dan melihat wajah putri malang itu. Tetapi
alangkah masih sangat muda anak ini. Kuncup bunga masih. Dari mana Wiraguna
memperoleh cendrawasih secantik ini? Ah, masih teramat muda dia. Layak cucunya.
Pantas saja Pangeran Arya Mataram alias Raden Mas Rangkah alias Jibus terbakar
api-gandrung kepadanya. Memang lebih beruntung panglima yang dapat pergi
kemana-mana daripada raja atau putra mahkota yang terkurung dalam tembok-tembok
rapat istana. Tetapi ini, kalau ini, nah, ini kentara bukan jenis Mendut. Ini
sungguh kuncup dini bunga tamansari Maerakaca.[6]) Siapa
ayah-ibundanya? Bunga Cirebon? Atau Madiun? Atau dari salah satu puri di Kutanegara[7]) ini?
Putri Tumenggung Singaranu barangkali? Atau Wirapatra? Atau dari Kadipaten
Pajang? Ah, pasti tak akan senekat itu Den Mas Jibus bila beliau putri
berdarah sariningrat.[8])
Kulit langsep dengan wajah fajar Jumat berembun
intan-intan brangtakusuma.[9]) Hanya
sayang, dibayangi jingga, duka. Ah, justru dalam wajah takut secantik itulah,
lebih mempesona daya tariknya. Keindahan yang membutuhkan perlindungan,
kecantikan yang memohon naungan, bukankah itu amat sangat merangsang daya
perkasa para pria, karena lebih mencolok citra sang-adinda-sayang-adinda-malang
yang mendambakan kasih? Bukankah di dalam wajah wanita indah serba takut itu
nafsu lelaki justru semakin serakah gairah untuk menguasainya? Seperti yang
pernah diterangkan oleh pengasuhnya almarhumah Ni Semangka, wanita rakyat arif
yang berkali-kali mewanti-wanti, wanita janganlah tampak sedih seolah-olah
mendamba pertolongan. Jer rini rudita rudatin rukem rungrung radya
Rahwana.[10])
“Duku, kau tahu Slamet di mana?” tanya Putri
Arumardi setelah menyembunyikan putri buronan Raden Mas Jibus itu di dalam
ruang tidurnya.
“Aduh, Ndara Ayu, tadi dia hanya berkata, ingin
cari belut di Sungai Winanga. Tetapi di mana, Duku tidak tahu.”
“Cepat, bawa peniti ini. (Dan Putri Arumardi
menanggalkan peniti emas bermata tiga berlian dari ujung kembennya.) Pergilah
dan tunjukkan peniti ini kepada Encik Khudori Kidul Pasar Makam Senapati. Ini
tanda pengenalku. Kau sudah tahu rumahnya pasti. Katakan kepadanya, kau datang
atas nama aku untuk meminjam seekor kuda darinva. Slamet pandai naik kuda?
(Lumayan, Putri Arumardi. Tetapi belum sangat cepat.) Menjadi kusir kereta
barang tentunya bisa? (O, kalau hanya itu saja, dia sangat mahir.) Baik. Pinjam
dua kuda tanggung untukmu… ah, jangan, kasihan dia nanti. (Masuklah Putri
Arumardi ke dalam kamar. Tak lama kemudian beliau keluar.) Sudah saya duga.
Tejarukmi takut naik kuda. Bagaimana sebaiknya?”
“Maaf, ada apa ta semua ini, Putri Arumardi?”
tanya Duku pura-pura.
“Oh ya. belum tahu? Nanti kuceritakan. harus
bergerak cepat. Pokoknya, cari dulu Slamet-mu, dan dia disuruh menunggu di
persimpangan jalan Pingit-Trayem-Kerta. Jangan tepat di persimpangan jalan,
tetapi kira-kira dua ratus langkah ke arah Rabut-Besar-Jagabaya. Di sana ada
waringin hangus tersambar petir. Nah, suruh tunggu di sana. Kan tidak jauh dari
Sungai Winanga. Lalu kau pulang kemari. Nah, hati-hati di jalan ya, dan
selamatlah mencari Slamet-mu.” Sambil mencium Duku pada keningnya, “Ambil jalan
melalui dapur belakang saja.” Berganti, tangan Puan Arumardi dicium Duku dan
cepatlah ia menuju ke dapur.
Dengan dalih, sudah waktunya menurut kitab-kitab
Primbon untuk bersesaji di makam Panembahan Senapati demi kesembuhan dari suatu
penyakit yang melemaskan seluruh raga, Putri Tejarukmi dengan didampingi Putri
Arumardi berziarah ke Kotagede. Dari balik sela-sela tirai-tirai tandunya,
Putri Arumardi tak sulit melihat Encik Khudori yang menyolok berjubah putih,
berdiri di bawah beringin selatan di muka pintu gerbang pemakaman. Para putri
langsung masuk ke dalam taman pemandian wanita untuk mandi dulu dalam kolam
keramat Penyu Putih. Atas kehendak Putri Arumardi, semua peziarah yang kebetulan
masih mandi di kolam situ disuruh pergi dahulu ke taman-taman pemakaman, sampai
mereka hanya berduaan saja dengan hanya dua dayang-dayang kepercayaan.
Sesudah mandi dan bersesaji di makam Panembahan
Senapati, masuklah kedua istri Panglima Besar Mataram itu ke dalam tandu
tertutup dan menunggu. Tetapi tadi “kebetulan” istri Encik Khudori pun (bukan
dia, tetapi seorang dayang tua
keluarga Khudori) bersesaji juga di makam Panembahan. Cepat Putri Tejarukmi berpindah kendaraan, masuk ke dalam tandu istri Encik Khudori, dan dayang tua Encik Khudori masuk ke dalam tandu Putri Arumardi. Hampir bersamaan,
kedua tandu yang tertutup itu keluar dari gapura. Encik Khudori Syeh Abdullah bin Sulaiman adalah pedagang emas langganan para putri Wiragunan dan sahabat dekat Tumenggung Wiraguna. Kalau ada apa-apa, ia dapat berlindung di belakang sang
Panglima Besar Mataram. Sebab betapa pun tingginya kedudukan Putra Mahkota, Namun Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram Adiprabu Hanyakrakusuma terkenal berjiwa ksatria, santri taat,
dan mendalam rasa susilanya. Kalangan luas tahu, beliau bila mendengar berita-berita buruk mengenai putranya yang terpaksa beliau pilih selaku putra-mahkota; karena bibit-bebet-bobotnya [11]) memang harus diakui, jauh melebihi Pangeran Alit, saudaranya dari istri perdana raja. Namun siapa pun Raden Mas Jibus, ia tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap seorang selir Panglima Besar Mataram, walaupun masih dalam kedudukan simpanan imbon[12]) sekali pun.
keluarga Khudori) bersesaji juga di makam Panembahan. Cepat Putri Tejarukmi berpindah kendaraan, masuk ke dalam tandu istri Encik Khudori, dan dayang tua Encik Khudori masuk ke dalam tandu Putri Arumardi. Hampir bersamaan,
kedua tandu yang tertutup itu keluar dari gapura. Encik Khudori Syeh Abdullah bin Sulaiman adalah pedagang emas langganan para putri Wiragunan dan sahabat dekat Tumenggung Wiraguna. Kalau ada apa-apa, ia dapat berlindung di belakang sang
Panglima Besar Mataram. Sebab betapa pun tingginya kedudukan Putra Mahkota, Namun Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram Adiprabu Hanyakrakusuma terkenal berjiwa ksatria, santri taat,
dan mendalam rasa susilanya. Kalangan luas tahu, beliau bila mendengar berita-berita buruk mengenai putranya yang terpaksa beliau pilih selaku putra-mahkota; karena bibit-bebet-bobotnya [11]) memang harus diakui, jauh melebihi Pangeran Alit, saudaranya dari istri perdana raja. Namun siapa pun Raden Mas Jibus, ia tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap seorang selir Panglima Besar Mataram, walaupun masih dalam kedudukan simpanan imbon[12]) sekali pun.
Ya, berdoa, benar-benar berdoa tadi Putri
Arumardi di makam Panembahan Senapati. Tidak untuk memohon kekayaan atau
kejayaan duniawi, melainkan demi akhiran yang sebaik-baiknya bagi semua pihak
dalam lakon asmara gelap yang mencekam penuh kemungkinan tumpah darah ini.
Sepanjang perkiraan yang seksama, Putri Arumardi dapat tentram hatinya; yakin,
bahwa tidak ada seorang pun tahu tentang penukaran dua tandu tadi kecuali para
pemikul tandu dan beberapa dayang-dayang tua yang paling ia percaya. Namun
sepandai-pandai katak melompat, bangau tontong melihat juga. Ada sepasang mata
yang melihat “kekeliruan tandu” itu, Mas Bei Jurujanur, yang pada pagi itu
seharusnya memperbaiki genting salah satu kuncup makam; tetapi karena malas,
tertidur di belakang dinding makam. Terkejut ia baru bangun ketika para tamu
agung tadi datang. Tak berani keluar ia hanya mengintip dari belakang batu-batu
nisan, perdu-perdu dan pohon-pohon kemboja. Mengintip dia, mengintip. Luar
biasa moleknya wanita muda nyaris masih anak itu.
[1] kuda dengan
unyeng-unyeng pada setiap piring lutut, cepat, pemberani dalam perang
[2] kuda dengan
unyengan pada garis pantat, kuda perang yang hebat
[3] lomba terbang
cepat merpati
[4] tahun
[5] Papan-papan kayu
dinding
[6] istana mewah
Arjuna
[7] ibu kota
[8] Ketrurunan
bangsawan
[9] Bunga asmara
[10] Sebab. Gadis yang serba
sedih menderita akan menjadi tanaman kerajaan birahi (raja lalim) Rahwana
[11] Bakat, keturunan,
kemampuan
[12] buah belum matang yang
disimpan agar lekas matang
Menyusul Panglima Besar ke Imogiri, begitu
keterangan Nyai Ajeng, istri perdana Tumenggung Wiraguna kepada Raden Mas Jibus. Lho,
katanya sakit. Justru itulah, Paduka yang mulia. Ingin Tejarukmi memohon berkat
dari Ki Ageng Tembayat, sesudah menghadap Panembahan Senapati. Untuk itu
diperlukan izin dari Kakangmas, suaminya. Demikianlah satu kata satu bahasa
laporan semua istri dan punggawa. Mengerot gigi Pangeran Aria Mataram pulang
mengelontang. Tidak percaya! Teliksandinya tadi pagi melaporkan si Bunga Kuncup
masih ada dalam puri. Memang benar, menjelang lohor sang Bunga pergi ke makam
Panembahan Senapati. Dan tak ada sesuatu pun yang mencurigakan, kata para juru
kunci, mereka jelas pulang lagi ke Wiragunan. Mosok baru sesudah matahari
condong ke barat seorang istri patih utama langsung pergi ke Imogiri, terus ke
Sembayat. Akan menginap di mana? Langsung diperintahkan beberapa telik berkuda,
cepat-cepat ke Kali Ajir dan Taji, benarkah ada rombongan mulia telah lewat?
Sebelum matahari pulang ke kandangnya, para gandek[1]) sudah
sudah datang dan tak disangsikan, jelas tidak ada rombongan bangsawan siapa pun
yang lewat. Kurang ajar! Jelas sudah dapat diramal. Awas kau, Nyai Ajeng, dan
ah ya, tanyakan siapa yang mengantar putri itu ke makam Senapati? Nah, sebelum
matahari pagi melukis di ufuk timur, teranglah sudah siapa sutradaranya,
Arumardi.Siapa dia? Namanya indah, tetapi siapa orangnya? Dia biang keladi atau
hanya pesuruh saja dari Nyai Ajeng? Biasanya istri perdanalah yang menjadi
pengatur para garwa selir. Tetapi sering juga ada dalang lain di belakang
permaisuri. Ibu Aria Mataram pun dulu hanya wanita kedua. Nyatanya, Ibunda
inilah, Kanjeng Ratu Ayu Batang yang akhirnya menabuh kendang. Persetan, Ajeng
atau Arumardi, mereka sudah menjegal Putra Mahkota. Malam itu juga para gandek
berhasil menyadap keterangan dari seorang pegawai taman pemakaman raja di
Kutagede, bernama Jurujanur, tentang adanya dua tandu yang hampir bersamaan
keluar dari gerbang pemakaman. Baik, catat itu nama Encik Khudori Syeh Abdullah
bin Sulaiman! Terkutuk! Awas kalian dari Wiragunan, kelak kalau Raden Mas
Sayidin alias Raden Mas Jibus alias Raden Mas Rangkah sudah bukan lagi hanya
Pangeran Aria Mataram tetapi Panembahan-ing-Ngalaga Mataram, maka akan titenana,
hiyyyo[2]), jadi
sembilan puluh sembilan keping daging Kurawa kalian wahai, lonte-lonte
loyo! Berhari-hari rumah tangga Putra Mahkota menggigil takut. Satu
wanita kelonan pun tak ada yang dipanggil dan Raden Mas Rangkah, yang baru saja
dilantik menjadi Pangeran Aria Mataram, tidur di bawah pohon sawo kecik di
halaman. Makan tak mau, minum cuma air tawar. Mandi tak peduli, buang air
besar-kecil di mana-mana seperti ayam.
Sementara itu semua wanita puri di Kutanegara
berbisik tanya, bagaimana ini nanti bila Sri Susuhunan dan Panglima Wiraguna
sudah pulang dari Imogiri? Ya, mereka kenal perangai Raden Mas Jibus yang entah
kemudian diberi nama panggilan cukup memalukan, Raden Mas Rangkah alias Pagar.
Pagar kehormatan bagi baginda maharaja ataukah pagar sindiran karena beliau
sering melanggar pagar-ayu? Padahal sudah didampingi sekian wanita yang
cantik-cantik juga. Yah, yah, yah… pastilah itu karena pengaruh :aR–anan
Holan yang sering dikaryakan oleh Susuhunan sendiri untuk mendampingi para
ningrat tinggi kerajaan, begitu desas-desus yang beredar. Orang tahu, betapa
erat, ya terlalu erat sebenarnyanya, pergaulan Raden Mas Jibus dengan para
tawanan orang-orang kafir rambut jagung itu. Para abdi dalem dalem semakin
mengkhawatirkan keadaan tuan Aria mereka yang sangat manja menjadi dari buruk
ke lebih buruk lagi. Tetapi apa boleh buat, terpaksalah dicoba siasat terakhir
untuk memantaatkan orang-orang tawanan Holan yang paling disukai beliau.
Daripada tertusuk sendiri dengan keris hukuman, lebih baik risiko dipikulkan
kepada orang-orang bule itu saja, begitu perhitungan para abdi istana Aria
Mataram.
Gandrung, ya jelas penyakitnya yang lama, pikir
Thyss Pietersen, ketika ia dipaksa menghadap Putra Mahkota yang serba pucat
lesu. Dengan kaum Holan tertentu Putra Mahkota sejak kecil sudah lama
bersahabat. Mereka sering diperbantukan kepada beberapa kalangan istana
Mataram, karena bagaimanapun orang-orang asing itu penjelajah dunia agung yang
ulung, apalagi punya kapal-kapal dan meriam-meriam raksasa dari besi cor luar
biasa ukurannya. Beromong-omong dengan empu-empu raksasa samudra pancakiblat
itu selalu menarik. Tetapi juga ini, karena melewati mereka, Putra Mahkota yang
bernasib menjadi tawanan adat keramat, dapat omong atau bersenda-gurau santai
tanpa banyak upacara. Ayahnya, Susuhunan, membiarkan pergaulan Raden Mas Jibus
dengan tawanan-tawanan Holan itu, asal di muka umum tetap dijaga jarak
kewibawaan. Dari sisi lain, pergaulan santai itu penting juga untuk menyaring
warta berita dari Betawi yang sulit mengambil jalur resmi.
“Pinterseng punya guna-guna pengasih dari negeri
Holan yang ampuh?” tanya sang Pangeran dengan suara lemas loyo.
“Punya dan tidak punya, Pangeran,” jawab Tuan
Pietersen hati-hati.
“Lho, bagaimana? Ada atau tidak ada?” desak
Pangeran Aria kesal.
“Daya khasiat setiap guna-guna tergantung pada
siapa yang diguna-guna itu, Pangeran. Itu hukum semesta.”
“Anak cantik itu masih muda dan rupa-rupanya,
menurut para teliksandi, ia agak bodoh. Totapi ia manis sekali. Jadi mestinya
tak sulit mengguna-guna dia. Hatiku terlanjur meleleh melihat dia.”
“Kapan dan pada hari apa Pangeran pertama kali melihat
Sang Putri?” tanya tawanan Holan itu, hanya untuk mengalihkan perhatian dan
mengulur waktu.
“Pada hari Senin Kliwon. Jelas itu. Ketika itu
Wiraguna sedang menghadap ke keraton. Apa ada pengaruhnya?”
“Ada. Selalu ada, Pangeran. Bangsa Mataram punya
banyak lontar-lontar primbon. Saya sendiri bangsa punya juga kitab primbon.
Tetapi sayang ini berlaku hanya untuk wanita kami negeri. Tidak untuk wanita
Jawa.” Yah, seperti main catur saja. Setiap langkah pihak sana dijawab dengan
langkah lain dari pihak sini.
Di negerimu sana, bagaimana caranya kalau seorang wanita
sudah kaugandrungi? Kan dengan guna-guna juga, kan?”.
“Maaf. Pangeran Putra Mahkota, di kami negeri
guna-guna asmara tidak ada gunanya.”
“Lho, kalau yang perempuan kelihatan alot, lalu
pakai apa?”
“Kalau tidak mau, Pangeran, ya sederhana saja,
pernikahan tidak jadi.”
“Tidak jadi? Masya Allah! Perempuan boleh
bilang emoh, begitu? Gila! Boleh dia?”
“Boleh sekali, Pangeran,” jawab Tuan Thyss
Pietersen dengan senyum. Pemuda seramping kecil seperti itu, tetapi sudah panas
nafsu dewasanya, pikir tawanan dari Betawi itu, geleng-geleng kepala heran.
“Mosok tidak ada yang diharuskan menikah dengan
dia ini atau dia itu?”
“Ya tentu saja ada, Pangeran. Apalagi kalau
soalnya perkawinan setingkat raja-raja atau ningrat tinggi. Tetapi di kalangan
rakyat biasa, si perempuan atau si lelaki harus mau sama mau.”
“Uah, adat yang aneh itu, Mas Pinterseng.
Perempuan sebaiknya tidak boleh bicara. Kalau caranya seperti di negeri
Pinterseng ini, kan bisa memalukan kaum pria. Perempuan tugasnya di belakang
dan taat. Seperti keris. Baru kalau mau dipakai dia dipasang di muka disuruh
kerja. Lalu mempercantik diri, nah ini perlu dan harus. Selanjutnya dia hanya
ya, sawah yang tugasnya menerima dan membesarkan padi. Sudah! Itu saja! Atau
untuk kebanggaan. Sama seperti kuda atau cincin banyak di jari-jari. Hiasan
perlu sekali. Untung saya tidak lahir di negerimu. Tetapi pasti’ kalian punya
dukun-dukun dan jamu guna-guna pengasih. Pasti!”
“Di kami negeri sia-sia saja pakai guna-guna,
Pangeran.”
“Sia-sia bagaimana? Ah aneh sekali itu.”
“Maaf, Pangeran, memang begitulah.”
“Uah, lalu bagaimana kalau kau sudah senang
padanya?”
“Sederhana saja, Pangeran Adipati. Dirayu.”
“Dirayu apa-apaan? Mosok perempuanlah yang
berkedudukan seperti puan, lalu si pria seolah-olah jadi budaknya? Memohon
beliau itu, begitu?”
“Ya, memohon, Pangeran. Tidak ada lain jalan.
Tetapi tidak sebagai budak terhadap puan. Wanita halus perasaannya, dan
wajarlah secara halus didekati pula. Kalau tidak, juga tidak akan, maaf,
Pangeran, tidak akan nikmat dia.”
“Mana… mana! Mangga enak ya tetap enak. Mosok
enak tidaknya durian tergantung bagaimana memetiknya. Tidak nalar itu,
Pinterseng. Di negerimu ada mangga atau durian? (Sayang tidak, Pangeran.) Nah
itulah, makanya! Apa yang ada? (Buah apel, misalnya.) Apa itu? (Ya,
semacam keledung, tetapi tidak semanis di sini.) Ah, keledung.
Apa lagi? (Persik.) Apa itu?”
“Ya …ya… dagingnya seperti mangga, tetapi tidak
ada bijinya begitu besar, dan kulitnya kuning seperti beledu.”
“Hei, kau selekasnya kirim surat kepada Kapten
Gunur-amral di Betawi sana, suruh minta contoh, apa itu buah kirsuk sama…
(Apel.) ya, pel itu. (Tak mungkin, Pangeran. Akan busuk bila
datang.) Ah ya, tentu saja. Busuk. Nah, perempuan juga akan busuk bila dirayu.
Di Mataram sini semua wanita milik Susuhunan, dan saya sebagai Putra Mahkota
juga berhak memiliki dan mengharuskan siapa yang akan saya tiduri.”
“Di ini negeri Ayahanda dan Paduka Pangeran
berkuasa. Itulah bedanya. Di kami negeri tidak ada raja. Hanya wali kota saja,
dan mereka tidak kuasa terhadap wanita dari mereka rakyat, Pangeran.”
“Uah, mana ada negara tidak punya raja. Wali
kota? Apa itu. Di Mataram Eyang-eyang-Canggah-Buyut dan Ayahanda Susuhunan
mulai memegang kendali pemerintah dengan gelar Panembahan. Lalu Susuhunan.
Sebentar lagi Ayahanda Susuhunan akan menjadi Sultan juga. Tetapi untuk itu,
beliau harus memohon pengukuhan dari Mekah. Tetapi setiap panembahan sudah
raja, ya… sudah raja sungguh-sungguh. Aneh sekali negerimu itu, Mas Pinterseng.
Jangan-jangan negerimu cuma kecil sekali. Seberapa besar? Dari Banten sampai
Blambangan pasti tidak.”
“Hanya kecil sekali, Pangeran. Mungkin hanya
sebesar Pagelen sampai Pajang.”
“Uh, terlalu kecil. Masih jauh lebih kecil dari
Mataram. Tetapi mengapa kalian dapat menjadi begitu kaya raya dan mampu membuat
kapal-kapal perang yang raksasa itu?”
“Besar kecil suatu negara tidak dihitung dari
luas daerah atau jumlah penduduknya, Pangeran.”
“Ah, omong kosong! Dari mana mengambil para
prajuritnya?”
“Memang untung bila daerah luas dan warga
banyak, Pangeran. Tetapi modal utama suatu negeri ada dalam otak dan sikap
watak orang-orangnya, Pangeran. (Uh, apa dikira orang Jawa tidak punya watak?)
Maaf, Pangeran. Mungkin menerangkan hamba kurang jelas. Yang hamba maksud: barangkali
terlalu banyak otaknya orang Mataram. (Nah, begitu. Senang kudengar. Otak orang
Mataram encer, Tuan Pinterseng, jangan diremehkan! Encer sekali.) Ya, Paduka,
encer sekali, itu akui hamba. Tetapi maaf, barangkali terlalu encer. (Apa
maksudmu?) Barangkali, tetapi maafkan Pangeran, Paduka sudilah jangan marah
dulu. (Tidak! Asal omongmu nalar saja.) Semogalah, Pangeran. Hamba maksud tadi,
bisa lebih dikentalkan. (Semakin kental semakin bodoh. Ini sungguh saran tidak
nalar.) Dan mungkin ini juga, Pangeran, seumumnya nalar perlu perasaan tegas
kendali. (Nalar mengendalikan perasaan? Ini usul apa lagi? Atau jangan-jangan
kau ingin menyindir, perasaanku terhadap si Ayu Tejarukmi itu harus dikekang,
begitu?) Hamba mengatakan tidak itu, Paduka. (Tidak mengatakan terus-terang,
tetapi menyindir, bukan?) Ampun tuanku, Putra Mahkota. Bukan hamba yang menarik
itu kesimpulan. (Saya?) Bukan Pietersen, Pangeran.”
“Tejarukmi harus, HARUS saya cium, harus saya
dekap, saya keloni tuntas habis-habisan. Dia wanita yang molek dipandang dan
pasti lezat dinikmati. Pinterseng, buka rahasia ramuan guna-guna negerimu! Dan
calon Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram, calon Sayidin Panatagama akan menjadi
pelindungmu. Saya akan memohon kepada Ayahanda untuk membebaskan kau dari
tahanan. Setuju? Lalu kau ke Betawi, bawa macam-macam guna-guna. Setuju?”
“Hambamu Thyss Pietersen lebih ikhlas mengabdi
Mataram daripada main guna-guna, Pangeran Besar. Sungguh memang tidak ada
guna-guna asmara di negeri kami. Perkenankanlah hamba berterus terang, Paduka.
Tetapi hamba mohon, Pangeran jangan marah.”
“Ya, kalau perlu ya marah. Itu hak bangsawan.
Tetapi silakan, Pinterseng. Asal, sekali lagi: nalar, jangan ngawur!”
“Beribu maaf, Paduka Putra Mahkota, menurut
anggapan orang-orang kami negeri, guna-guna hanya berakibat pada jiwa orang
yang memang sebelumnya pada guna-guna sudah percaya. Jika ia tidak percaya,
guna-guna juga tak akan berdaya. Jika orang percaya, bahkan tanpa sadar ingin,
atau paling tidak, siap untuk diguna-guna, maka tentulah ia mudah terkena
guna-guna itu. Guna-guna ibarat hanya tarikan pelatuk senapan yang memang sudah
berisi mesiu. Seribu kali pelatuk ditarik, apabila mesiu tidak ada, senapan
juga tidak akan meletus. Begitulah kira-kira, Paduka Tuanku.”
“Ah, begitu… begitukah? Belum! Belum percaya
aku. Belum… belum.”
“Adalah hak Paduka untuk percaya atau tidak.
Tetapi kami ini sajalah misalnya. Kami tawanan Susuhunan. Tetapi semua dukun di
seluruh Mataram tak akan mampu mengguna-guna atau menakut-nakuti kami dengan
hantu atau tuyul dan sundel bolong dan macam-macam Jawa demit. Maafkan
hamba, Paduka, apabila guna-guna tak akan mempan pada kami; itu bukan karena
kami sombong -tak ada untung tawanan berlagak sombong-tetapi karena kami- tak
punya tempat di batin untuk mesiu guna-guna atau gandok[3]) di
hati untuk hantu di dalam kami jiwa.
“Lalu apa yang kalian takuti?”
“Peluru misalnya, Pangeran. Meriam atau keris.”
Tertawalah Aria Mataram. Suatu tanda yang
mengandung harapan, pikir Thyss Pietersen. Masih belum bertemu, bagaimana caranya untuk keluar dari permasalahan asmara serba berbahaya ini, catat Thyss Pietersen dalam hati yang masih prihatin. Sebab menggandrungi istri Panglima
Besar Mataram sungguh bukan dagelan murah.
mengandung harapan, pikir Thyss Pietersen. Masih belum bertemu, bagaimana caranya untuk keluar dari permasalahan asmara serba berbahaya ini, catat Thyss Pietersen dalam hati yang masih prihatin. Sebab menggandrungi istri Panglima
Besar Mataram sungguh bukan dagelan murah.
“Saya masih belum percaya kata-katamu, Thyss
Pietersen. Dan lagi, terlalu percaya kepada pihak nusuh tidaklah nalar juga,
bukan?” Dan tertawalah Pangeran remaja itu.
“Kami bukan musuh, Paduka. Hanya kaum kaum
pedagang biasa.”
“Mana ada pedagang bawa kapal perang dengan
puluhan moncong meriam di setiap lambung.”
“Untuk membela diri, Pangeran. Tentulah Paduka
tahu lebih dari hamba, betapa besar bahaya perjalanan di lautan terbuka.”
“Ya ya, dalih selalu ada. Selalu. Tetapi kembali
ke sundel bolong tadi. Ada lho sundel bolong itu. Saya pernah mengalami sendiri
dan melihat sendiri. Bahkan pernah dirayu dan dipeluk sundel bolong. (Sungguh,
Paduka?) Untuk apa saya bohong? Lebih dari dua tahun yang lalu kejadiannya.
(Paduka berkelakar.) Lho sungguh, bahkan saya disihir lalu dibawa naik kuda
oleh sundel bolong itu sampai ke kuburan.”
Sekarang giliran Pinterseng untuk tertawa. Sopan
tetapi spontan.
“Diajak main-main apa, Pangeran, kalau hamba
boleh bertanya?”
“Dirangkul lalu dicium. (Sungguh?) Lho, tidak
percaya. Lalu saya diajak kelonan.[4]) Aduh,
memang cantik dia, halus empuk. Harum baunya. Dan susunya… ah Pinterseng
cemburu ya, pasti kau iri. Lalu, ya lalu mau apa lagi? Wah, nikmat sungguh.
Lain lho, kenikmatan sundel bolong daripada perempuan biasa.”
“Bagaimana tahu Paduka dia sundel bolong?”.
“Kan jelas. Nah, saya belum habis ceritanya ini.
Sesudah dia puas kureguk dan kunikmati, eh, tahu-tahu tangan saya merangkul
dia, dan lho lho hahahaaaa bolong semua di belakang, lhailaaaa kau pasti tidak
percaya. Tetapi saya pura-pura tidak tahu bahwa terasa bolong punggung, ya
punggung sampai pantat bolong semua. Saya ingin tahu, isinya apa. Aduh kauterka
coba, terka. Ayo terka! (Tulang dan paru-paru.) Keliru, keliru seribu wiru. Isinya,
tahu? Isinya… hahaaa kau melompong tegang ingin tahu, nah, ternyata kau percaya
juga. (Hamba percaya kalau sudah sendiri meraba, Pangeran.) Boleh, boleh
kauraba. Isinya ternyata… cuma krupuk dan onde-onde dan galundeng[5]). Untung
dia dapat saya rogoh-rogoh[6]) dari
belakang, sampai aku tahu. (Apa ketika main cinta tadi, Paduka tidak dari
semula memeluk dia?) Ah… ya juga, tetapi … tetapi tidak begitu saya rasakan.
Tetapi inilah bukti. Bukti yang tidak bisa kaubantah. Sebab Raden Mas Rangkah
Aria Mataram sendiri yang menyaksikannya. Bahkan lebih dari hanya menyaksikan.
Nah, keok[7]) kau!
Hahahaa!
“Sesudah diketahui dia sundel bolong, lalu
selanjutnya?”
“Ya, saling berpisah biasa. Sebab dia yang
membutuhkan saya. Bukan saya. Saya di mana-mana disenangi gadis. Saya hanya
minta oleh-oleh krupuk dan onde-onde galundeng-nya. (Diberikan?). Nah, malu
tentu saja dia, bahwa ketahuan bolong. Tetapi makanan itu toh diberikan juga.
Untuk oleh-oleh simbok-simbok di dapur istana. Ah Pangeran,
apa makanan yang mengerikan itu mau makan?) Mau… mau… HARUS. Mereka HARUS
memakan itu semua. Biar mereka menjadi saksi bahwa sundel bolong itu ada.”
“Baiklah, Paduka Pangeran. Tetapi maafkan, hamba
tadi sebenarnya’ Pangeran Danupaya memanggil untuk….”
“Jangan mau dipanggil orang itu.”
“Ya, ini sebenarnya juga perintah Susuhunan.”
“Nanti dulu. Saya ingin tanya. Kau sudah pernah
melihat si manis Tejarukmi itu? (Bagaimana mungkin, Pangeran? Hamba belum
pernah…) Sudahlah, entah bagaimana caramu, kalau kau kebetulan dipanggil
si kakek tuwek Wiraguna itu, usahakanlah agar dia mau
menyerahkan si gadis kecil itu kepada Putra Mahkota. Dia akan mendapat ganjaran
sangat berharga. Apa lagi, kan dia sudah tua bangka dan sudah begitu banyak
istrinya. Mosok kurang. Dan putri ini kan masih gadis kecil. Apa pantas? Mosok
karonsih kok dengan cucu-buyutnya? Apa tidak memalukan? Bilang pada si Cadas
Keropos itu, agar dia dengan sukarela-ya sukarela wajib ini-menyerahkan cucu
buyut itu-ya cucu-buyutnya itu-kepada calon Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram.”
“Bagaimana mungkin, Pangeran? Hamba orang asing,
apalagi tawanan. Tidak punya apa pun kedudukan. Bahkan lebih hina daripada
kerbau penarik kereta, Pangeran.”
“Ya ya, kerbau memang kau. Tetapi pasti bisa.
Nah, caranya terserah. Tetapi ini harus berupa persembahan, hulu-bekti.[8])Dan
kalau berhasil, kau akan saya usahakan bebas bisa pulang lagi ke Betawi-mu.”
Tak ada jawaban lairy selain, “Ya, akan hamba
coba, walaupun hamba tidak berani tanggung berhasil.”
“Tidak usah main tanggung. Yang penting,
berhasil. Nah, ingat katamu tadi, dirayu. Sekarang buktikan, kau mampu atau
tidak merayu si ketela gosong Wiraguna itu.”
“Sendika. Nuwun kawula.[9])
Dan pergilah Thyss Pietersen dengan kedua mata
loyo. “Silakan jadi Susuhunan Mataram”, gumam gerutunya. “Kalau Thyss nanti
jadi gubernur jenderal VOC, akan kupotong burungmu!”
—————————————–
[1] Utusan pembesar
[2] Ingatlah
[3] Ruang tidur
[4] dalam hal ini
berarti “bersanggama”
[5] Nama panganan
[6] Menggerayangi
rongga/lubang
[7] Kalah total
[8] Upeti
[9] “Hamba taat pada
perintah Tuan. Maafkan hamba.”
Pengungsian Putri Tejarukmi berhasil, dan Nyai Ajeng serta
Arumardi dipuji. Tumenggung Wiraguna yang gembira menyetujui usul para
istrinya, untuk sementara menyembunyikan dahulu si gadis buruan itu di
pesanggrahan Arumardi di Bangkawa Kulon, agak di luar Jagabaya. Sebab setiap
orang yang melewati gapura-negara Jagabaya, yang dikuasai pasukan-pasukan
Wiraguna, langsung akan terteliti, siapa dan apa maksudnya melewati gerbang.
Biar Putra Mahkota sekali pun, akan sulit mencapai gadis yang dipersiapkan
untuk meladeni sang Panglima. Bahkan nanti Kakangmas Tumenggung akan
lebih kesengsem[1]) lagi-bila
setelah berpisah sebentar-si anak sudah mekar menjadi gadis dewasa, begitu
bujuk Nyai Ajeng.
Bagi Panglima Besar Wiraguna, peristiwa yang tak
tersangka itu menimbulkan beberapa pertimbangan yang gawat. Agunglah Susuhunan
Hanyakrakusuma. Tetapi putra calon penggantinya? Bagaimana mungkin, keagungan
membuahkan kerendahan. Sikap mulia melahirkan watak bawah mutu? Akan ke mana
kemaharajaan Mataram nanti? Empat keturunan sudah umur Mataram sejak Ki Ageng
Pemanahan minum air kelapa wahyu dan menanam cikal-bakal kerajaan besar yang
belum ada tanylingannya di Jawa sejak Majapahit runtuh. Apakah Mataram dapat
mengalami lima keturunan raja, atau sudah berkokokkah si jago naas di waktu
malam yang menandakan bayi mati atau warta duka lain? Alangkah sedihnya bila
demikian. Semogalah Allahu Akbar melindungi Mataram terhadap keruntuhan dari
dalam. Namun dengan Raden Mas Jibus Rangkah yang sewenang-wenang ini, kapan
orang nalar sehat dapat ber-gambangan ber-uyon-uyon ayem-tentrem[2]) seolah-olah
pohon kelapa masih berjamang janur pupus3[3]) dan
seakan-akan gagar mayang[4])kencana
masih bermekar sakti? Masih belum pancaroba teman-teman si Jibus ini yang
seumur beliau, tetapi Jibus sudah menguber-uber dan menggerayangi istri-istri
orang.
Jelas, ini jelas akibat daya sihir si musuh
Betawi itu. Barangkali Susuhunan dulu agak keliru menawan sekian banyak orang
Peose keparat itu di Jepara. Dua puluh tiga orang! Dua puluh tiga artinya,
tujuh kali empat dikurangi lima. Tujuh:
ardi, turangga, giri, resi, angsa.[5]) Apa lagi? Lembu,
himawan, gora…[6]) Empat: angka tidak mengkhawatirkan, semua bersifat air, bahari, laut, sungai, hujan, air sumur sampai air susu, air kelapa, air embun. Selain itu: zaman, yoga… tirta yoga, kali yoga, dwara yoga, karta-yoga,[7]) yang mana? Lima… nah, angka lima bagus. Pendawa lima, tata denyut urat nadi juga. Nah, angin, maruta yang mengantarkan harum bunga lima macam; samirana, angin yang menghilangkan bau busuk di badan. Tetapi angka lima mengandung hal-hal memprihatinkan juga: sara, raksasa malapetaka yang bergaul dengan lima makhluk jenis jin. Bahkan dapat menunjuk kepada Yasa, raksasa wanita bertaring tetapi banci.
ardi, turangga, giri, resi, angsa.[5]) Apa lagi? Lembu,
himawan, gora…[6]) Empat: angka tidak mengkhawatirkan, semua bersifat air, bahari, laut, sungai, hujan, air sumur sampai air susu, air kelapa, air embun. Selain itu: zaman, yoga… tirta yoga, kali yoga, dwara yoga, karta-yoga,[7]) yang mana? Lima… nah, angka lima bagus. Pendawa lima, tata denyut urat nadi juga. Nah, angin, maruta yang mengantarkan harum bunga lima macam; samirana, angin yang menghilangkan bau busuk di badan. Tetapi angka lima mengandung hal-hal memprihatinkan juga: sara, raksasa malapetaka yang bergaul dengan lima makhluk jenis jin. Bahkan dapat menunjuk kepada Yasa, raksasa wanita bertaring tetapi banci.
Ramuan mujur-malang yang manakah yang sudah
mengalir di Mataram dengan ditawannya dua puluh tiga orang Holan itu? Keras
tegas Wiraguna telah memerintahkan, agar dua puluh tiga orang kafir itu dirantai
dan dikalungi belenggu papan kayu tebal. Agar jangan lari, tetapi yang lebih
gawat, jangan sampai leluasa mengadakan gerak-gerik sihir. Hanya mulut mereka
yang sulit disumbat. Di sinilah memang titik kelemahan cara menawan orang-orang
bule keparat itu, yang sejak kedatangan mereka di Banten melumpuhkan hubungan
armada dagang Mataram dengan Maluku dan Malaka. Entahlah, siapa dalangnya,
Singaranu-kah? Atau Wirapatra? Atau jangan-jangan Pangeran Silarong yang suka
mistik itu? Siapa gerangan yang pertama-tama berbisik kepada Susuhunan untuk
meringankan cara penahanan tawanan-tawanan itu? Sehingga akhirnya mereka
dilepas dari belenggu? Bukankah ini sihir namanya, bila Putra Mahkota pun
santai lagi erat bergaul dengan orang-orang bule itu? Bahkan sering diajak
dalam perburuan wanita-wanita priyayi maupun tani? Dan sekarang, tidak kurang
dari Panglima Besar balatentara kuasa Kerajaan Mataram sendirilah yang
terkena sampur.[8])Kekasih
Wiraguna yang paling muda lagi molek mau dinodai oleh si Bocah
wingisore[9]) itu.
Apakah ini bukan penghinaan yang keterlaluan? Lebih jahat lagi, tanda
keruntuhan Mataram?
Bagaimana hal ini dapat diperingatkan kepada
Susuhunan yang ia abdi dengan setia? Wiraguna tahu, bahwa Sri Susuhunan yang
mulia jiwa itu pun prihatin mengenai putranya, tetapi rupa-rupanya tak ada
calon pengganti lain yang memenuhi syarat. Raden mas Jibus paling memenuhi
syarat? Ah. Jangan-jangan Adiprabu Hanyakrakusuma keliru pilih. Tetapi
beginilah sudah kebijaksanaan beliau. Bahkan pernah beliau bersenda: kalau dia
lihai merebut wanita, tentunya akan pandai juga merebut kerajaan-kerajaan luar
Mataram. Tentulah itu hanya senda gurau. Barangkali hanya untuk menyelubungi
amarah dan malu beliau. Tetapi jelas. Wiraguna harus awas. Bagaimana, andai
Wiraguna lebih mempererat pendekatan dengan Pangeran Alit, satu-satunya saingan
yang berarti, yang dapat mengimbangi Raden Mas Rangkah? Danupaya dulu? Dia
gurunya. Tumenggung Sura Agul-agul, mungkin? Aduh, gara-gara apa lagi masih
harus ia hadapi? Tumenggung paling kuasa di Mataram itu bernapas panjang.
Jauh dari Puri Wiragunan dan istana Putra
Mahkota, sejalan gerobah kerbau sehari lebih, ada orang lain yang bernapas
panjang. Tetapi justru karena bahagianya. Ni Duku.
“Memang betul namamu Slamet?” kata Duku kepada
suaminya. Berseri mukanya memandang kawan hidup tersayangnya.
“Nah, ketika aku lahir, almarhumah ibuku minta
aku diberi nama Baskara.[10]) Tetapi
almarhum Ayah tidak setuju (Dianggap terlalu berat tentunya.) Ya, begitu. (Lalu
dia pilih nama Slamet?) Bukan dia. Ayah mencoba lagi memberi nama: Sujana.[11])Tetapi
saya tidak setuju. Slamet saja, usulku.” Tertawalah Duku segar, dan langsung
dipeluklah suaminya dari belakang, kepala saling merapat.
“Itu dongeng untuk anak kecil, Cah gendeng.[12])
“Nah, sekarang kau tahu, seperti apa suamimu. ”
“Jadi Duku-mu dianggap anak kecil?”
“Kecil memang… pinggangnya, sebelum
KEMARIN!” ,
Duku melihat waspada ke segala arah, lalu
diciumlah suaminya kuat-kuat. Sampai Siamet berhenti menggarap jaring ikannya.
“Eh, jaringnya nanti sobek lagi,” tawa Slamet.
“Ada orang melihat.”
“Biar!” Sepasang mata menjadi basah, sebab baru
kemarin memang Duku memberi tahu suaminya, bahwa ada Slamet mungil atau Duku
sedang tumbuh dalam garba-nya.
“halau lelaki, siapa namanya?” tanya Duku
menikmati saat.
“Wibisana.”[13])
“Kau suka Wibisana?”
“Ya, dia cinta pada kebenaran, tidak mau memihak
pihak yang salah, (Walaupun yang salah rajanya sendiri.) dan abangnya sendiri,
jangan lupa lupa. Berat bila harus melawan saudara sendiri.) Nah, justru itu
kemuliaan sikap Wibisana. Dia membela yang benar. Tidak asal kerabat, betul
keliru dibela buta. Kau suka dia juga? (Jelas. Hanya jangan terlalu tampan
seperti Wibisana semoga anak kita kelak.) Lho! (Ah, kita kan mengalami semua.
Putri cantik diuber-uber setiap lelaki. Putra tampan sumber onar pula.)”
“Maka itulah, baru ketahuan sekarang, kau dulu
langsung suka ketika kulamar. (Maka itu, maka apa)) Ya, karena Slamet
tampangnya bloon.”
Tertawa ringan ria lagi Duku. Dicium suaminya
penuh nafsu. “Ya betul, bloon kau. Kalau tidak bloon pasti melamar gadis lain.”
“Nah, sudah tumbu oleh tutup. “[14])
“Lebih tepat munthu oleh cowek.”[15])
“Bagus kalau begitu, nama anak kita Thuwek
saja.”
“Oh, Cah gendeng! Dan lagi, Thuwek itu pantasnya
nama untuk perempuan.”
“Atau… ya, Munco, bisa juga.”
“Uuuuh!” Dan dirangkullah suaminya dari
belakang, manja. Memang. Slamet tahu, istrinya tergolong perempuan bergairah,
mungkin pengaruh dari sari ilmu katuranggan? Ah, yang bener aja. Tetapi kali
ini ungkapan gembiranya sedang meluap. Betapa tidak? Sudah setengah windu
mereka harus menunggu sebelum dikaruniai buah rahim. Mungkin istrinya terlalu
gemar naik kuda? Tidak, kata tegas Putri Arumardi. Lihatlah saja saya ini, kata
beliau. Saya hanya di rumah saja seperti siput. Tetapi harus menunggu empat
tahun juga, sedangkan garwa selir Tumenggung Singaranu yang gemar naik kuda,
tepat sembilan bulan sudah ada gendon[16]) sulung
minta digendong. Yang jelas, sekarang ada calon Wibisana dan…
“E, Nduk! Kau lupa. (Apa?) Kalau yang lahir
perempuan, siapa… (Oh jelas Mendut namanya, harus.) Ah! Siapa yang
mengharuskan? (Si Duku.) Jangan main-main. (Lho, ini bersungguh-sungguh.) Saya
tak. setuju.”
“Mengapa, kan kau tahu, betapa kagum Duku-mu
kepada Rara Mendut?”
“Itu sih boleh saja, tetapi caranya jangan lalu
mencangkokkan namanya kepada anak kita.”
“Kan kita dulu dapat saling berkenalan dan
menjadi suami istri berkat Rara Mendut.”
“Ah, kau terlalu memandang ke yang sudah-sudah.
Tidak baik. Tidak baik kita selalu saja menoleh ke belakang.”
“Menoleh ya selalu ke belakang,” tawa Duku.
“Ah, jangan bergurau dengan nama anak.”
“Kau terlalu berat pikir. Orang tua banyak
bergurau, anak banyak berguru, sampai makan pun harus diburu-buru.” Dan
tertawalah lagi si Duku, ria, ringan menawan. Betul juga istrinya, kata hati
Slamet. Mungkin inikah sebabnya? Selama ini hidup mereka berdua serba penuh
ketegangan, merasa selalu diancam ketakutan dan kegelisahan. Ya, Allah
Mahabijaksana. Dalam keadaan serba kisruh penuh bahaya maut dahulu itu,
kedatangan seorang bayi akan mencelakakannya. Syukur. Syukurlah bahwa rahim
istrinya
sabar, sanggup menunggu. Sekarang lain. Serba damai dan sejahtera, aman dalam naungan pesanggrahan Putri Arumardi. Ya, sekarang Wibisana boleh nongol.
sabar, sanggup menunggu. Sekarang lain. Serba damai dan sejahtera, aman dalam naungan pesanggrahan Putri Arumardi. Ya, sekarang Wibisana boleh nongol.
“Kalau nama Mendut tak patut, lalu apa
sebaiknya?” tanya Duku, lebih untuk menenteramkan suaminya daripada bertanya
sungguh. Sebab dalam hatinya Duku memohon: jangan perempuan. Anak lelaki saja.
Hidup anak perempuan dari kecil hanya serba di tengah dunia wanita, alam
tertutup tanpa banyak kesempatan. Lagi pula belum tentu ada lelaki yang cocok.
Disuruh menunggu, menunggu, menunggu sampai pelamar datang. Kalau menolak lalu
heboh. Kalau sendika[17]) begitu
saja, akhirnya cuma disuruh melayani, melayani, melayani. Suwarga nunut
neraka katut.[18]) Jangan,
jangan perempuan. Kasihan.
“Nah, kau melamun,” ejek Slamet. “Pikir apa?”
“Pikir anakmu itu. Kita harus memohon, janganlah
anak ini anak perempuan.”
“Jangan omong begitu, Nduk! Mendahului Kahyangan
itu namanya.”
“Permohonan! Kan kita boleh memohon. Itu tadi
bukan gerutu.”
“Nah, sepaham kalau begitu,” sambil
menepuk-nepuk pipi istrinya. “Kau tahu? Mungkin nama Lusi bagus
baginya. (Lusi? Apa itu?) Lusi artinya ‘terlepas’. Terlepas
dari bahaya. (O, ya?) Ya, Lusi. Itulah artinya. Penuh makna dan arti syukur,
bukan?”
“Lusi… Lusi, merdu juga bunyinya. Tetapi jarang
dipakai.”
“Jarang artinya: ‘berharga’.”
“Setuju. Setuju!” Dan lagi suaminya di-uyeluyel si
ibu bayi dini yang sedang melonjak gembira hatinya, karena ada seorang Wibisana
kecil atau Lusi mungil yang menemani ibunya, siang dan malam, ke mana pun si
ibu pergi. Syukur! Syukur berbahagia kehidupan di pesanggrahan Arumardi ini.
Tiba-tiba dengan kasar Slamet melepaskan diri
dari rangkulan istrinya, berdiri agak membongkok, tegang memandang ke muka. Ada
apa? Cepat bendo[19]) di
kakinya dipegang dan berlarilah ia ke semak-semak di balik pohon-pohon kelapa.
Terkejut Duku memandang ke arah dia berlari. Spontan ia pun mengambil sembarang
kayu di dekatnya dan ikut berlari mengikuti suaminya. Slamet sudah menghilang
ke dalam semak-semak. Sesaat, ya hanya sesaat, Duku melihat ada kepala
berikat wulung[20])menongol
dan menghilang lagi. Disusul suara kejar-mengejar. Terdengar teriak Slamet,
“Hayo kau keluar, Pengecut! Kalau memang
laki-laki jangan seperti tikus clurut kecut yang banci cuma
berani mengintip dari belakang.”
“Siapa Kang?” teriak Duku. Tak ada jawaban.
Muncul Slamet dari semak-semak.
“Kita harus berhati-hati, Nduk.”
“Teliksandi?”
“Kukira, ya.”
“Pasti suruhan Jibus.”
“Siapa lagi?”
Slamet seolah dikilati ilham, dan larilah ia
masuk pintu dinding pemisah belakang pesanggrahan dan kebun kelapa, sambil
berteriak, “Den Ayu Rukmi! Den Ayu Rukmi!” Tak ada jawaban. Duku pun tak
ketinggalan berlari masuk dengan kesadaran cemas, bahwa orang-orang suruhan
Raden Mas Jibus toh datang lagi. Di mana Raden Rara Tejarukmi? Tadi sedang
memetik bunga-bunga di taman muka pendapa. Putri ini sudah di wanti-wanti jangan
sampai ke luar tembok halaman pesanggrahan. Tetapi ya, mana mungkin anak
perempuan dalam usia senang bunga dan kupu dapat dikurung begitu ketat, padahal
di luar alam terbuka menghimbau penuh daya tarik?
Sungguh menyesal Duku tadi hanya enak-enak
rayu-merayu dengan suaminya, lupa pada kewajiban utamanya, menjaga gadis
inceran Raden Mas Jibus. Maksud tadi cuma menengok sambil mengantarkan makan
pagi dan minuman untuk suaminya.
Kalau dipikir lebih dalam, sebetulnya dia dan
Slamet tidak perlu repot-repot memikul tanggung jawab sebesar ini hanya untuk
mengabdi kakek manja yang pernah membunuh puan terpujanya. Tetapi timbang punya
timbang antara suami-istri, akhirnya Slamet mengatakan, bahwa lain si Wiraguna,
dan lain pula sang Putri Arumardi serta Tejarukmi. Mereka tidak bersusah payah
melayani kenikmatan manja si walang kakek Wiraguna, tetapi membalas budi Putri
Arumardi dan… ya, bukankah nasib Putri Tejarukmi ini nasib yang diderita sama
oleh Rara Mendut juga? Nasib sedih sekian putri dan gadis korban keganasan
nafsu tak terkendali kaum lelaki? “Anggaplah kita bersekutu dengan Putri
Arumardi untuk melawan angkara murka kaum Jibus maupun Wiraguna,” kata Slamet
tenang.
“Kaum Rahwana Dasamuka,” tambah Duku pintar.
Dalam hal ini, Jibus dan Wiraguna setali-tiga-uang. Tidak perlu mereka diabdi
apalagi dibela. Dan bukankah pembelaan yang lebih sepi ing
pamrih ini, karena justru seolah-olah menolong orang yang dalam hati
dibenci Duku dan Slamet bukankah ini jauh lebih berharga daripada apa yang
telah dibaktikan oleh Duku terhadap puannya Mendut?
“Putri Rukmi! Den Rara Rukmi!” teriak kedua
orang itu. Di cucuran pendapa Slamet menemukan dua orang
pengawal mati berlumuran darah tertusuk keris. Kakek dan Nenek juru kunci menggigil di gandok kanan. Tiba-tiba Slamet dan Duku mendengar ringkik kuda di luar regol. Kuda asing! Langsung Duku yang masih di pringgitan[21]) berlari ke kandang kuda. Mendidih jiwa Bima dalam urat-uratnya.
orang itu. Di cucuran pendapa Slamet menemukan dua orang
pengawal mati berlumuran darah tertusuk keris. Kakek dan Nenek juru kunci menggigil di gandok kanan. Tiba-tiba Slamet dan Duku mendengar ringkik kuda di luar regol. Kuda asing! Langsung Duku yang masih di pringgitan[21]) berlari ke kandang kuda. Mendidih jiwa Bima dalam urat-uratnya.
“Kejar!” Cepat-cepat keris kecil hadiah Putri
Arumardi yang selalu tergantung tersembunyi di kandang kuda diselipkan ke
dalam setagen-nya.[22]) Kain
ditarik ke atas lutut, ujung dibalutkan di bawah pantat, diikat, dan meloncat
serta terbanglah sang Srikandi mengejar. Slamet pun meloncat ke atas kuda, dan
lari di belakang istrinya. Kalah cepat larinya, tetapi tentulah nanti istrinya
membutuhkan pertolongan. Segulung tali telah ia bawa. Aduh, tiga orang melawan
satu wanita.
Cemas juga hati Slamet. Dari jauh kelihatan
bahwa si penunggang kuda yang tengah mendekap seorang gadis.
“Nduk! Pulang! Berbahaya!” teriak Slamet. “Kau
akan kalah dikeroyok.”
Tetapi Duku terus mengejar para penculik itu.
Ah, memang cerdas si Duku itu. Sekonyong-konyong setelah penculik-penculik itu
menghilang di balik semak-semak belokan, dia menukik dan lari ke ladang, lurus
ke arah timur. Jalan pintas ke Jagabaya. Membongkok di punggung kuda Duku kini,
seperti setan. Jalan setapak di pasir pantai seperti tak terinjak kuda. Secepat
yang mungkin bagi seorang nelayan, Slamet mengejar istrinya melalui jalan
pintas itu juga. Bagaimanapun toh mereka harus melewati gapura negara Jagabaya.
Dihadang saja di sana. Genduk Duku ini sungguh kebanggaan Slamet. Di laut Slamet
laksamana, tetapi di darat istrinyalah yang panglima.
Sesudah para penjaga gapura tahu duduk
perkaranya, mereka menutup pintu gerbang dan dengan senjata terhunus siaga
menyambut para penculik itu. Mereka tahu, bahwa hidup mereka masing-masing
dalam keadaan bahaya juga. Bila istri muda Panglima Besar mereka sampai lolos,
maka pastilah tidak dapat diharapkan kepala meeka tetap membundeli leher.
Bagaimanapun Wiraguna masih jauh lebih berkuasa
daripada Putra Mahkota yang masih pemuda ingusan itu.
Slamet tidak setuju cara menghadang yang
dilakukan para prajurit itu. Jangan terang-terangan begitu. Pura-pura alpa.
Untung perwira pengawal sadar bahwa pemburu-pemburu itu harus dijebak dulu.
Nah, siap! Itu mereka datang. Sungguh kurang ajar yang tengah itu, caranya
mendekap sang Putri. Bagus, pikir Slamet. Justru itulah yang akan mencelakakan
mereka. Tanggung akan dibunuh oleh Wiraguna pribadi bila beliau tahu bagaimana
kekasihnya diperlakukan. Keadaan sangat berbahaya dan semakin menegangkan. Bila
penculik itu dilawan secara langsung, pastilah mereka akan kalah, akan tetapi
bagaimana keselamatan sang Putri? Rupa-rupanya justru inilah yang dijadikan
sendi siasat mereka. Pasti para penjaga gapura tidak akan tega membahayakan
Putri Tejarukmi yang telah dijadikan perisai oleh mereka itu.
Dalam kesempatan waktu yang sangat sedikit itu,
Slamet, Duku, dan perwira penjaga gerbang cepat berunding. Setuju! Menjelang
mereka masuk pintu gerbang, dua prajurit akan berlari menyambut tantangan
mereka, tetapi tidak untuk melawan para penculik itu secara langsung. Hanya
untuk menghambat. Sementara itu Duku dan Slamet akan bersembunyi di belakang
dua pohon karet raksasa, agak di belakang, untuk merebut kembali sang Putri
dalam gerak lari yang searah dengan para penculik. Ganas kedua penculik di
kanan-kiri kuda sang Putri, bergaya mengancam mengayun-ayunkan keris mereka.
Tetapi para penjaga menghadapi mereka dengan ketrampilan pasukan berkuda.
Dengan gerak-gerik kuda menyirig-nyirig dan di bawah
perlindungan perisai-perisai dan tombak, dengan seni pengendalian kuda
termasyhur gaya Mataram, hanya oleh sabuk pinggang yang diikat pada kendali
kuda, para prajurit itu berhasil mengurangi kecepatan para penculik.
Bagaimanapun tombak jauh lebih panjang daripada keris. Tetapi perkelahian sengit
tak terelakkan terjadi di pintu gerbang. Seperti sudah dapat diduga semula,
penculik yang membawa Tejarukmi dengan lihai meloloskan diri dari regu pengawal
gerbang yang memang terhalang dalam gerak penyerangan, sebab janganlah sampai
melukai atau lebih celaka lagi membahayakan hidup sang Putri. Putri Tejarukmi
terkulai pingsan di puggung kuda, dan setiap saat dapat jatuh dari kuda lawan
yang bergerak tak keruan itu. Atas aba-aba Duku, yang seksama menghitung jarak
maupun saat, serentak Slamet dan Duku maju dari balik persembunyian dan
menjepit kuda sang Putri, digiring ke tepi jalan. Slamet dengan mudah menguasai
si lelaki yang sulit membela diri karena memegang gadis di pangkuannya. Gesit
cermat Duku merebut gadis yang sudah lemas pingsan itu dari penyamunnya. Namun
sayang, keduanya terpelanting dari kuda. Cermat perkiraan Duku, mereka berempat
jatuh ke dalam air lumpur lunak di sawah. Ketika Slamet menoleh memeriksa
keadaan kedua wanita yang kotor berlumpur tak keruan itu, ia melihat, bagaimana
ketiga penyamun itu langsung sudah dirajam dengan tombak dan keris para penjaga
gerbang. Akan naik pangkat mereka semua, pikir Slamet. Ya ya, semua keuntungan
selalu minta tumbal.
“Ada yang luka, Nduk?”
Tetapi Duku hanya punya perhatian kepada si
gadis yang masih pingsan itu. Didengar jantungnya, diraba dada, keningnya,
dibalik, diseka, digeletakkan lagi. Tanpa kata Duku memberi isyarat kepada
Slamet.
Dan dengan berhati-hati Putri itu diemban
bersama, dimasukkan ke dalam salah satu rumah yang paling dekat. Sesudah itu
Slamet meminta, agar mayat-mayat dan kepala-kepala yang terpenggal selekas
mungkin disingkirkan. Di pertempuran begitu dingin seperti besi kerisnya,
tetapi seusai semuanya, Genduk Duku toh menangis juga. Belum pernah sejak anak
ia mengalami yang dialami oleh setiap anak, mempunyai adik. Maka tiba-tibalah
ia sadar, betapa sejak awal mula, tak kentara Tejarukmi ini ia hayati sebagai
adik kandungnya sendiri. Tak kentara, tak sadar. Ia menangis bukan karena
sedih, akan tetapi bahagia. Namun tiba-tiba pula ia tegak tercekam kecemasan,
jangan-jangan janin dalam kandungannya akan gugur akibat bergelutnya sampai
jatuh dari kuda. Ya Allah, kasihanilah Duku hambamu … dan adik-emasku Tejarukmi
ini! Janganlah ia hendaknya mengalami nasib seperti Rara Mendut. Satu kali saja,
satu kali cukuplah, ya Allah.
Di bawah enam mata mereka bertemu. Putri
Arumardi atas nama Nyai Ajeng, Genduk Duku dan… Wiraguna. Tak terkira tak
termimpi, bahwa pertemuan semacam ini bakal terjadi. Tetapi nyatanya nyata.
“Kau tak perlu takut,” begitu penegasan Putri
Arumardi tadi. “Beliau ingin berterima kasih secara pribadi kepadamu dan
suamimu. Tetapi lebih baik sendirian saja. Nanti Slamet menyusul.” Ya, siapa
tak akan bisu mendadak bila orang tiba-tiba harus berhadapan muka langsung
dengan seorang musuh yang begitu kuasa; dengan sejarah lampau yang begitu
mengerikan, penuh kenang-kenangan beracun? Tidak hanya Genduk Duku yang hanya
dapat menunduk dalam dan berlinang-linang air matanya. Panglima Besar Wiraguna
pun tak dapat mengucapkan satu kata jua.
Beliau, yang hulubalang perdana balatentara
ratusan ribu prajurit, dengan ratusan meriam-meriam dahsyat, beliau yang
mengalahkan Madura dan Surabaya, yang jayawijaya dari Tuban sampai Pasuruan,
dan yang menghancurleburkan Kadipaten Pati, beliau yang berkedudukan sangat
terkemuka dalam Dewan Patih kerajaan, kalangan kecil yang paling terpercaya
oleh Kanjeng Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram Ngabdurahman Sayidin Panatagama,
agung dalam medan laga, agung pula di singgasana, ya, beliau Tumenggung
Wiraguna, hanya mampu memberi isyarat saja kepada istri Arumardi, untuk
membahasakan apa yang telah ia sadari. Berterima kasih atas jasa menyelamatkan
si gadis piaraannya, Tejarukmi.
Sang Putri, untung hanya luka-luka ringan,
kesleo di pergelangan kaki dan sedikit babak-belur di punggung dan pantat.
Tetapi syukur alhamdulillah, selamat dan sehat. Masih sering mengigau ketakutan
ia pada malam hari, akan tetapi pelan-pelan ia akan sembuh. Ya, untuk itu
Panglima Besar Mataram bersumpah akan selalu melindungi keselamatan Genduk Duku
dan Slamet, menghapus segala sisa amarah beliau dalam hubungannya dengan
peristiwa Rara Mendut dulu itu… tetapi jujur mengakui juga, mengharapkan sikap
maaf dari Genduk Duku maupun Ni Rara Mendut almarhumah-walaupun sudah di alam
baka-atas segala kekerasannya di masa lampau. Dengan pengertian, agar
permintaan maaf ini ketat dirahasiakan untuk menjaga martabat dan kewibawaan
Tumenggung. Selama pertemuan itu, Tumenggung Wiraguna tidak mengucapkan satu
patah kata pun. Tetapi dari wajah beliau tampak, betapa bersungguh apa yang
dihantarkan oleh istrinya itu. Selanjutnya, bila Genduk Duku menginginkan
sesuatu apa pun, asal itu masih dalam kemampuan sang Panglima Besar, akan
dikabulkan.
Kadang-kadang, selama mendengarkan kata-kata
panjang Putri Arumardi, Duku sempat mencuri pandang. Alangkah lain sama sekali,
Wiraguna sekarang dan yang dulu. Kelihatan sudah tua letih. Goresan-goresan
pada wajah beliau yang terpahat oleh hidup penuh kecemasan, namun terutama
redup cahaya kedua mata yang tampak lelah tak lagi mengkilau, mulai memadamkan
nyala bara dendam dalam hati Duku. Benarlah ungkapan rasa Putri Arumardi ketika
mereka sedang kelonan, “Sekian banyak pertempuran di medan perang telah ia
menangkan. Tetapi dalam pertempuran menghadapi diri sendiri, ia belum berhasil
jaya. Perempuan, bagi lelaki seperti Kakangmas Wiraguna itu, tidak beliau dekap
karena cantiknya, tetapi karena ia ingin mendekap rasa keunggulan, menang dalam
pelampiasan nafsu kejayaan kejantanan si lelaki. Asih, cinta, sayang? Tidak
ada. Nafsu menguasai, menyemprotkan diri sendiri ke dalam diri orang lain,
itulah niatnya yang sebenarnya. Begitu pula kepada perempuan, sama juga kepada
sesama lelaki seperti yang dikerjakan banyak lelaki kepada lelaki. Tetapi jiwa
mereka serba porak-poranda, karena merasa, sebetulnya mereka tergolong kaum
kalah. Kalah karena tidak dapat terbang seperti garuda di atas dunia hewan di
rimba bawah. Mereka tahu, seharusnya asung asri asreng asih,[23]) yang
sewajarnya harus tercapai oleh orang yang merasa diri ksatria, mendekati
cita-cita sikap pandita-ratu dengan keningratan jatidiri manusia
berpangkat tinggi. Tetapi mereka gagal, hanya mampu mandeg pada
tingkat binatang. Dan inilah yang membuat Kakangmas Wiraguna sering murung,
atau melampiaskan kekecewaan dalam bentuk kekejaman. (Mencari gadis masih anak
seperti Tejarukmi?) Ya, Tejarukmi bagi beliau bukan pertama utama wanita,
tetapi lambang keinginan Kakangmas, agar beliau jangan tua, jangan dianggap
tidak menguasai cakra kehidupan.”
Dari mana Putri Arumardi tahu segala itu? Dan
selain itu, mengapa Arumardi kok masih saja mau menjadi istri selir, jikalau
memang begitu keadaannya? Pasti itu dari avahnya di lereng Gunung Merapi itu,
resi begawan arif yang kadang-kadang beliau kunjungi.
“Tahukah kau, Nduk, bila dalam sekawanan gajah
ada gajah tua yang sudah menanti saatnya dia mati secara alami? Belum tahu? Ah
ya, kau berkawan kuda-kuda kesayanganmu. Tetapi di gajahan kerajaan di Padang
Gading aku melihat sendiri. Jika ada gajah tua sudah jelas akan mati alami,
para srati[24]) sudah
tidak berani mendekati kawanan itu. Semua pintu pagar-pagar padang gajah
ditutup semua, dan semua menanti. Bila si gajah tua terseok-seok dan jatuh tak
kuat berdiri lagi, maka gajah-gajah yang lain bersama-sama mencoba dengan
belalai-belalai atau serodokan kaki untuk mengangkat lagi gajah tua itu untuk
berdiri lagi. Satu-dua kali gajah tua berhasil mengerahkan tenaga terakhir
untuk kembali berdiri. Namun jatuh lagi. Akhirnya, Nduk, apa yang terjadi jika
kawanan gajah itu tahu bahwa sudah tak ada harapan lagi? Nah, Duku, kau boleh
tahu, jangan malu. Lalu salah satu gajah jantan yang paling kuat itu mencoba
untuk menusukkan alat kelaminnya di bawah ekor si tua yang sedang sekarat itu.
(Aah… ngeri). Bukan ngeri, Nduk. Kasihan, sungguh membuat kita iba hati bila
melihat itu. (Maunya apa, Putri Arumardi?) Ya maunya? Itu naluri. Saya duga,
secara naluri, gajah-gajah itu merasa, bahwa entah bagaimana caranya, mereka
harus mengalirkan zat benih kehidupan kepada kawan gajah yang sedang sekarat di
muka mereka. (Ooh, jadi…, tetapi apa binatang tahu itu?) Naluri, Nduk. Itu
naluri. Mengapa burung deruk tahu tolong-menolong, yang betina dan yang jantan,
rukun bergantian mengerami telur-telur mereka? Padahal ayam jago tidak peduli?
Itu naluri.”
“Apakah Putri Arumardi beranggapan bahwa, maaf,
Tumenggung… ah, bagaimana ya mengatakannya.. . ?”
“Kau cerdas. Mirip itulah Arumardi menduga,
begitu perkaranya Kakangmas dengan Tejarukmi bayi ingusan itu. Hasrat untuk
hidup terus dan hidup yang jaya.”
Entahlah, tahu-tahu ketika itu Genduk Duku sudah
basah kedua matanya, dan intan-intan hangat menetes. Panglima kuasa dalam
hatinya merasa gagal dan kalah. Hidup kaum bangsawan tinggi ternyata memang
hidup yang penuh ketakutan. Takut tak berkenan pada atasan, takut gagal di muka
umum, takut kehilangan muka, takut tidak laku di antara wanita, takut tersisih,
takut mati, takut… serba takutlah. Alangkah lain dunia ini dengan dunia Slamet
di laut dan dia sendiri bila di punggung kuda di padang luas. Slamet dan Duku
memang tidak bebas juga dari ketakutan, kadang-kadang, tetapi lain… sungguh
lain sifat serta suasananya.
“Putri Arumardi, maafkan Duku yang serba
lancang, tetapi bolehkah Duku tahu, mengapa Putri Arumardi masih betah di puri
sini, bila begitu sikap Tumenggung Wiraguna kepada Putri Arumardi?”
Tersenyumlah Arumardi, tetapi mata basah, “Ke
mana lagi aku harus pergi? Mungkin Arumardi harus menjalani lakon Kumbakarna,
demikian nasihat Ayahanda. Bukan menyetujui, tetapi menjalani kesetiaan.
Kakangmas Wiraguna bagi Arumardi seorang abang yang menderita, saya tahu
penderitaannya, dan saya dapat berbuat sedikit untuk menyejukkan jiwanya yang
sering bersuhu panas karena beratlah pertempuran yang harus ia jalani melawan
diri sendiri itu. Oh, Wiraguna sebenarnya tak berbeda banyak dalam bakat dan
kecenderungan hati dibanding dengan Bendara Eyang Pahitmadu. Hanya celakanya,
ia dilahirkan sebagai lelaki. Tidak, Arumardi sudah sumarah, sedapat mungkin
menjalani nasib Kumbakarna.”
Ketika Putri Arumardi berkata panjang tentang
suaminya itu, Duku tidak paham dan sudah setengah mengantuk sebetulnya. Dianggapnya
sebagai ungkapan hati sedih saja dari seorang putri yang terkurung dalam
sangkar istana, dan yang jarang menemukan seorang pendengar baik seperti Duku.
Tetapi sekarang, sesudah peristiwa penculikan Tejarukmi yang menegangkan itu,
apalagi menghadapi wajah yang tua, seperti kulit pohon munggur yang
terpahat oleh alur-alur tatahan sang waktu dan pergulatan batin seorang
ksatria yang mati-matian mempertahankan keksatriaannya serba
gagap dan gugup, yang lain sama sekali dari wajah Mbah Legen di Jali itu,
sekarang Duku hanya dapat diam; mencoba memahami, berikhtiar meredakan
gelombang-gelombang berang-berontaknya melawan sosok tua pohon munggur yang
benar perkasa bagaikan payung raksasa yang menjulang melebar di tengah padang
gersang, gagah kuasa, dengan akar-akar yang menonjol seperti ular-ular sawah
raksasa, tetapi keropos dari dalam.Maka entahlah, dalam bayangan Duku, seolah-olah wajah tua letih Wiraguna
itu menggelombang seperti bayangan permukaan air yang bergoyang, kemudian
semakin larut dan larut, badar[25]) ke
dalam bayangan seorang kakek tua lain yang juga sedih, lelah, dan tua, setopeng
wajah yang belum pernah dilihat Duku namun seperti sudah sangat ia kenal… wajah
Kakek Siwa, ayah angkat almarhumah Rara Mendut. Bersatulah yang menimpa dan
ditimpa, luluh menjadi satu wayang duka. Entahlah, semalam suntuk Duku tidak
tidur karenanya. Alangkah pedih pastilah penderitaan Kakek Siwa dulu, ketika rara tersayangnya
dirampas begitu saja oleh para pemburu istri kaum bangsawan. Dan menangis
lirihlah Duku.
[1] menaruh cinta,
terkena asmara
[2] berdendang
senandung nikmat damai
[3] bermahkotakan daun
muda kelapa
[4] gugusan bunga
kelapa
[5] bukit, kuda,
gunung, rohaniwan, angsa
[6] lembu, awan-awan,
suara banyak dan keras
[7] zaman air, zaman
hitam, zaman pintu gerbang, zaman damai
[8] penari wanita yang
menjadi tanda dia ingin menari
[9] Anak kemarin
petang
[10] matahari
[11] manusia baik
[12] Anak sinting
[13] Tokoh mitologi Ramayana, adik
raja lalim tetapi membela kebenaran melawan abangnya sendiri
[14] tempat makanan terbuat dari
bambu
[15] alat-alat dapur untuk
menggiling lombok/cabai, dll.
[16] larva serangga (laron), sebutan
kesayangan bagi anak kecil yang gemuk
[17] taat
[18] Bila ke surga
membonceng, bila ke neraka ikut terhela
[19] Parang
[20] biru hitam
[21] perbatasan antara
bagian pendapa dengan bagian dalam tempat wayang dimainkan
[22] ban pinggang panjang
pengikat kain
[23] memberi keindahan dan
giat berkasih savang
[24] pawang gajah
[25] cara berubah rupa/wujud
Sejak peristiwa penculikan Putri Tejarukmi, Bendara Eyang
Pahitmadu mendesak keras kepada Duku dan Slamet, agar mengungsi dulu di
purinya. Jangan dikira Raden Mas Jibus akan menyerah begitu saja. Pagi atau
petang, hujan atau terang, pasti begundal-begundalnya akan datang lagi. Benar,
Wiraguna telah memperbanyak lipat tiga jumlah prajurit yang bertugas menjaga
keamanan pesanggrahan Putri Arumardi di Bangkawa-Kulon, akan tetapi Bendara
Eyang mendesaknya, sehingga Slamet dan Duku merasa lebih bijak untuk mengikuti
penataan Putri sangat tua itu, yang akhir-akhir ini tampak menurun kesehatan
serta ceria wajahnya. Tetapi ada alasan lain yang tidak dikatakan Bendara
Pahitmadu, yakni betapa inginnya beliau mengikuti perkembangan buah rahim si
Duku, dan semoga masih boleh menyaksikan Duku terkasihnya melahirkan anaknya
yang pertama.
Dalam lubuk hati, yang sarat disirami sekian
perbincangan dengan suaminya, Duku sebenarnya lebih suka menantikan saat
bersalinnya di rumah bambu Mbah Legen dan Nyi Gendis. Kendati dalam pondok
papa, namun si Bayi akan masuk ke, dalam dunia kehidupannya di
tengah kedua orang dina sederhana yang baik hati itu; dan yang serba menyesal
belum sempat mereka kunjungi. Dia harus lahir sebagai anak rakyat, begitu
bertubi Slamet menegaskan. Pari awal mula Duku bukannya berpendapat lain,
tetapi jalan pikirannya tidak sefanatik suaminya. Kalau si Bayi boleh memilih
antara tikar pandan atau kasur berselimut sutra, tentulah si Bayi alias si Ibu,
jurtt bicaranya, jelas akan memilih sutra empuk. Bayi adalah ratu atau raja,
ujar naluri sang Ibu. Mengapa raja atau ratu harus rriemilih tikar dan
mengabaikan tawaran kasur sutra empuk?
Akhirnya Slamet tidak berkeberatan mereka
menunggu peristiwa luar biasa itu di Puri Pahitmadu. Dengan ikatan janji di
hati, agar secepat mungkin sesudahnya, Duku disertai Slamet berkunjung ke
kakek-nenek yang pernah, dalam keadaan kelam tinggal tenggelam, mengamalkan
kebaikan budi tanpa pamrih. Duku pun sudah berulang kali mencari kesempatan
untuk menengok kedua orang tua yang dulu menampungnya, lepas dari maut, akan
tetapi ada-ada saja keadaan menghalang-halangi. Ternyata hidup dalam rumah
ningrat tidaklah semerdeka yang dikira orang. “Memang belum saatnyalah,” hibur. Slamet
kepada istrinya dan khusus kepada diri sendiri juga, senang, janin terjamin
damai oleh kedermawanan sahabat-sahabat yang ikhlas. Janin harus teremban oleh
suasana yang serba menantinya dengan himbauan yang mengharapkan. Dan bayi harus
disambut dengan ucapan kaum sekeliling, “Selamat datang, Sahabat mungil!”
Sebab kendati si Bayi belum mampu paham lewat
pikiran dan panca indra, akan tetapi dia telah mampu untuk merasa dengan galihrasa. Bayi
menangis bila malam-malam maling datang; bila orang tuanya gelisah atau cekcok;
bila merasa diemohi. Jangan terlalu ingin mengatur. Akhirnya keduanya sepakat.
Gubuk atau istana, yang penting adalah suasananya.
Namun rupa-rupanya si calon anak Duku-Slamet ini
adalah hembusan napas Batara Bayu Telukcikal, yang merdeka sesukanya menggiring
awan-awan pembawa rahmat hujan. Tiba-tiba Duku merasa terdorong sangat kuat
untuk berziarah ke muara Sungai Opak, ke tempat pujaannya Rara Mendut bersama
kekasihnya dijemput oleh gelombang-gelombang samudra untuk diantar ke alam
abadi. Haruslah, anaknya harus ia mintakan bayu jatidiri dan citradiri mirip
Rara Mendut jika perempuan, dan mirip Pranacitra bila lelaki. Harus, harus.
Begitu kuat ngidam-nya itu, sampai Bendara Eyang mengizinkan
dia bersama Slamet pergi berziarah.
Maka berangkatlah Duku dan Slamet; istrinya
menunggang kuda cebol kore, dan Slamet cukup berjalan kaki.
Tidak, mereka tidak mau diantar maupun dikawal. Pasrah sumarah, itu jauh lebih
bermakna.
Dengan mata berlinang Bendara Pahitmadu
memandang dua muda tersayang itu menjauh ke arah timur menyusur pantai. Sudah
hamil tua, hampir saatnya, ada-ada saja gagasan si Duku itu. Semoga selamatlah.
Bukan abdi jenis biasa mereka, asal tahu itu. Namup apa sebenarnya yang membuat
Bendara Eyang terharu? Hanya beliau yang tahu: Duku ini kok tepat dengan apa
yang Eyang Pahitmadu cita-citakan sendiri nun dulu ketika masih semuda Duku.
Hanya kesempatan tak ada. Tidak ada atau kurang diadakan? Kembali ke dalam
ruang tidurnya, Bendara Eyang menangis. Seperti ada pucuk keris yang
menggoret-goret dalam hatinya, keris penyesalan. Kurang beranikah Pahitmadu
dulu? Terlalu ragu-ragu lalu hanya menunggu dan menunggu tanpa berbuat sesuatu?
Rara Mendut dan si Genduk Duku tidak menunggu. Mereka merebut kesempatan. Ah,
akan beliau anugerahi warisan si Duku dan Slamet ini bila sudah saatnya beliau
pulang ke Samudra Abadi. Sebab tanpa mereka sadari, hiburan berharga telah
mereka sumbangkan kepada insan setua Pahitmadu, citra yang hidup dari cita-cita
lampau yang tak pernah tercapai namun tak pernah hilang pula dalam lubuk kalbu
terdalamnya, citra wanita perebut nasib.
Tersenyumlah Eyang penuh damai serta syukur. Ya,
ya, Duku telah mengilhaminya dengan suatu keputusan hati yang baru. Ya, ya,
itulah yang akan Pahitmadu kehendaki, kehendaki terakhir. Tidak jadi beliau
ingin dikubur di pemakaman keluarga yang sudah lama beliau bangun-siapkan di suatu
bukit berpemandangan indah di dekat Imogiri. Tidak jadi, Pahitmadu ingin
dilarung saja, dilabuh dikembalikan ke Samudra Raya, lambang keabadian yang
tak terhingga.
“Mbok Kapti, tolong panggilkan Ki
Sastrasudarma.”
“Nun inggih,[1]) Bendara Eyang.”
Ki Sastrasudarma adalah carik-dalem,[2]) bendahara
punggawa surat-surat berharga dan khotib puri, penjaga harta Bendara Eyang
Pahitmadu.
Ombak-ombak berbuih yang datang susul-menyusul
menderu-derukan gelora nilai-nilai termulia dalam dua insan kecil yang
seolah-olah hilang duduk bersila di tengah padang pasir pantai muara Sungai
Opak; gelora kemerdekaan, ‘warta perpaduan air dan angin yang bebas melompati
kalangan-kalangan cakrawala. Bukan dua, tetapi tiga insan sebetulnya. Hanya
satu masih tiduran melayang-layang dalam air rahim. Tidur, tetapi bangun
sebenarnya. Bangun melewati pusar pemersatu dengan ibunya yang pada saat itu
sedang bergetar oleh haru yang menggelombang dahsyat pula. Seiring tarian ombak
laut di mukanya, yang tak henti-henti menyanyikan pujaan dan himbauan
tentang Sangkan-Paran,[3]) tentang Lakuning
Ngaurip, [4]) dan
tentang Marga Jati.
Duh jala balatantra turangga jaya, jejogedan
ing jaladri jiwa janma. Duh jalantara jamang jamang jingga Jatayuning
Jaypngpati! Sukmamba sesuci sujud semedi: Sinten ta sinten Sang Sejati?
Sinten ta stnten sang Sumber sururini, sarining sengsem sarining sih.[5])
Menjelang senja Duku merasakan gua garba-nya
bertanggap untuk pertama kali atas desakan gelora hidup makhluk baru dalam
dirinya yang merasa siap untuk meninggalkan pertapaannya, menempuh hidup di
luar, serba tantangan namun penuh keasyikan juga. Tiba-tiba Duku merasa diri
sangat lelah lunglai. Ia minta istirahat saja sepanjang malam di pasir pantai.
Tentulah Slamet sangat prihatin mendengar permintaan itu. Pantai muara Sungai
Opak memang bukan lagi rimba buas seperti sisa-sisa Hutan Mentaok. Bahkan agak
ke hulu sungai, Susuhunan Mataram memiliki pesanggrahan bagus di Gading, tempat
beliau beristirahat dan bersenang-senang selama berminggu-minggu pesta
perburuan di wilayah Mataram Selatan yang kaya rusa, kijang, kancil, dan
binatang-binatang mangsa, bagus bagi olahraga perburuan kaum istana. Namun
Slamet harus berjaga-jaga terhadap ular beracun dan terutama gangguan
anjing-anjing ajag yang masih berkeliaran bergerombol dari
darat maupun buaya dari hilir. Apalagi dengan keadaan istrinya yang
rupa-rupanya sial sekali justru di pantai sepi ini-merasa saat bersalin tiba.
Sebab tidak jarang terjadi ibu dan bayinya dikeroyok anjing-anjing galak itu,
setelah penciuman mereka yang tajam menangkap bau darah sedikit saja.
Sial? Apakah malapetaka bila si anak sulung
lahir di kandang langit berselimut awan-awan? Terlindung tenunan sinar bulan
menjelang purnama, dlemok-cung[6]) bintang-bintang
berlian? Dengan iringan seni bunyi dahsyat ombak-ombak samudra dan angin
pembawa warta wahyu? Duku sungguh tidak mau melelahkan diri berjalan ke desa
terdekat yang masih jauh, dan bertekad bulat menyambut si mungilnya di pantai
saja. Jelaslah bukan hanya letih lesu tubuhnya saja yang menjadi alasannya,
tetapi’ ya apalagi, selain gagasan mendapat panggilan dari dalam untuk menjalin
ikatan antara tempat meninggal pahlawan hatinya-Mendut dengan tempat lahir anak
sulungnya. Peristiwa kelahiran anak manusia dari pangkuan ibunya bukan perkara
baru dan menakutkan bagi si Duku yang sudah berkali-kali melihat dan ikut
menolong kaum sejenisnya bersalin. Tetapi untuk Slamet, keharusan untuk menjadi
bidan istrinya sendiri tentulah penuh pertanyaan dan ketegangan.
Baiklah, setiap saat atau peristiwa seyogyanya
dinilai selaku hikmah. Akan ia dampingi sendiri belahan jiwanya yang pemberani
penuh keyakinan diri ini. Dan lagi, bukankah tempat serba menyatu dengan alam
raya dan saat seindah ini jauh lebih mulia maknanya daripada yang dirancang
semula? Air asin selaku air melawan kebusukan tersedia berlimpah, pelita bulan
dan ranjang pasir empuk telah siap untuk dipakai. Minta apa lagi? Untuk
menghalau binatang-binatang yang tak diinginkan Slamet menyalakan api unggun di
dekat istrinya terbaring. Tinggal menunggu dan mendampinginya, meneguhkan
semangatnya dan memanjatkan doa. Semalam larut, dan Duku masih bergulat.
Akhirnya sangat dini pagi, pada saat ayam-ayam pertama
berkokok meluncurlah si Mungil ke dalam kedua mangkok tangan ayahnya dengan
selamat. Alam-dalam yang terbuai ayunan serba aman ditukar dengan jagad
janaloka[7]) penuh
ancaman. Tahukah apa yang kaulakukan ini? tanya Slamet kepada si bayi yang… yah
ternyata bersih mulus licin tanpa jambu mete di pangkal pahanya. Tetapi tangis
pertamanya sama sekali tidak lirih luruh. Mencuatlah pekik
ikrar si Srikandi kecil.
[1] Ya, hamba taat.
[2] pegawai pribadi
[3] asal mula dan
tujuan kehidupan
[4] perjalanan hidup
[5] O, air, bagaikan
pasukan-pasukan berkuda yang jaya menari-nari dalam lautan jiwa manusia. O,
jembatan laut dengan mahkota-mahkota merah jingga yang menjadi garuda Jatayu
kendaraan Sang Pemenang Maut! Jiwaku membersihkan diri bersujud merenung:
Siapakah gerangan Yang Sejati? Siapakah gerangan Sang Sumber Perantara anak
mungil, sari dari kenikmatan ketentraman cinta?
[6] sedikit di sini
sedikit di sana
[7] dunia tempat
manusia
Hampir dua
musim Duku dan Slamet mengabdi dalam puri Bendara Eyang Pahitmadu. Kemudian
pindah ke Bangkawa-Kulon. Berkat pertolongan Putri Arumardi yang mengerti,
betapa sesak terkurung hati sahabatnya, dan dengan penggunaan dalih, mendesak
sangat dibutuhkan di pesanggrahan Bangkawa Kulon, suami-istri yang berbahagia
dengan bayi mereka, dapat menghirup lagi udara bebas. Memang bukan dusta bila
Putri Arumardi mengatakan kepada kakak ipar tua bahwa di Kutanegara beliau
terlalu sering sakit, dan bahwa Tumenggung Wiraguna sendirilah yang
menyarankannya agar beristirahat tuntas di pesanggrahan tepi pantai yang bebas
dari bermacam-macam upacara dan adat kerajaan kalangan istana. Apalagi karena
kakek-nenek jurukunci sejak peristiwa penculikan Putri Tejarukmi dulu itu
sering bingung ketakutan. Maka jadilah sang ayah dan ibu muda itu menikmati
lagi rumah pantai yang menjamin kebutuhan jiwa merdeka mereka. Tetapi yang
menghasratkan kemerdekaan bukan hanya Duku dan Slamet. Tidak lama sesudah
peristiwa penculikan Putri Tejarukmi, dikirimlah oleh pimpinan balatentara
Mataram, serombongan tawanan Peose ke Jagabaya. Sebagian besar tergolong mereka
yang ditawan di Jepara dulu itu, sehingga sebagian sudah dikenal oleh Duku dan
Slamet. Pada permulaannya mereka dibelenggu tangan leher, dan mendapat makan
dari penghasilan bea-cukai gerbang Jagabaya. Tetapi gerbang negara Jagabaya
lain nasibnya dibanding dengan Trunyam atau Taji yang kotak bea-cukainya selalu
berisi logam berat. Jagabaya tak seramai dua gerbang negara di utara dan timur.
Maka atas kebijaksanaan petinggi pemegang panji, mereka tetap dirantai
tangan-kakinya, tetapi dengan leher: bebas belenggu. Lebih mujur lagi mereka
kemudian dilepas dari segala rantai juga dan boleh keluyuran ke mana-mana,
asal saja nafkah mencari sendiri.
Segera di
pasar Jagabaya, Duku mengenal kembali sahabat lama Yos Pestih dan Yanuring
beserta Karel. Ah, Karel, betapa cepat tumbuh anak ini! Walaupun secara resmi
pergaulan tawanan dengan penduduk asli dilarang, sehingga mereka biasanya hanya
dapat akrab dengan kaum Cina yang selalu ada di mana-mana, akan tetapi nyatanya
cukup baiklah orang-orang desa bergaul dengan mereka. Hubungan surat dan
kiriman barang dengan pemerintah mereka di Betawi pun diperbolehkan ulang-alik
oleh Susuhunan; dan karena itulah mereka menjadi penyalur apiun dan barang
mewah yang digemari para penduduk, teristimewa para ningrat dan punggawa.
Pada suatu
pagi Pestih dengan Karel mendekati Slamet yang sedang menjahit layar perahunya
yang robek. Karel diajak Duku ke dapur untuk diberi kue nagasari[1]) masakan
si Duku sendiri.
“Karel akan ke
Mama,” ujar bocah itu berbisik-bisik kepada Duku yang masih diingatnya dari
Taji, “tapi jangan diceritakan,” pesannya bergaya misterius. “Nanti Karel digebugi Ayah.”
“Mama datang?”
tanya Duku heran.
“Ssst! Tidak.”
Dan Karel langsung berbisik ke dalam telinga Duku, “Karel pulang ke Betawi.”
“Ah, omong
kosong,” tawa Duku sambil menguleg sambal
trasi sekaligus menguleg omongan si Anak.
“Sungguh!”
tegas si Bocah lagi. “Tetapi jangan diomongkan.”
“Tidak,” janji
Duku basa-basi-bawang-trasi.
“Kau suka
Mama?” tanya Duku tergerak iba hati.
“Mama masak
enak kue,” ceritanya. “Tetapi Karel sering dipukul”
“Karena makan
kue tanpa minta izin?”
“Kalau tidak
ada Mama, Karel lapar,” tukas Karel tanpa menggubris pertanyaan.
“Oh, kasihan,”
seru Duku sambil merangkul anak malang itu hanya dengan pandangan sayu, karena
tangannya masih sibuk dengan cabe pedas. Mengapa anak tak bersalah harus
ditimpa hukuman kaum dewasa? Anak kan bukan cuma cabe atau trasi yang boleh
digilas begitu saja.
“Kau ingin
pulang ke Mama?” tanya Duku
Anak itu
mengangguk.
Berlinang-linang
Duku memandang Karel yang lahap sekali makan nigasari dan apa pun yang
kelihatan masih tersisa dari paga.[2]) Di
luar suaminya masih asyik berbincang dengan Pestih. Rupa-rupanya ada
sesuatu yang serius
dalam percakapan mereka, sebab berkali-kali suaminya menoleh dan melihat ke
segala arah, seolah-olah takut ada seseorang yang ikut mendengarkan. Tetapi
gagasan Duku lebih melayang ke ibu si Karel itu. Sedang apa wanita memelas itu
sekarang? Berdoa agar suami dan anaknya lekas bebas pulang, tentunya. Duku
belum pernah melihat wanita bule. Konon besar tegak tubuh mereka, sepasang
payudara seperti buah-buah waluh, rambut jagung dan kulit genjik. Alangkah lucunya
atau bahkan buruk. Seperti raksasi. Tetapi
tentulah cinta mereka pada anak seperti wanita Mataram juga.
“Masih suka
makanan lagi?” tanyanya pada Karel. Karel menggelengkan kepala.
“Enak!”
komentarnya. Membongkoklah ia di muka Duku, hormat kaku, lucu tak sengaja.
“Terima
kasih,” katanya kaku. Lalu ia lari ke ayahnya.
“He he, sini!”
teriak Duku dari belakangnya. “Ini dibawa”.
Dan
diisinya kreneng[3]) bambu
dengan sawo-sawo kecik yang
baru diimbu sampai
sebentar lagi matang; tambah kedondong sampai penuh. Pestih menyuruh Karel
kembali ke istri Slamet. Malu-malu ia menerima kreneng berat itu dari Duku.
Dirangkullah
spontan si Anak oleh Duku dan diciumnya di pipi. Karel hanya diam kaku menerima
ucapan sayang dari wanita manis di mukanya. Duku menunjuk kepada dadanya
sendiri sambil tersenyum, “Duku, Embok Duku Mama, ya?” Karel tak menjawab dan
pergi terlarilah lagi ia ke ayahnya.
Di waktu makan
Duku masih mengungkit lagi soal Karel yang rindu kepada mamanya.
“O, ya?” tanya
Slamet seolah-olah heran. Tetapi ia tak bertanggap ingin bercakap mengenai
Karel atau ayahnya selain, “Ya, dapat dimengerti.”
Dalam gubuk
tersembunyi jauh di tengah kebun ketela lebat, di ranjang asmara siang, karena
bagi nelayan waktu malam adalah waktu kerja, Slamet serba diam. Duku pun merasa
suaminya ingin diam. Namun pada hari-hari berikutnya Slamet tampak lebih murung
dan gelisah. Memang suami Duku itu pendiam perangainya, walaupun kadang-kadang
bila percakapan menyentuh perkara yang sedang asyik ia gumuli, Slamet bisa
asyik berbincang-bincang. Namun hari-hari terakhir ini, sejak kunjungan Pestih
itu, Slamet lebih diam dari biasanya. Biarlah, dia tentunya sedang punya soal.
Kalau merasa perlu, pastilah nanti dia akan bicara sendiri. Hidup sudah penuh
soal. Khususnya akibat datangnya si Bayi mungil. Tetapi kalau ini, si Gendon-cemplon,[4]) nah
ini soal yang manis. Jadilah yang sudah disepakati, si sulung diberi nama Lusi,
‘lepas dari bahaya’ artinya. Kembalilah si Duku terkenang pada si Karel, pada
ibunya… ah, ikrar, ikrar mengental dalam hati: sepahit-pahit nasib, aja nggresula![5]) Dibanding
dengan ibu si Karel, Duku masih di firdaus.
Beberapa hari
Slamet hanya membawa hasil laut ikan tongkol. Sudah, hanya itu. Tidak lebih
dari lima ekor. Biasanya sampannya yang kecil nyaris tenggelam karena penuh
dimuati hasil penangkapan semalam suntuk, dari saat matahari di paroh busur
angkasa barat sampai dengan saat matahari di paroh busur angkasa timur.
“Sakit kau,
Mas?” tanya istrinya prihatin.
“Sakit sih
tidak,” jawab Slamet tenang, “tetapi prihatin.”
“Lho, ada apa
ta? Kau akhir-akhir im seperti lesu atau linglung. Mungkin saya yang salah, Mas,”
“Kok, kau.
Salah apa, kau?”
“Barangkali…
barangkali. Duku terlalu pemalas. (Kapan kau pemalas?) Bukan itu… anu, kurang
melayani Kamajaya. Habis si Lusi menuntut perhatian sangat banyak. Maaf ya,
Mas.”
“Ah itu…
sudahlah jangan dipikir. Tak ada sangkut-pautnya dengan si Bayi atau ibunya.”
“Tetapi Mas
kelihatan sangat gelisah akhir-akhir ini.”
“Esok saya
ceritakan.”
Semakin
teganglah hati Duku. Jadi toh ada sesuatu yang perlu diceritakan. Esok. Jelas
hal yang tidak biasa. Apa ada hubungannya dengan yang dicakapkan bersama ayah
si Karel itu? Oh iya, apa yang dikatakan Karel dalam segala kesederhanaan dan
spontanitas anak?
Siang hari itu
panas terik. Burung-burung maupun ayam segan bersuara. Tetapi di ranjang kebun
ketela, Slamet bercerita bahwa ia sedang melibatkan diri menolong para tawanan
Holan itu untuk melarikan diri.
“Kita akan
dibunuh Susuhunan kalau ketahuan,” bisik Duku terkejut gemetar.
“Tidak mungkin
ketahuan,” ujar Slamet tegas.
“Bagaimana
nanti nasib bayi kita kalau ada apa-apa?” tanya lagi Duku mendesak.
“Lusi aman
damai di pangkuanmu.”
“Kau main api
berbahaya, Mas.”
“Kita selama
ini di tengah api,” ujar lurus lagi suaminya, “apa bedanya?”
“Ya, kau
betul, Mas, setiap saat Den Mas Jibus dapat saja menghantamkan balas dendamnya
kepada kita.” Itu harus diakui oleh Duku juga. “Tetapi… (napasnya ngos-ngosan.) Apa ta yang
akan kaulakukan, Mas?”
“Sama sekali
tidak berbahaya. Hanya mengisi batang-batang bambu dengan air manis, dan,
meletakkan itu di suatu tempat.”
“Oh, untuk
bekal? Apa mereka ingin lari melalui laut?” terka Duku cerdas.
“Perahu-perahu
akan mereka rampas. Tali dan layar rosokan juga sudah mereka siapkan.”
“Bawa beras?”
“Cukuplah
persediaan ketela, kata Pestih.”
“Karel ikut?”
“Tentu saja.”
“Anak itu
berbahaya,” bisik Duku. “Bisa bocor rahasia mereka.”
“Ya, itulah
kayuh mereka yang paling lemah. Seharusnya Karel tidak diberi tahu. Maka lebih
baik lekas-lekas saja mereka pergi.”
“Banyak yang
ikut?”
“Rupa-rupanya
semua.”
Diamlah Duku.
Suaminya sungguh main mesiu di dalam bengkel pandai besi. Tetapi tidak salah
pendapatnya. Kapan Slamet dan Duku tidak dalam bahaya? Tiba-tiba dilepaskannya
suaminya dan tangannya -meraih bayi yang masih nyenyak berbaring dekat di sudut
ranjang. Betul, sungguh betul. Seandainya Lusi ini Karel, akan samalah
keberanian dan keputusan untuk menempuh bahaya apa pun demi pembebasan si Lusi
ini. Terharulah hati si ibu, namun juga si murid Mendut. Sungguh satu selera si
Duku dengan Mas Slamet. Dilepaskannya si Lusi yang kembali nikmat berkepompong
damai. Lalu kembali dipeluknya erat-erat suaminya. Slamet, Slamet, kebanggaan
Duku! Biar! Ya, biar Sri Susuhunan bermusuhan dengan Kapten Mur J endral si
raksasa berambut jagung dari Betawi, tetapi Karel dan Pestih dan teman-temannya
tetap Karel dan Pestih dan siapa-apa-adanya mereka. Karel pun dapat diberi
sebutan Lusi juga.
“Sungguh tak
membahayakan dirimu, Mas?” tanya lagi Duku, toh masih khawatir.
“Sama sekali
tidak. Percayalah. (Ya, percaya sih percaya, tetapi…) Siapa yang akan
mencurigai orang menebang bambu di tengah hutan. Lagi, tempat peletakan
persediaan air dalam bambu itu jauh dari tempat perahu-perahu yang akan mereka
rampas. Dan pada saat mereka melarikan diri, aku sudah akan jauh, cari ikan
seperti biasanya setiap malam.”
Diamlah lama
kemudian kedua orang itu, tidur hangat berdampingan. Duku menjamah lagi si
Kepompong, dan di bawah sinar matahari yang bergerak serba gelisah terhalang
dedaunan; tampaklah kontras wajah serba puas si Mungil seperti makhluk gaib
yang seolah-olah bukan dari jagad Ngarcapada ini.
Siapakah si Lusi kecil ini? Menakjubkan sebetulnya jika dibelai-belai
pertanyaan itu. Dua orang insan dewasa saling kelonan. Maka datanglah si Kecil.
Untuk apa? Menderita? Perempuan lagi. Untuk apa dia, yang di hari kelak akan
bergilir melahirkan makhluk-makhluk mungil baru seperti ini lagi? Sinten ta sinten risang sari sengsem
suruning sih?[6]) Slamet
bangun, melihat istrinya, dan ikut-ikutan menikmati bayi mereka. Tetapi ia
tidak menjamahnya. Hanya memandang dan memandang saja.
“Kau tidak
takut disebut berkhianat kepada Raja?” tanya Duku asih belum puas.
“Berkhianat
kepada kaum yang merampas Mendut sehingga Kakek Siwa meninggal ngenes[7]) karena
sedihnya? Berkhianat kepada mereka yang memaksa kita menjadi budak pembawa barang
dari Jepara sampai kemari ini? Kau merasa diri ikut berkhianat?”
“Tidak,” jawab
Duku sambil manja menidurkan kepalanya ke dalam pangkuan suaminya, satu tangan
memegang bayinya.
“Tempat Karel
ada di pangkuan ibunya. Tidak di Jagabaya di antara serdadu-serdadu.”
“Hanya… pasti
akan terkena malapetaka nanti Den Bei Jagasura.”
“Kenapa?”
“Dia
mengizinkan tawanan-tawanan berjalan bebas-sudah dua pekan ini bahkan tanpa
rantai.”
“Kan istana
tahu, mereka tidak kuat membiayai perut tawanan-tawanan itu dari peti bea-cukai
gerbang negara.”
“Sebetulnya
mampu juga,.” Dan nada Slamet terdengar mengejek. “Mampu kalau mereka mau.
Tetapi kan itu mengurangi berat pundi-pundi pribadi mereka. Itulah… ya, memang
begitu selalu: ada tikus ada lubang. Den Bei Jagasura sebaiknya membagi warisan
sekarang saja.”
“Ah, bagaimana
lalu istri-istri dan anak-anaknya? Pasti ikut dihukum mati semua nanti.”
“Pasti!”
“Apa kita
tidak ikut bersalah?”
“Tidak!” jawab
Slamet tegas. “Bersalahlah Slamet justru bila Slamet-mu acuh tak acuh. Para tawanan
rambut jagung itu dan kita berdua, ah bertiga dengan Lusi sebenarnya, senasib.
Kita dulu kan ingin pergi ke Tegal. Tidak ke Mataram Pantai Selatan ini. Tahu
kau, apa yang Pestih katakan? Bahasa kaum pelaut bagus: Siapa menabur angin,
siaplah menuai badai taufan. Begitu dia.”
“Dalam badai,
lagi-lagi kita kaum kecil yang menjadi korban.”
“Kalau kita
kali ini jadi korban, silakan,” kata Slamet tegas. ‘ Jer basuki mawa beya.[8]) Bahaya
akan menjadi korban demi kemerdekaan sahabat yang juga berhak merdeka, cukuplah
mulia untuk dipertaruhkan.” Sangat erat dirangkullah pinggang suaminya, kepala
masih di pangkuan Slamet, tetapi mata memandang ke bayi.
“Aku satu hati
denganmu, Mas. Hanya bagaimana dengan Lusi kita? Dia semungil, selunak ini.
Apakah kita berhak….”
Mogoklah mulut
Duku. Takut dan berani, sedih dan suka, derita dan bahagia, bangga dan
ragu-ragu, tahu dan tidak tahu, semua itu saling bertubrukan dalam medan laga
jiwanya. Begitu juga Slamet. Orang dewasa dapat berujar dan berajar apa pun,
dan bahasa tombak melawan perisai bisa bergemuruh dahsyat seolah-olah hanya
bising ulah senjatalah yang paling nyaring di bumi, akan tetapi di muka bayi
mungil-kunyil yang nyenyak tidur pulas puas, siapa pun hanya akan dapat diam.
Sang anak, ya sang anak-lah sebenarnya ratuning
jagad.
Disekanya
tubuh telanjang istrinya. Kulit wanita ini terasa selalu lain pada setiap kali
Slamet ber-kamaratih.
Siter sengsemnya masih saja menggetarkan takjubnya. Betapa
halus empuk seperti anaklah kulit istrinya. Punggung, pantat, pipi, paha,
payudara, semua serba lawan dari kekerasan, kealotan, kekhianatan. Selalu
begitukah kulit daging wanita? Kawan dari kehalusan, sahabat yang menawarkan
kenikmatan serba rela, gema hidup yang mendagingkan janji tentang dunia damai
dan citra yang mengajak bermain mesra dan joli jumbuh. Pembangkit damba persahabatan
memang ternyata si anak bila sedang melengket pada buah-buah penjamin
kehidupannya. Pujaan dan sesaji kepada Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih dari
kaum bojo. Akan
tetapi siapa merasa perlu meminta nasihat kepada sang buah, si anak? Berhakkah
Slamet dan Duku berbuat sesuatu yang tidak bebas bahaya tanpa minta izin dahulu
kepada Lusi? Gagasan yang aneh. Mana ada orang tua minta izin kepada anak,
lebih lagi bayi. Tetapi istrinya insan perempuan, dan perempuan bagaimanapun
memang lebih dekat dengan si buah rahim. Apa yang terlonjak dari perasaan
istrinya tadi membuat Slamet ragu-ragu. Aneh, sungguh aneh, bagaimana anak,
tanpa omong sepatah kata pun, bahkan cuma dengan tidur dan buang air, sering
mampu mengguncangkan segala perbincangan dan keputusan kaum dewasa.
Terserahlah, jaring sudah terlempar. Tinggal menunggu malam tanpa bulan. Semoga
Karel dapat lolos. Lainnya boleh ditembak mampus oleh para penjaga di
Watukara, cakruk[9])balatentara
paling ujung di muara Sungai Bagawanta itu, tetapi asal saja Karel bisa bebas.
Jangan! Apa arti kemerdekaan Karel dengan mayat ayahnya sebagai kasur?
Menang dan kalah, siapa sebetulnya yang mengaturnya?
Lusi bangun
dan mulai bersiasat menangis. Ah, bayi sangat peka. Maka jangan berpikir dan
berbuat yang menggelisah-kan. Makhluk mungil ini merasa. Duku menidurkan diri
di samping anaknya, dan menawarkan putik kepadanya. Berhentilah si Kecil
menuntut. Tiba-tiba Slamet tertembak oleh pertanyaan tajam seperti tombak
bermata warangan: Bagaimana rupa si Raden Mas Jibus dulu ketika masih bayi?
Boleh jadi bukan putik ibunya sendiri yang ia isap dulu. Boleh jadi. Sebab Ratu
Ayu dari Batang itu terkenal selaku putri perdamaian yang arif. Tetapi konon
susu-susu ibunya merasa diri terlalu ningrat untuk berisi dan diisapi seperti
sapi. Ah, jangan memikir tentang Raden Mas Jibus.
“Lusi, Lusi,
kau ratu peneguh Slamet dan Duku!”
[1] kue rebusan tepung
beras yang diisi dengan irisan pisang raja/kepok
[2] tempat penyimpanan
periuk belanga di dapur
[3] keranjang kecil
[4] sebutan kesayangan
untuk bayi
[5] jangan menggerutu
[6] Siapakah gerangan
sang sari cinta dan perantara kesayangan?
[7] sedih, lunglai
[8] Sebab, segala
kesejahteraan menuntur korban.
[9] pos penjagaan
Malam yang
taat irama. Tak berbulan. Akan tetapi sepasang mata milik Slamet, yang sudah
terlatih menembus kegelapan hanya dengan cahaya kunang-kunang angkasa, dari
kejauhan dapat melihat beberapa ulat gelap menodai bidang lebar muara Sungai
Bagawanta. Sejak berangkat siang tadi ia sengaja merapat pada rekan-rekan
nelayan lain dalam usaha mencari ikan. Sengaja pula, sesudah sinar-sinar
matahari terakhir meninggalkan pameran bulu-bulu kencana di ufuk barat, ia
berteriak kepada kawan-kawannya, bahwa ia ingin mencari untung di sekitar muara
Sungai Praga, jauh di arah timur. Tetapi sesudah air pasang mereda, Slamet
membalik dan diam-diam sendirian berjaga lagi di sekitar muara Sungai
Bagawanta. Dan benarlah, ternyata mereka datang, hampir tak kelihatan bagi mata
yang tak terbiasa menembus kegelapan malam. Slamet masih bertanya prihatin
dalam hati, apakah orang-orang bule yang lemah jasmani sesudah empat tahun
dibelenggu itu masih akan mampu melawan gelombang-gelombang yang merupakan
barisan-barisan balatentara pengawal pantai yang serba gigih? Tetapi mereka
semua adalah pelaut-pelaut ulung yang sudah berpengalaman menantang samudra-samudra
raya antarbenua. Untuk apa sebenarnya Slamet berjaga di situ? Jujur diakui:
hanya ingin tahu, ingin melihat sesuatu yang memuaskan hatinya. Sebentuk balas
dendam, kesenangan melihat si lawan dikalahkan oleh manusia senasib. Yang
terang, jiwanya terdorong kuat dari dalam untuk hadir di dalam medan laga. Dan
siapa tahu, barangkali ia dapat menolong apabila ada sesuatu yang tak
diharapkan terjadi.
Praduga Slamet
tepat. Tak semudah yang diperkirakan, ternyata pergulatan menembus
barisan-barisan gelombang yang fanatik tanpa ampun melempar kembali segala-gala
yang ingin menembus dinding-gulung laut. Serangan-serangan gencar ombak-ombak
yang rapat gulung-menggulung bergantian menghalangi setiap usaha penerobosan.
Setiap kali sampan-sampan itu maju sekayuhan, mereka dilempar mundur tiga-lima
kayuhan. Padahal waktu sangat cepat larut di setiap medan pertempuran yang
tegang. Dapatkah mereka lolos sebelum pos-pos penjagaan menaruh curiga? tanya
diri Slamet. Lebih dari dua puluh orang dalam hanya tiga sampan kecil. Dan
Karel? Bagaimana rasanya bagi seorang anak yang mengalami pergulatan sedahsyat
itu? Berbahagialah kau, Karel, yang dalam umur anak-anak hijaumu sudah
mengalami perjuangan yang pasti menggemblengmu dalam kawah Candradimuka.
Akan otot kawat balung
wesi kau, Karel kecil! Ya, Duku boleh berlinang merasa kasihan
melihat manusia seumur anak seperti Karel itu, yang sudah harus mengalami
segala kepahitan kaum dewasa.
Tetapi Slamet,
nelayan sahabat gelombang dan kawan angin taufan, nyaris iri hati melihat
pengalaman si Karel yang menggetarkan itu.
Ah, terhempas
mundur lagi mereka. Rupanya Laut Selatan lain dari Laut Utara sana. Sudah
empat-lima kali mereka tuntas memelototkan daya kayuh, satu kali memang
terobosan berhasil, tetapi tak tersangka datang lagi sebarisan gelombang yang
menyerbu seru-menghempaskan segala dengan gebukan amarah. Sebentar lagi perahu
satu itu seolah terombang-ambing lesu putus asa. Ah, jangan! Rugi besar. Sudah
terlanjur begitu basah beberapa orang kok malahan meloncat dari perahu dan
berusaha berenang ke pantai. Rugi dan gila! Mengapa tidak diteruskan… aah,
tiba-tiba dalam posisi gerak gelombang yang menguntungkan, satu-dua, perahu
berhasil lolos, ya berhasil menembus jalur wilayah berbahaya. Bersoraksorailah
hati Slamet yang dari kejauhan menjadi saksi utama dari ikhtiar yang begitu
jantan demi pelepasan belenggu yang lebih hina daripada belenggu bajak-garu si kerbau.
Tetapi satu
sampan sial terguling tidak dapat melawan keganasan gelombang. Bagaikan semut
yang tak mau melepaskan kecoak, orang-orangnya tetap melekat pada perahu.
Berhasil, ah berhasil, mereka menelentangkan kembali mangkuk penyelamat mereka
dan, bergantian masuk lagi dalam sampan yang serba berguncang. Sungguh
pelaut-pelaut ulung orang-orang ini. Tetapi aduh, lagi ya lagi sampan yang
sarat muatan dan terlalu kecil itu tergulung menelungkup lagi. Percumalah bila
orang lain mau menolong mereka. Dari pengalaman Slamet tahu, hanya si penumpang
sendirilah yang dalam keadaan seperti itu dapat menolong diri sendiri. Berhasil
lagi mereka. Tetapi sementara itu balatentara gelombang telah mengundurkan
mereka lebih mendekat lagi ke pantai. Terlalu banyak, pikir Slamet, terlalu
banyak muatannya. Beberapa bintik gelap kelihatan berenang ke pantai. Putus
asa? Dapat dipahami. Tetapi sudah ada dua biduk tadi yang berhasil lolos dari
terkaman ombak-ombak pantai itu. Masih satu, ya tinggal satu yang sial itu, dan
yang rupa-rupanya… Ayo
gombloh-gombloh,[1]) jangan
patah semangat. Ya… ya,
ya, berhasil mereka. Horee, berhasil. Memang terlalu banyak
muatan itu tadi. Begitulah dalam medan laga: ada yang menang dan ada yang
gugur. Akan tetapi lebih celaka lagi nasib mereka yang harus kembali ke darat.
Itu pun seandainya beruntung sampai di darat. Karel ikut sampan yang mana?
Cepat-cepat
Slamet menuju ke timur, menjauh dari muara Sungai Bagawanta karena tiba-tiba ia
melihat ufuk timur semakin terang. Duku sudah tahu, boleh jadi hari itu ia tak
pulang. Pura-pura setor ikan langsung ke Puri Pahitmadu.
Pagi
berikutnya di pasar Jagabaya orang-orang, lebih lagi anak-anak, dengan
bola-bola mata membelalak menggelinding tetapi mulut diam melompong menonton
pameran tawanan-tawanan yang sial basah kuyup tadi malam diikat kaki dan
tangan, belenggu balok kayu besar di leher, ditambatkan pada pohon-pohon waru
di tepi jalan. Bunyi teriak sakit dan mohon ampun menggaung di udara,
mengiringi sepak dan hantam aniaya dari para prajurit. Orang-orang malang itu
seperti onggokan-onggokan daging sapi segar yang baru dibantai. Tidak hanya di
lapangan pasar datang bising tangis dan teriak. Dari dalem utama berpendapa
yang paling terhormat pun, dengan pohon beringin di muka, terdengar teriakan
dan jeritan menyayat. Seluruh desa Jagabaya tahu, bahwa sebentar lagi, sebelum
lohor, mereka akan menyaksikan datangnya pasukan khusus yang terpimpin
gandek-gandek istana, untuk tanpa ampun membunuh seluruh keluarga Den Bei
Jagasura dan bawahannya. Sudah ada beberapa prajurit pasukan lama yang
melarikan diri ke arah Pagelen, bahkan ada yang merampas perahu penduduk dan
mencoba menyelamatkan diri melalui laut.
Den Bei
Jagasura sendiri, dengan pasukan yang masih setia, secara agung menunggu saat
riwayatnya habis di ruang dalam rumahnya, menghadap ke selatan, bersemadi dan
bermantra-mantra. Istri-istrinya sebagian ikut dengannya, terisak-isak tak
dapat menahan perasaan. Selebihnya, di gandok, di dapur, di kandang kuda,
orang-orang dan anak-anak seperti gila hanya menjerit dan menangis, mohon ampun
lari kian kemari tidak tahu mau apa. Hanya seorang nenek tua yang tenang
menyuapkan nasi kepada anak kecil yang juga tenang tak paham tak peduli selain
makan nasi dengan kuning telur rebus yang lezat.
Para
teliksandi memang bekerja cepat. Secepat kuda terbang, berita telah disampaikan
kepada Panglima Besar di Wiragunan. Sepasukan algojo langsung diperintahkan
menyambar di Jagabaya. Sebelum matahari meraih tiga perempat busur ke
puncaknya, pembantaian telah tuntas. Semua penjaga, lengkap dengan istri-istri
dan anak-anak mereka telah dihabisi, menebus dengan darah dan nyawa pelalaian
tugas negara. Tetapi para tawanan Holan mereka bawa ke Mataram. Tiba-tiba sepi
mengerikan seluruh Jagabaya. Tak ada teriakan, tak ada tangis, tak ada
komando-komando dan bising maki-makian. Sepi yang mencekam menghentikan napas,
seolah-olah ada naga hitam lewat dan dunia berhenti bernyawa. Penduduk serba
diam melarungkan mayat-mayat di muara dan satu per satu mengungsi ke hulu
Sungai Bagawanta. Bagi mereka tak ada pilihan lain. Mencari tempat baru untuk
penghasilan nafkah, agak menjauh dari tempat sial yang menjadi angker itu. Diam
mereka menggendong benda-benda kebutuhan yang masih terbawa. Perabot rumah
ditinggalkan begitu saja, dan beriring-iring seperti ke pasar saja mereka
pergi, kaum tak mengerti, kaum yang selalu bernasib digendongi akibat.
Duku tidak
melihat semua kejadian itu, sebab pesanggrahan Bangkawa-Kulon terletak agak
jauh dari Jagabaya. Seorang nelayan sahabat membawa pesan kepada Duku, bahwa
Slamet jadi menyetor ikan ke Puri Pahitmadu. Dengan gemetar nelayan itu
bercerita, betapa kagetnya ia ketika pulang menemukan banjir darah di Jagabaya.
Mungkin dia juga akan pindah ke pantai lain, sebab istrinya sekarang serba
ketakutan. Atas pertanyaan Duku, nelayan itu berkata bahwa ia tidak melihat ada
sesuatu yang luar biasa malam itu. Hanya sepulang dari menangkap ikan, dia
heran wanita-wanita tetangga serba ribut membicarakan apa yang sebaiknya harus
mereka lakukan. Sebab pagi hari dini salah seorang perempuan pencari telur
penyu menemukan mayat seorang anak berkulit putih berambut jagung tertelungkup
di pantai. Mendengar itu Duku harus berpegangan tiang emperan agar tidak jatuh.
Di mana? Mungkin masih terserak di sana, kata nelayan itu. Tak ada yang berani
ke luar rumah. Seandainya tidak dipesan Slamet untuk membawakan berita kepada
Duku istrinya, si nelayan pun lebih suka bersembunyi di desa. Ada penduduk yang
dibunuh oleh pasukan gandek-gandek itu? Tidak ada, jawab nelayan itu. O, ada,
lurah kami sekeluarga, semua sacindile
abang pisan[2]) dibunuh.
Ya, begitulah. Tak habis mengerti, ia bernapas panjang. Berpangkat tinggi
susah, berpangkat rendah susah juga. Lebih baik tak berpangkat apa pun, hibur
Duku. Lebih susah lagi, gerutu sang nelayan. Tetapi mau apa. Setiap orang punya
saat masing-masing, katanya, entah yakin entah hanya untuk menghibur diri saja.
Karel, Karel! Oh, apa yang sedang menunggu Lusi?
Siang itu juga
Duku, dengan pengawalan beberapa orang prajurit dan dibantu beberapa nelayan,
mencari jenazah Karel. Tetapi segala pencarian sampai matahari terbenam tidak
berhasil menemukan mayat anak malang itu. Padahal menurut wanita penemunya pagi
tadi, mustahil khilaf, jelas siapa si korban. Jelas pula letak si anak itu
terdampar di pantai. Rupa-rupanya samudra telah mendahului berbelas kasih, dan
menjauhkan Karel dari dunia penuh kekejaman.
[1] pemuda bertubuh
besar tetapi tolol dungu
[2] dengan segala anak
tikus yang masih merah segala = komplit.
Lega keesokan
harinya Duku di pantai memandang ke layar putih kelabu, dengan dua petak
tambalan yang sangat
ia kenal itu, muncul dari kejauhan di atas buih-buih jaladri. Selamat datang.
Tetapi datang juga pesan yang kurang menggembirakan, Bendara Eyang Pahitmadu
ingin melihat Lusi. Lagi-lagi dibedol dari alam bebas. Masuk lagi ke dalam
suasana puri yang mengekang. Apa boleh buat? Mungkin ada baiknya juga,
sementara menjauh dari tempat yang dapat mewayangkan lagi impian-impian buruk
darah bantaian. Maka berangkatlah saja Duku dengan suaminya. Di puri ternyata
sudah hadir juga Putri Arumardi dan sang molek Tejarukmi. Alangkah cantiknya
gadis simpanan Tumenggung Wiraguna ini. Dunia ningrat penuh wanita cantik, dan
Duku sendiri tergolong bunga juga, walaupun hanya bakung ladang. Tetapi sang
Tejarukmi ini! Senyum fajar yang ria berkicau dia. Namun sekaligus pendebar
jantung yang mudah menyihir datangnya malapetaka bila kurang hati-hati terlalu
kerap dibuka tirai pingitannya. Lelaki Jawa bagaikan jerami di sawah. Sangat mudah
terbakar oleh pijar-pijar api asmara. Dan para wanita pun tidak kalah
bergairah. Mataram di bawah tungku api Merapi memanglah negeri yang subur.
Begitu juga orang-orangnya. Baru tadi, ibarat beras masih keras, masih lawan
tak gentar pantang menyerah, tetapi sesaat kemudian langsung si musuh sudah
menjadi nasi empuk hangat, kawan pemain gencar guling dan gulung. Retna Dumilah
dari Madiun dengan Panembahan Senapati misalnya, siapa tak tahu gara-gara
asmara mereka? Menurut tafsiran Duku, barangkali Putri Tejarukmi bukan jenis
Retna Dumilah. Akan tetapi… jelas bukan pula jenis Mendut. Gadis jelita dari
Imogiri ini seperti tenunan benang emas bidadari kahyangan, terlalu halus,
terlalu mudah patah putus oleh senggolan angin tajam dari mana pun. Akan tetapi…
entahlah, dari lenggang pinggang maupun lenggang mata, dari oleng kepala di
atas leher semampai maupun oleng senyumnya, entahlah, hanya rasa sayang namun
cemas juga yang menghinggap di dada Duku, bila ia memandang gadis cantik ini…
terlalu cantik sebetulnya. Tambah lagi bila mengingat adanya unsur-unsur lelaki
macam Wiraguna, apalagi Raden Mas Jibus. Untuk apa Tejarukmi ikut datang di
Puri Pahitmadu? Tentulah untuk menengok kakak ipar tua yang sudah mulai melemah
kesehatannya. Tetapi sebenarnya ketika putri itu mendengar berita Bendara Eyang
memanggil Duku, langsung ia memohon kepada Putri Arumardi untuk diantarkan ke
Puri Pahitmadu agar dapat bertemu dengan pendekar-pendekar penyelamatnya,
sambil melihat si bayi Lusi.
Maka ramailah
Puri Pahitmadu dan desa di dekatnya, penuh abdi dalem dan prajurit pengawal.
Tetapi toh berhasil menyusup jugalah seorang teliksandi suruhan Raden Mas
Jibus, yang tak pernah lalai membayangi langkah laku gadis yang telah menawan
hatinya. Mana mungkin seorang Putra Mahkota gagal merebut kuntum mawar dalam
ladang wilayah Baginda Ayah Pemilik Ladang? Hanya soal waktu, pasti si cantik
Tejarukmi jadi ia kecup nanti. Langkah demi langkah, lelaki pemiliknya akan ia
tarik terperangkap ke dasar jurang. Dan lagi, sungguh tak senonoh seorang kakek
tua-bangka-tunggu-lubang-jaratan kok tidak malu mau menikmati gadis seumur
cucu? Apa salahnya bunga semolek itu dioperkan saja kepada pria yang paling
pantas di seluruh negara, yang tak lain tak bukan ialah Putra Mahkota sendiri?
Sangat senang
Bendara Eyang mengamat-amati Lusi. Gadis lagi, gumamnya tersenyum geli campur
haru, menggeleng-gelengkan kepala berambut putihnya.
“Eyangmu tak
mau meramal di muka bayimu, Nduk. Tidak baik bila orang tua yang sudah harus
siap-siap menuju ke alam baka meramal atau menduga-duga nasib bayi mungil di
mukanya. Tetapi ya, kita lihat sendiri anak ini perempuan, Nduk?” begitu keluh
lunaknya.
“Bendara Eyang
sudilah jangan mengeluh. Tanpa keberanian Putri Pandansari, Surabaya tak akan
pernah menghaturkan bulu bekti kepada Susuhunan Hanyakrakusuma.”
“Ya, hanya
satu itu.”
“Apakah teja kepahlawanan hanya
dapat diraih di medan perkelahian, Eyang? Bukankah Putri Arumardi salah satu
citra yang dapat dijadikan hiasan bekas rimba Mentaok ini?”
“Arumardi.
Arumardi. Dia bukan putri Mataram. Dia anak begawan dari lereng Merapi. Siapa
tahu, dia salah satu keturunan Nyai Rara Kidul yang suka berbirahi terhadap
Kiai Merapi?”
“Setahu hamba,
Bendara Pahitmadu, beliau manusia biasa seperti kebanyakan dari kami. Tetapi
budi hatinya adimanusiawi.”
“Hanya
suaminya yang tidak memadai. Sesudah bikin malu karena Mendut-mu dulu itu, akan
ada apa lagi dengan si remaja Rukmi itu? Ya ya ya, andaikata dia bukan adikku
sendiri, sudah saya tertawakan dia sampai mukanya jadi tembem.[1]) Dari
mana sifat ngawurnya itu?”
“Setiap pria
berhak mengambil putri yang disukainya, Bendara Eyang.”
“Kau punya
pikiran begitu juga? Sungguh aku kecewa.”
“Bukan
pendapat Duku, tetapi pandangan. umum.”
“Pandangan
umum? Siapa umum itu? Setiap maling atau pemerkosa tergolong umum, itukah? Kau
seia dengan mereka, Nduk?”
“Maaf, Bendara
Eyang, bukan Duku.”
“Awas kau,
kalau masih membeo kaum bandot kambing macam itu. Kau harus lain, Nduk, dan
bayimu Lusi ini hwus pagi-pagi kau didik lain dari yang disebut umum itu.”
“Sudilah
Bendara Eyang percaya pada hamba. Bendara berpesan apa mengenai si Lusi, agar
pendidikannya berkenan kepada Bendara Pahitmadu?”
“Bukan agar
berkenan kepada saya. Pahitmadu bukan Allah Yang Mahapunya. Tidak baik, sekali
lagi, bila orang setua Pahitmadu meminta dan mendesakkan kesukaannya kepada
keturunan. Apalagi kalau sudah saatnya mau meninggalkan janaloka[2]) ini.
Akan jadi beban berat nanti bagi yang ditinggal, ya beban, bukan pertolongan.
Yang jelas, saya mencium bahwa kaum wanita akan menjumpai masa yang lebih gelap
di hari yang akan datang. Begitulah. Kau sudah tahu, Duku, selama Susuhunan
Hanyakrakusuma masih berkuasa, tatasusila terjaga. Beliau pantas mengemban
gelar Agung. Tetapi Putra Mahkota?”
“Kita
mengharapkan yang baik-baik saja, Bendara Eyang.”
“Ya, tentu.
Tetapi kita harus siap siaga juga, Nduk. Terlebih lagi anakmu perempuan. Lihat
mata si Gendon yang menarik lucu ini. Ini bukan Lusi tetapi Genduk Duku.” Dan
tersenyum geli nenek tua itu. Yang datang dan yang sedang berangkat pergi,
pikir Duku memandang si bayi dan sang nenek.
“Kau sudah
mendengar, Sunan Giri telah ditaklukkan oleh Pangeran Pekik, atas nama
Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram?”
“Sudah Bendara
Ayu, Putri Arumardi yang menceritakannya. Panembahan Kawis Guwa dari Gresik
diharuskan tinggal di Mataram, benarkah itu?”
“O ya? Ya ya,
tentu saja. Siapa kalah harus ditawan secara halus di ibu kota. Agar dia tak
dapat berbuat apa-apa melawan Raja. Bahkan biasanya mereka lalu menjadi abdi
Susuhunan Mataram yang setia. Contoh paling bagus ya Pangeran Pekik dari
Surabaya itu sendiri. Dulu lawan gigih, sekarang sekutu dan abdi paling setia.”
“Susuhunan
Hanyakrakusuma raja yang bijaksana. Hanya…”
“Madiun, Pati,
Lasem, Lamongan, Giri, Surabaya, Pasuruan di timur; Ukur, Sumedang di barat,
semua telah tunduk kepada Mataram.”
“Ya, beliau
raja agung. Hanya…”
“Hanya apa?”
“Lebih baik
seandainya raja-raja itu tidak saling berperang.”
Tertawalah
Bendara Pahitmadu sambil membelai-belai si bayi Lusi. “Kau aneh. Mana ada
harimau tidak menerkam kijang. Itu pekerjaannya. Ya, Duku, Duku. Aku tahu, kau
lain dari yang lain. Tetapi Duku pun harus tahu, bahwa dunia nyata bukan dunia
buah ciptaan kaum wanita.
Allah
Subhanahu wa ta’alla pun, bila kita memperhatikan warna nada khotbah para ulama
kita, adalah lelaki.”
“Allah bukan
lelaki bukan perempuan.”
“Ya, itu kan
ajaran resminya. Tetapi kalau kita lihat sifat-sifat apa yang secara terbuka
maupun diam-diam mereka selundupkan pada Allah, atau yang paling mereka sukai
bila sifat itu ada pada Allah, ialah sifat lelaki, bukan? Sebelum pergi
berperang pun kaum tombak keris itu memohon kejayaan dari Allah, seolah-olah
Hyang Mahakuasa itu panglima tertinggi yang tentunya-lelakiiah. Ya, Duku, Duku.
Kau harus belajar banyak. Tetapi yang paling penting: belajar menjadi wanita
yang utuh. Tahu, apa ciri dan keunggulan khas wanita? Yang saya maksud, bukan
keunggulan punya payudara dan gua garba.” (Tertawalah Duku.) “Ya, itu juga.
Tetapi bukan itu yang saya maksud.”
“Dia halus
perasaannya? (Bukan.) Dia cantik. (Ah, bukan itu.) Dia dapat melahirkan anak.
(Hampir. Sudah betul tetapi… ) Dia pengantar kehidupan.”
“Ya! Kena
tepat! Wanita selalu melawan pembunuhan, karena kodratnya adalah mengandung dan
menyusui kehidupan.”
“Sebenarnya
lelaki pun harus begitu juga.”
“Kau cerdas,
Nduk. Dan semoga Lusi-mu ini melebihi ibunya. Tetapi kau masih harus belajar
mengolah kenyataan seperti apa adanya. Bukan mengolah dan mengelola impian.
Wanita yang suka mimpi, bukan macam itu yang baik.”
“Tetapi,
Bendara Eyang, apakah kita dapat menciptakan kenyataan tanpa impian lebih dahulu?”
“Yang
kaumaksud cita-cita? Cuma, yang mana! Cita-cita yang baik seperti awan-awan
penuh pesona di angkasa itulah. Tetapi awan-awan kelabu. (Yang mengandung
hujan?) Nah, kau sudah tahu. Yang kelabu penuh berair.”
“Tetapi Duku
takut bila disuruh memandang yang serba suram kelabu.”
“Takut artinya
masih cinta pada kehidupan, siaga membela kehidupan. Yang penting, bagaimaria
kesimpulan yang mencuat lazimnya dari rasa takut?”
“Lari
misalnya, Bendara Eyang?”
“Pingsan juga
bisa. Jatuh sakit. Atau….”
“Atau
menendangnya sampai remuk, Bendara Eyang?”
“Mustahil itu,
Nduk. Dengar Duku-ku. Kau harus berani hidup dengan ketakutan sebagai kawan, ya
sebagai teman dalam marganing
urip.[3]) Tahu,
Nduk, apa yang eyangmu maksudkan?”
Duku diam. Ia
hanya menghela tangan puannya yang sekarang entah mengapa sama sekali bebas
cincin itu, dan meletakkan telapaknya pada batu kepalanya.
“Berkatilah
hamba si Duku, Junjunganku, agar kuat menempuh hidup penuh marabahaya.”
Hening yang
menyusul terasa oleh Duku sebagai sutra awan pengendap intan-intan embun restu
yang sangat dibutuhkannya. Bukan bagi diri sendiri terutama, tetapi bagi sang
suami dan anak. Keheningan yang nyaman yang meneguhkan itu, terobek oleh tangis
si bayi.
“Sudah
cukuplah, Nduk. Mungkin ruang ini sudah menjadi terlalu panas bagi si Lusi. Dia
butuh ibunya sekarang. Nah, ambil dia. Kulihat susu-susumu masih montok air.
Dan menyusui nikmat rasanya, bukan? Semacam pemberian berkat restu kepada anak,
anggaplah begitu. Tetapi kalau kau percaya pada eyangmu, jangan seperti
simbok-simbok tak tahu ngelmu itu.
Anakmu nanti harus mulai disapih. Biar belajar tak menempel selalu pada susu
ibu. Akan lembek dia kelak, terbiasa senang nikmat serba tergantung, sedangkan
kau nikmat memberi nikmat. Suka anakmu kelak lembek watak serta suka
tergantung?”
“Tentulah
tidak, Bendara Eyang. Tetapi Lusi akan menangis.”
“Yang lebih
menangis ibunya, akuilah, ya bukan?”
Duku tersenyum
dan mencium anaknya yang masih menangis itu.
“Biar, si
Mungil pun sejak kecil harus belajar menangis sedikit. Jangan setiap tangis kau
bungkam dengan putik susu. Dengar, Nduk, eyangmu boleh ditikam tujuh keris
kalau keliru, tetapi saya yakin, si Raden Mas Jibus itu pasti begitu dulunya.
Menangis sedikit dikasih putik susu. Sampai sudah besar begini, punya
permaisuri sudah setengah windu, punya selir dan gundik berapa banyak lagi
tinggal ambil, masih saja ia menangis merengek-rengek minta payudara remaja
Tejarukmi.”
“Untung Lusi
bukan lelaki,” senyum Duku berkelakar.
“Ah, kau… mau
pintar sendiri. Sudahlah kali ini boleh, tetapi sudah saatnya dia belajar minum
bubur tajin gurih, tahu?” Duku membongkok bersama bayinya di dada, lalu ingin
ke luar ruang.
“Di sini saja,
Nduk. Berikan kenikmatan jugalah kepada Eyang. Aku senang melihat Lusi pada
dadamu. Ya, seolah-olah menjadi lebih muda rasaku jadinya.”
“Sendika. [4])
Dan
dibebaskanlah dua buah dadanya yang masih subur dari pingitan kain kembennya,
dan satu lahap diisap oleh si bayi, sehingga seolah-olah ada tiga buah sekarang
yang bergantung pada dada si ibu. Tersenyum sang. nenek menikmati pemandangan
pengantaran kehidupan itu, dan mengalunlah dalam hati sang nenek, yang belum
pernah mengalami keintiman perempuan secara penuh itu, tidak tanpa rasa sayu,
sisa sedih tersisih,
Jaladri
payudara pawestri
Sendang
tirtaning ngagesang
Munggeng
Jatang Bayi
Pinda Samudra
Werkudara
Manggih
jatining Dewa Ruci[5])
————————————
[1] figur tari rakyat
berwajah gemuk bodoh
[2] tempat manusia =
dunia
[3] jalan kehidupan
[4] Hamba taat pada
perintah Tuan
[5] Air berlimpah
payudara wanita
Mata air
kehidupan
Bagi si Bayi
Mungil
Bagaikan
Samudra, tempat Werkudara
Menemukan
hakikat Dewa Ruci.
Melawan segala
nasihat, Tejarukmi tak dapat dihambat; ia harus melihat Setonan. Duku tidak
sekeras Nyai Ajeng bahkan Putri Arumardi sekalipun, untuk melarang Tejarukmi
melihat Setonan. Hiburan Setonan yang selalu diselenggarakan oleh
Susuhunan-ing-Ngalaga pada setiap hari Sabtu memang punya gema lain dalam jiwa
Duku daripada dalam hati Putri Arumardi. Adu tombak serba gegap gempita sambil
berlari di atas punggung kuda benar-benar adalah dunia kegemaran yang sulit
dicari taranya bagi seorang wanita serba suka bergerak seperti Duku.
Para ningrat
termulia di atas kuda-kuda teji jragem
siwalan, plangka-dodol-sinanten, perdapa pelem[1]) dan
berpancarupa kuda-kuda gagah lain di tengah alun-alun berpagar puluh-ribuan
prajurit bertombak, yang dikepalai para adipati dan tumenggung jantung bumi
Mataram maupun mancanegara, dengan para hadirat putri-putri tercantik dari
seluruh negeri, dada bangga mana tidak menggelembung, boleh hadir bersama kaum
adiwibawa itu? Sementara itu berpuluh-puluh gugusan perangkat gamelan perunggu
mengalunkan gending-gending jalugandra
jajagandrung[2]) yang
menggetarkan ratusan ribu penonton pria-wanita dan anak-anak yang serba
beliak-pandang. Tegang menyaksikan para ningrat kesuma itu, yang memamerkan
kebolehan seni yudaturangga[3]) mereka
yang meriah mengasyikkan. Ya, sulit dipersalahkan sebenarnya niat bersiteguh
Tejarukmi untuk melihat perayaan yang sudah sering disaksikannya, tetapi hanya
melalui cerita dan telinga. Belum dengan mata cantiknya.
Ah, justru
mata cantiknya itulah antara lain, dalam pandangan Nyai Ajeng selaku istri
perdana yang merasa bertanggung jawab atas semua istri suaminya, yang merupakan
alasan keprihatinannya; yang membuat mengapa sebaiknyalah Tejarukmi jangan
pergi ke Setonan itu. Sepasang mata yang lebar berbinar-binar, satu agak juling
sedikit, dengan bulu-bulu mata kelewat panjang seperti jari-jari pemain kecapi
yang mahir menggetarkan kawat-kawat kalbu pria, dari yang paling berangasan
sampai yang hanya punya kotak-dendang gending-asmara kecil sekalipun. Ya,
burung cendrawasih ufuk timur mana yang akan selamat nanti, bila dilepas di
tengah alun-alun penuh harimau loreng kuning-hitam, kuning ningrat tetapi hitam
nafsu? Lelaki Jawa, para bawahan Senapati-ing-Ngalaga itu keras berangasan
seperti arak carok, walau kadang-kadang dapat halus seperti permukaan kayu
sanakeling daun warangka keris-keris mereka. Berani bertahan berkat kemauan
kuat seperti kayu waru bergalih hitam. Tetapi menghadapi wanita, ia seperti
bambu ori, lemah mudah patah, tak keruan arah carang-rantingnya, namun kelewat
subur bisa terus tumbuh langsung asal ada air birahi yang dapat disesapnya.
Maka jangan diberi air kesempatan. Apalagi di alun-alun Setonan. Jelas pasti
nanti ada seseorang, entah macam Raden Mas Jibus, yang hadir. Memang betul
panggung keputrian terpisah, tetapi Raden Mas berjiwa bambu ori ini selalu saja
tahu jalan tembus. Siapa akan berani melawan seorang calon Senapati-ing-Ngalaga
dan Sayidin Panatagama? Jangan Adimas Ayu, Teja Bersinar Binar Kencana! Jangan!
Demi kau sendiri, Adik Melati Fajar Pagi!
Tetapi biar
bertubi seperti apa pun desak-paksa himbauan halus Nyai Ajeng dan para istri
selir lain, Tejarukmi, walau masih remaja piyik dara,[4]) ternyata
kadang-kadang bisa berkeras kepala; sadar-ia bukan hanya abdi yang bertugas
menerima perintah belaka. Himbauan hanya himbauan, tidak mengikat. Dan
paksaan-mana ada putri cantik mau dipaksa? Terpaksalah Arumardi
mengantarkannya. Maka melalui utusan berkuda cepat, buru-buru Duku dan Slamet
dipanggil Putri Arumardi. Lusi yang sudah mulai disapih dari ibunya dititipkan
dulu di dalam pangkuan Bendara Eyang. Tetapi selekas mungkin Duku harus datang
dan paling tidak sudah harus hadir pada hari Jumat di Wiragunan. Walaupun berat
meninggalkan Lusi, akan tetapi baiklah, ini latihan tahan uji bagi bayimu, kata
Bendara Pahitmadu sambil tertawa.
“Kapan kau
mengajarku naik kuda, Ni Duku?” tanya remaja simpanan Wiraguna itu, ketika ria
menjemput ibu muda penyelamatnya dulu.
“Barangkali
tubuh ayu seperti Putri Tejarukmi bukan yang tepat untuk punggung binatang yang
memang beraga mulia tetapi berbahaya, Putriku,” jawab Duku agak terkejut.
Bayangkan boneka porselin Cina serapuh ini di atas jaran jondil.[5]) Akan
dilepaslah kepala Duku dari tubuhnya nanti bila itu terjadi.
“Apa akan
kelihatan tak senonoh?” desak sang Teja.
“Bukan soal
senonoh tak senonoh. Tetapi setiap putri punya bagian wahyu masing-masing.”
“Apa jatah
wahyu untuk Tejarukmi, Ni Duku?”
“Maafkan,
Putri Ayu, Duku hanya buah pohon kedondong kebun rakyat. Bukan sawo istana.
Mana mungkin tahu baca-makna tentang arti bintang beranjak atau tafsiran warna
cahaya pulung wahyu.
Tetapi sebodoh-bodoh perempuan Duku, hamba tahu, kuda bukan tunggangan tepat
bagi seorang teja kencana.”
“Lalu apa yang
tepat?”
“Ya, Duku
tidak tahu, maafkan. Barangkali, ya barangkali nama sang Putri dapat menjawab.
(Teja?) Ya, barangkali, hanya barangkali. Kendaraan setiap teja selayaknya
bunga-bunga atau kupu-kupu taman sari.”
“Ah, nggak
suka. Nggak enak jadi bunga. Apalagi kupu. Katanya kupu sesudah bertelur,
langsung ia mati. °’
Tertawalah
Duku spontan. Ketus juga Tejarukmi ini. “Itu tadi hanya kiasan, Putriku sayang.
Warna-warninya yang indah itulah Putri Tejarukmi. Warna-warni adalah sahabat
citarasa harum mewangi yang benar dan pembawa warta merdu meria, itu yang hamba
maksud. Mungkin itulah yang menjadi bagian tugas kehadiran Putri Tejarukmi di
tengah-tengah -kita.”
“Bagaimana
pendapatmu tentang Tumenggung Wiraguna?” tanya tiba-tiba Putri Ayu itu. Seperti
sengat lebah penyengat kepala yang tak tersangka pertanyaan itu menyambar.
“Tumenggung
Kakangmas, suami Sang Putri?”
“Hi ya. Si
Wiraguna panglima tua Mataram.”
Terkejutlah
lagi Duku mendengar tekanan pada kata tua, apalagi sebutan si, yang tampak sekali
diberi nada ejekan oleh istri muda sang panglima itu. “Wiraguna adalah ksatria
besar yang mendampingi Susuhunan-ing-Ngalaga dan pahlawan medan laga yang
membuat besar Kerajaan Mataram.”
“Bukan itu!
Wiraguna si Kakek Tuwek sebagai pasangan wanita.”
Aduh,
bagaimana menjawab pertanyaan yang tak boleh ditanyakan itu? Tetapi yang gawat,
mengapa pertanyaan macam itu ditanyakan?
“Maaf, Putriku
Ayu, Duku hanya mengenal pun abdi Slamet sebagai pasangan. Mungkin Putri
Arumardi lebih berhak menjawab pertanyaan angker itu.”
“Sudah. Aku
sudah bertanya pada Kakang Mbok Arumardi.”
“Dan bagaimana
beliau?” tanya Duku gembira, melihat lubang kesempatan lolos dari kurungan soal
yang berbahaya ini.
“Ya, selalu begitulah
Kakang Mbok Arumardi. Arif, seimbang, tetapi tidak menjawab kesulitan
Tejarukmi.”
“Kakak arif
adalah rahmat berharga, Putri Tejarukmi.”
“Semua kakak
arif tak kentara tetapi terasa membawa tuduhan hidup: adiknya tolol melulu.”
Tertawalah
Duku, geli campur kagum atas kejujuran makhluk teramat cantik ini. Kasihan
memang remaja cantik yang bernasib seperti budak tak berdaya terhadap jantan
tua yang kuasa dan keras. Apa sih, yang masih dihausi Wiraguna itu? Dulu ia
menginginkan harimau betina padang ilalang seperti Rara Mendut itu. Alasannya:
tombak besi yang jaya sewajarnya berhadapan dengan benteng berpintu perunggu
yang sulit ditaklukkan. Sekarang sebaliknya, remaja dini yang dadanya pun masih
belum seperti kecer[6]) yang
bisa ditabuh. Apa lagi yang dilihatnya? Keris serba berkarat warangka tua maunya
main-main menghadapi markisah muda, begitukah? Enak saja kalau orang itu punya
kuasa. Slamet si nelayan beristana sampan lebih berilmu, lebih ningrat-hati
daripada kaum Wiraguna dan sebangsa Jibus ini.
“Ya, Putriku
Ayu. Putri Tejarukmi boleh cantik, tetapi tidak boleh bodoh atau merasa bodoh.
Tetapi… mengapa semua itu Putri tanyakan?”
“Tidak ada
mengapanya. Tejarukmi paham mengapa Ni Duku tidak mau mengatakan sesuatu
tentang Kakang Tumenggung. Tetapi sekarang jawablah dengan jujur. Bagaimana
pendapat Ni Duku tentang Putra Mahkota?” Aduh. Belum hilang kejut disengat
lebah, sekarang disambar halilintar. Ada apa ini? Mau ke mana dia?
Mengerlinglah Tejarukmi nakal kepada Duku. Lalu ia berbisik pada telinga sang
abdi, “Ini rahasia. Raden Mas Jibus tampan, ya?” Duh, Gusti, duh, Widi! Makanya
Tejarukmi bersiteguh ingin melihat Setonan. Sungguhlah sulit wanita mengerti
wanita lain. Apalagi pria memahami wanita… kecuali, ya kecuali satu barangkali:
Raden Mas Jibus.
Setonan, ya
Setonan, lomba bangsawan berkuda di alun-alun utara keraton Kerta yang selalu
dihadiri oleh Sri Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram pribadi, disertai sariningrat seluruh
kerajaan dan madu manis putri-putri paling ayu dan mempesona! Membubung sorak
pesona dari berpuluh-puluh kelompok perangkat gamelan paling merdu beserta
pesinden-pesinden yang paling tenar! Berlomba-lomba menggairahkan kalbulah nada
dan senda gending-gending gembira ria yang sudah disesuaikan dan direstui oleh
lontar-lontar primbon para tetua pengenal negeri-negeri gaib; memeriahkan
suasana puncak penghayatan adat kenegaraan; perayaan yang merupakan salah
satu jamang[7])kewibawaan
sekaligus gebyar berkat
bagi nagara gung miwah jalma
jaya, nggunung Lawu sega linuwih gurih, mbengawan Serayu santen jangan goreng,
reja mukti wibawa Mataram Hadining Bawana.[8])
Yang di sana
itu, nah, itu Tumenggung Sura Agul-agul, dan langsung di selatannya, Tumenggung
Danupaya, guru pengasuh Pangeran Alit ya, itu Pangeran Alit, begitu tutur
seorang punggawa negara dengan bangga kepada anaknya. Pangeran Singasari, nah,
panglima jaya Pasuruan beliau, itu yang sedang bercakap-cakap dengan priyagung berambut putih
itu. Betul priyagung tua di sana itu Tumenggung Mataram, patih perdana tangan
kanan Sri Susuhunan. (Seluruh alun-alun berdesah kagum.) Nah, itu beliau, yang
keluar naik kuda itu Putra Mahkota, Pangeran Aria Mataram gelarnya.
Syyyt, jangan
keras-keras. Raden Mas Jibus nama panggilan beliau, dulu, tetapi kita kaum
kecil tidak boleh mengucapkan nama itu. Ya, ya betul, betul Pangeran Alit lebih
tua usianya, putra dari Ratu Wetan, permaisuri pertama, tetapi Pangeran Aria
Mataram lebih tua bibit-bebet-bobot-nya. Ibu
beliau putri ningrat dari Batang, sang Ratu Kulon; masih berdarah alur Sunan
Gunungjati. Lihat, Pangeran Aria Mataram sedang me-nyirig-nyirigkan kuda
beliau. Pendekar penunggang kuda yang ngudubilahi beliau
itu! Seperti halilintar bila sedang menjelajahi negeri di atas punggung
kudanya. Pangeran Alit kalah trampil-trengginas. Siapa? Tumenggung Wiraguna? O,
beliau di sebelah barat. Itu, di bawah tarub yang ketiga dari selatan beliau
nanti duduk. Barangkali beliau masih harus mengiringi Susuhunan Mataram bila
keluar istana nanti. Kan Panglima Besar harus bertanggung jawab atas
keselamatan rajanya. Tumenggung Wirapatra dari Dewan Penasihat Agung tak
kelihatan. Barangkali diperintahkan mengiringi Baginda juga.
Sekonyong-konyong
berhentilah seluruh gemuruh gamelan. Sunyi bunyi itu merupakan tanda bagi
seluruh penduduk dan prajurit untuk serentak duduk bersila dengan kepala dan
mata merunduk. Sebab Sri Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram Adiprabu Hanyakrakusuma
Sayidin Panatagama sedang meninggalkan keraton dan masuk ke dalam gelanggang
yuda-turangga. Para pangeran adiningrat serta tumenggung pun menundukkan
kepala, tetapi menurut pranatan boleh
mencuri pandang ke arah Raja. Sebab kewajiban awal yang harus mereka perhatikan
pertama ialah tutup kepala Susuhunan.
Ternyata
beliau memakai kain kepala batik mandalasura. Serentak
semua ningrat, dari pangeran serta patih tumenggung sampai yang hanya den bei
demang yang kebetulan hanya berkopiah, melepaskan kopiahnya dan mengenakan kain
ikat kepala yang sudah siap tersedia di muka mereka. Bila seandainya Baginda
keluar dengan memakai kopiah putih, maka serba seragam pula semua bangsawan itu
harus mengenakan penutup kepala kopiah putih juga. Seragam pula sementara itu
perangkat-perangkat gamelan sudah menggemuruhkan lagi gending-gending
penyambutan Raja, Handaka-Gumregah,
Harta-Seba,[9])disusul
kumandang lagu Turangga-Sura, mengiringi
langkah-langkah tenang tegap Susuhunan. Napas para priyagung lega-landung karena mereka
melihat, bahwa raja tampak tersenyum bahkan ringan bercanda dengan Patih
Singaranu. Tumenggung Wirapatra kelihatan suntrut,[10]) tetapi
patih satu ini, setiap ningrat tahu, terlalu tampak cemburu bila sang Adiprabu
kelihatan mendekat pada Tumenggung Singaranu yang disegani oleh kebanyakan
priyagung karena kesederhanaan serta hati jujurnya, dan disegani juga karena
keunggulannya dalam setiap perundingan dengan negara-negara berdaulat lain.
Dengan Tumenggung Wirapatra setiap duta besar ingin berbantahan, tetapi
menghadapi Tumenggung Singaranu mereka biasanya cenderung untuk lebih meminta
pertimbangan atau anugerah kemurahan dari Mataram.
Tersenyum
serba hati berkenan Susuhunan Mataram bertepuk tangan dan memberi tanda agar
permainan yuda-turangga dimulai. Tumenggung Singasari melambai kepada bupati
penata pertandingan. Maka tampillah empat ningrat muda, tampan tegap, yang
setelah menghaturkan sembah kepada raja negara melompat luwes ke atas punggung
kuda; tanpa pelana dan tanpa sanggurdi, dua tombak berujung tumpul tergenggam
di kedua tangan mereka. Seorang abdi mengencangkan tali-tali kendali kuda pada
sebuah cincin di gesper sabuk mereka, karena kedua tangan ksatria itu harus
dapat digunakan bebas selama pertandingan, maka pengendalian kuda yang sering
serba beringas itu hanya dilakukan oleh pangkal sabuk di pinggang para
penunggang kuda. Sungguh suatu seni kendali yang menunjukkan ketrampilan
istimewa dari barisan-barisan balatentara Mataram yang termasyhur karenanya,
dan yang telah terbukti di segala medan laga.
Bergemuruhlah
bagaikan tembok bata roboh seru sorak-sorai penonton yang lebih dari seratus
ribu orang itu, menyambut lomba para bangsawan berkuda yang saling
kejar-mengejar dengan dua tombak di tangan. Dari garis tepi selatan, ksatria
yang satu harus mengejar ksatria lain, dan berusaha menjamah lawan itu pada
punggungnya dengan ujung4 tombak yang. sudah dibuat tumpul. Jika yang dikejar
berhasil sampai di garis tepi utara, maka langsung ia membalikkan kuda dan
berganti peran, mengejar lawannya yang tak berhasil menjamah punggungnya tadi.
Tidak hanya kecepatan kuda, tetapi juga ketrampilan ulah membelok dan
menghindari pengejar sangat menentukan dalam seni yuda-turangga macam ini.
Tidak selalu kuda yang cepat yang menang. Kelihaian tipu daya dan kegesitan
penguasaan kuda sangat berperan dan sangat digemari penonton.
Gelak ketawa
dan tepuk sorak-sorai sungguh sangat menggairahkan. Khususnya bila salah satu
pelaku jatuh kopiah atau ikat kepalanya, atau terpelotrok dari punggung kuda sehingga
gayanya cukup konyol. Maka banyaklah sekali pecandu-pecandu Setonan yang tak
segan berjalan dua-tiga hari dari balik lereng Gunung Sumbing dan Gunung
Merbabu atau seberang Sungai Bagawanta maupun Bengawan Weluyu, [11]) hanya untuk menikmati
ketegangan seni yuda-turangga Alun-alun Kerta itu; apalagi karena pelakunya
adalah ningrat-ningrat negara yang paling tinggi. Dan sungguhlah begja kemayangan[12]) betul
apabila kebetulan Sri Susuhunan sendiri berkenan secara pribadi turun ke gelanggang
dan riang mengajak salah seorang adipati atau tumenggung-tumenggungnya untuk
berperang tanding. Tentulah berdebar-debar juga bangsawan yang kebetulan
terhimbau oleh tuan perdana negara mereka. Susuhunan Mataram tidak suka lawan
tandingnya hanya basa-basi mengalah takut terkena amarah Raja. Tetapi
mendinakan raja di muka umum dan menang tanding terhadap Susuhunan sulit juga
dikerjakan. Jalan kencana harus diusahakan.
Tetapi kali
ini seluruh alun-alun utara bergemuruh gembira ria karena Sri Susuhunan
memanggil putranya sendiri, Kanjeng Pangeran Aria Mataram, untuk bertanding
dengan Ayahanda. Inilah! Inilah! Betul-betul peristiwa luar biasa kali ini.
Lebih gegap-gempita berganda lagi bising nyaring gairah irama gamelan-gamelan
menyambut himbauan raja yang penuh janji hiburan itu. Nah, anak melawan ayah,
keduanya perdana di seluruh negara, di gelanggang pertandingan. Dalam
tujuh windu[13]) tidak
akan terulang lagi peristiwa semacam ini.
Dari sudut
luar tarub keputrian dekat penabuh gong perangkat gamelan rombongan Tumenggung
Singaranu, Ni Duku mencuri pandang dari sudut mata, dan serba prihatin
memperhatikan Putri Tejarukmi yang terjaga rapat oleh Putri Arumardi. Gadis
remaja dari Imogiri ini sungguh belum terlatih betul untuk mengekang perasaan
dan menyelubungi isi hati seperti selayaknya putri kalangan ningrat. Dari tadi
kelihatan sekali gejolak dambaan hatinya. Teja di wajahnya menggemakan kagumnya
kepada Putra Mahkota. Bagaimana mungkin? Sungguh aneh! Belum genap sepasang
musim berlalu, sudah membalik-grombyang-lah perasaannya
terhadap si Juara Pengejar-wanita di seluruh Mataram ini. Ah, seharusnya Putri
Arumardi sudah melihat dulu-dulu. Tetapi apakah sikap si Cantik Muda dengan
bulu-bulu mata seperti jari-jemari kecapi itu sungguh aneh? Sulit dipahami?
Sebaliknyalah, ya tentulah yang sebaliknya itulah yang wajar. Si Kakek
Wiraguna, mana mungkin ia bersaing dengan pria muda ahli waris keris kekuasaan kerajaan
besar? Memang, Panglima Besar dia, si Tua, dan anggota utama Dewan Patih
Singgasana yang sudah makan garam banyak, sedangkan yang lain masih hijau tanpa
kedudukan apa-apa selain bertugas menunggu dan menunggu sampai Ayahanda
meninggal. Tetapi sesudah itu?
Memang tepat
namamu Tejarukmi, lingkaran cahaya emas! Emas keprajan kaum penguasa. Modal kecantikanmu
memang meyakinkan, dan bila kau boleh memilih, jelas Raden Mas Jibus-lah yang
akan menang sayembara. Ah, sekali lagi, mengapa Duku harus risau? Bukankah
kekalahan Wiraguna akan merupakan pelunasan utangnya membunuh Rara Mendut?
Bukan pelunasan utang nama yang sebenarnya. Pengembalian keseimbangan peristiwa
semesta! Pelarasan kembali gamelan yang sudah blero[14]) bunyinya!
Dan Raden Mas Jibus sendiri? Jelas beliau berjayawijaya dapat memamerkan
kemudaan dan kemanjaan beliau sebagai orang kedua sesudah ayahnya di muka
sekian banyak wanita. Beliau memang bukan Arjuna dalam sosoknya. Tetapi pria
yang gandrung sangat
mempesona gadis yang digandrungi. Ya, daya tarik Raden Mas Jibus sebetulnya ada
pada kemampuannya untuk menampilkan diri sebagai pria yang menanamkan kesan
gaib kepada wanita yang kebetulan terkena pukau senyum asmaranya; kesan yang
membawa janji, bahwa terpilih berarti berhak kiprah[15]), berwenang merasa diri
sang pemenang. Dan bila wanita tersirami pandangan-pandangan cemburu dari
wanita-wanita lain, bukankah itu secorak kenikmatan yang lezat bagi sang rahim
yang lalu merasa terjamin, akan dipercayai benih yang paling ningrat, paling
membawa wahyu, sedangkan si saingan tidak? Ni Duku pun dapat memahami
kenikmatan itu. Bedanya hanya pada arti yang diisikan pada kata ningrat, wahyu,
unggul. Cuma arti wadag jasmani kekuasaan belaka? Ataukah arti budiwan, ningrat
sikap, wahyu teja kemurnian hati?
Bersorak-sorailah
rakyat ketika Susuhunan berdiri dan melangkah ke kuda Parsi putih yang
diantarkan kepada beliau. Dengan kaki satu menginjak punggung seorang abdi
dalem, kaki lain mengayun dan megahlah beliau duduk di atas kuda Parsi-nya,
menanti. Sorak sorai bergemuruh bata-roboh lagi. Nah, inilah sekarang beliau,
sang muda titisan[16]) Ayahanda, moncer kuncara[17]),
datang kalem
di As punggung kuda Parsi putih juga, hanya lebih kecil. Putra Mahkota
bersembah ke arah ayahnya yang mengangguk dan yang langsung maju ke arah garis
tepi selatan. Di belakangnya Pangeran Aria Mataram mengikuti ayahnya dan sengaja
membuat kuda mengirig-irig kenes. Tepuk tangan dan sorak-sorai pesona rakyat.
Tampak Susuhunan menghendaki dulu sang putra lah pihak yang dikejar.
Bersembahlah putranya, “Nuwun
sendika.”
Aba-aba bende dan kendang[18]) dari
Bupati Penatacara. Hening sebentar penuh ketegangan. Tiba-tiba gong agung
berbunyi, dan meledaklah lagi guruh sorak-sorai para penonton, membelah
angkasa. Dengan segala ketangkasan muda yang luwes mempesona, Putra Mahkota
seperti kijang terbang penuh seni mirip menari, menghindar dari serodokan
tombak tumpul ayahnya yang masih berpamor kebolehannya menunggangi kuda. Dalam
gerak-gerik kencang lurus yang tiba-tiba menukik berbahaya serba menegangkan,
Pangeran Aria Mataram menjadikan dirinya benar-benar bintang lapangan. Alangkah
bergelora semangatnya Tejarukmi, pikir Arumardi juga yang melihat adik
sesuaminya bersemangat memihak kepada Putra Mahkota. Cemas sama dengan Duku
terlintaslah pertanyaan: untuk beliaukah Tejarukmi tadi bersiteguh ingin
melihat Setonan?
Lagi rakyat
bersorak-sorai. Sekarang Susuhunan-lah yang terkena giliran dikejar oleh
putranya. Satu kali tombak sang pemburu nyaris mengenai punggung Raja. Tetapi
Susuhunan Hanyakrakusuma masih cukup gesit untuk menghindari serodokan. Ataukah
Aria Mataram hanya pura-pura membuat meleset serodokan tombaknya? Yang
mempesona sebenarnya ialah gaya lari kuda Parsi putih Susuhunan. Begitu gagah
perkasa, cepat tetapi mulia menakjubkan gaya lari kuda itu. Dan karena kuda
Raja lebih besar daripada kuda milik Putra Mahkota, tidaklah mudah bagi pihak
yang mengejar untuk berhasil. Gigih Pangeran Aria Mataram mengerahkan segala
daya dan gaya kuda yang dapat diperasnya. Tetapi gagallah ia selalu. Akhirnya,
sebelum garis terakhir tercapai kelihatan sekali Susuhunan melambatkan lari
kudanya dan, terlalu kentara sebetulnya, sangat memberi kesempatan kepada
putranya, untuk menjamah punggung beliau dengan tombak. Bersorak-sorailah
seluruh alun-alun karena melihat, betapa luwes Susuhunan mereka menunjukkan,
bahwa besarlah hati beliau, budiwan pemberi kesempatan untuk pihak yang muda.
Turunlah Pangeran Aria Mataram dengan segala elegansia, dan bersembah sambil
berlutut. Kaki ayahnya dicium hormat, dan ditolongnya Susuhunan turun dari
kuda, kemudian Putra Mahkota mengantarkannya dengan penuh senyum bangga ke
tempat duduk Raja.
Ya, Pangeran
Arya Mataram punya alasan untuk manja, sebab di muka ratusan ribu rakyat, sang
Senapati-ing-Ngalaga Mataram telah memberi tanda sasmita kepada seluruh
hadirin-hadirat, betapa berkenan sang Ayah kepadanya. Khusus kepada Pangeran
Alit, saudara dari lain ibu, saingannya selama ini, dan Tumenggung Danupaya,
gurunya, Pangeran Aria Mataram mengirimkan wajah teramat manis dan anggukan
teramat hormat yang penuh arti. Senyumnya, senyum Sengkuni. Tetapi tidak hanya
kepada Pangeran Alit dan Tumenggung Danupaya saja. Istimewa dan secara khas
senyum penuh arti ditaburkannya pula kepada seorang wanita kuncup yang seperti
intan kecil bercahaya cemerlang menyolok di antara mutiara-mutiara buram, yang
dilihatnya sejak tadi menari-narikan bulu-bulu matanya. Ya, bulu-bulu mata yang
seperti jari-jemari seniwati tanah Pasundan memetik-metikkan lagu rindu dalam
rongga-rongga kecapi kalbunya. Tidak, tidak dalam kandang si Serdadu Lapuk
tempat sebenarnya titisan bidadari ini. Sekali saat… senyum, senyumlah Pangeran
Aria Mataram, sekali saat… pastilah. Sesudah usai olahraga Setonan, Raden Mas
Jibus alias Rangkah dengan hati membusung menyiapkan diri menikmati mandi
segar. Biasanya Susuhunan masih mengajak lingkaran paling dekatnya untuk
berpesta ria semalam suntuk. Wiraguna terhitung dalam lingkaran tertinggi itu.
Bagus! Tumenggung Wirapatra akan ia minta, pasti panglima haus kuasa dan hormat
itu akan mau disuruh mengajak Wiraguna mandi saja di dalam keraton; bohong saja
diperintah Baginda, begitu rencana siasat Pangeran Aria Mataram. Sementara itu…
lekas, mana kepala gandek?
“Hai,
Prajurit, panggil Kentol Klodran! Cepat!” Kini tunggulah! Yang sudah lama
diusahakan Pangeran Aria Mataram tetapi selalu gagal kali ini akan terjadi.
Sekarang burung cendrawasih itu sendiri yang akan keluar dari sangkarnya.
Pada waktu
Tumenggung Wiraguna merasa memperoleh kehormatan istimewa “dari Susuhunan,”
diperkenankan menikmati pemandian istana Raja yang biasanya hanya diperuntukkan
khusus bagi Putra Mahkota, sepasukan gandek Aria Mataram mencegat tandu-tandu
bangsawan Wiragunan di suatu persimpangan jalan. Dengan halus kepala gandeknya
menyampaikan sepucuk surat bersegel istana kepada Putri Arumardi. Para putri
Wiragunan dipanggil secara khusus oleh Susuhunan Sayidin Panatagama. Sangat
heran dan penuh prasangka buruk, Putri Arumardi diam ragu-ragu.
Baiklah,
tetapi bukankah kami harus minta diri dari Tumenggung dulu sebelum menghadap
Susuhunan? Selain itu kan kami baru saja dari Setonan, penuh debu dan serba
berkeringat begini. Kan seharusnya meng-adi-salira dan
serba berbusana indah dahulu sebelum memberanikan diri menghadap Baginda? Tidak
perlu, begitu perintah atasan paling atas. Ada apa? Kami hanya pegawai
rendahan, tak berhak menanyakan alasan Raja. Yang diundang siapa? Kami
andaikan, yang sudah tercantum dalam surat itu. Tak percaya Putri Arumardi
membaca lagi surat. Nyai Ajeng tidak diundang? Tidak mungkin. Coba tanyakan
dulu! Kami hanya abdi-abdi suruhan, Bendara Ayu. Tidak mungkin! Tidak mungkin,
mosok istri perdana tidak diundang, dan kami hanya sendiri ke sana. Susuhunan
Senapati-ing-Ngalaga Sayidin Panatagama pasti sudah paham bijak, apa yang baik
dan tidak, Bendara Ayu.
Tak berdaya
Putri Arumardi. Perlahan-lahan kepalanya berputar, memandang Tejarukmi di
sampingnya. Jelas, ia senang menerima undangan luar biasa itu. Tetapi tak
pantaslah berdebat di muka gandek bermuka bandeng itu. Bagaimana nanti
pertanggungjawaban kepada Nyai Ajeng, terutama kepada Kakangmas Tumenggung?
“Tidak! Kami
berunding dahulu dengan Nyai Ajeng!” keputusannya tegas. “Kepala barisan!
Terus! Wiragunan!” Membongkok penuh sopan santun gandek kepala menuruti wanita
ningrat yang tak dapat ditawar itu. Pangeran Aria Mataram telah menandaskan
tadi, agar jangan sekali-kali menggunakan kekerasan seperti dulu. Dipangku,
dibelai, nanti kan lemas sendiri, begitu pesan tuannya.
Sesampainya di
Wiragunan Duku memohon dan memohon kepada Nyai Ajeng, agar jangan berbuat
sesuatu tanpa sepengetahuan Tumenggung Wiraguna. Dari tarub para penabuh
gamelan di alun-alun, sejak tadi Putri Arumardi dan Duku melihat, bagaimana
Pangeran Aria Mataram teramat kentara bermain mata dengan Putri Tejarukmi.
Pasti ini suatu jebakan lagi dari Raden Mas Jibus. Nyai Ajeng sungguh-sungguh
tak dapat bernapas. Kalau ditolak, apa akibatnya nanti bila benar-benar Sri
Susuhunan-lah yang mengundang? Tentunya semua ini sudah dibicarakan sebelumnya
dengan sang suami, Wiraguna? Ataukah… ? Bila Tejarukmi dilepaskan, bagaimana
itu dapat dibenarkan; melepas istri tanpa sepengetahuan suami? Padahal pernah
ada usaha penculikan terhadap yang justru sekarang diundang secara aneh ini?
Masih belumlah
sempat Nyai Ajeng dan beberapa rekan istri memutuskan ya atau tidak, seorang
dayang-dayang tergopoh-gopoh membawa berita bagaikan ledakan meriam Betawi.
Pertempuran sengit di gerbang! Sampai di gandok keputrian teriak perkelahian
terdengar. Teriak wanita. Oh! Itu Tejarukmi, seru Putri Arumardi. Derap kuda-kuda
berlari. Sunyi. Rintih orang-orang terluka. Pucat Putri Arumardi dan Duku
saling pandang-memandang. Menangis seorang dayang tua melapor tentang yang
sudah diketahui… dan yang samar-samar telah dapat diduga sebelumnya. Tejarukmi
telah dilarikan… atau melarikan diri?
Sementara itu,
Pangeran Aria Mataram telah menyebarkan perintah keras kepada para penjaga
istana, untuk menolak utusan atau suruhan siapa pun yang ingin menghadap
ayahnya. Susuhunan masih lelah. Tidak boleh diganggu. Setelah memohon diri dari
ayahnya, dengan hati berdendang Raden Mas Jibus alias Raden Mas Rangkah dan
pengawal-pengawalnya pergi. Tetapi tidak menuju ke purinya. Ke arah barat laut,
melewati Pingit ke suatu pesanggrahan di atas bukit kecil di utara jalan besar
ke Jagabaya, yang sudah sepasang musim terakhir ini ia beri nama baru: Arga
Tejakencana.
[1] coklat hitam
gelap, coklat kelabu bernoda-noda coklat muda dan putih, hitam bercahaya merah
[2] lelaki berdaya
dada birahi
[3] lelaki berdaya
dada birahi
[4] anak merpati
[5] kuda
melonjak-lonjak
[6] alat gamelan
berbentuk gong tetapi kecil mungil kerempeng
[7] mahkota
[8] negara besar
beserta orang-orangnya yang jaya, serba seperti gunung Lawu nasi mereka yang
istimewa gurihnya, seperti sungai Serayu kuah sambal goreng mereka, sejahtera
berwibawa Mataram Paling Cantik di seluruh bumi
[9] Banteng bangkit
penuh semangat, Bangsawan Menghadap (raja)
[10] muka masam serba tak
senang
[11] Bengawan Solo sekarang
[12] untung luar biasa
[13] kurun waktu 8 tahun
[14] vals, nada tidak tepat
[15] menari serba terbang
jaya
[16] keturunan yang dianggap
sebagai penjelmaan dari….
[17] mencuat sinarnya,
termasyhur
[18] alat musik tabuh
“Jangan,
jangan kau libatkan Pangeran Alit,” demikian nasihat Bendara Pahitmadu kepada
Tumenggung Wiraguna, adiknya. “Kau cukup tua dan berwibawa. Ini urusanmu dengan
Jibus. Mengapa harus mengait-ngaitkan putra raja yang lain, gurunya lagi dan
sekian orang yang tak ada sangkut-pautnya dengan urusan perempuan?”
“Sudah
terlambat, Kakang Mbok.”
“Kenapa tidak
meminta nasihat dulu kepada kakakmu yang satu-satunya menghadirkan Ibu kita
almarhumah di mukamu?”
“Ketika itu
Adinda sangat bingung.”
“Bingung atau
terluka kejantanan? Ya, Panglima Besar memanglah engkau. Di medan kelahi.
Tetapi menghadapi wanita, kau sungguh masih anak ingusan. Keterlaluan! Apa
Wiraguna betul-betul kekurangan pipi, payudara, dan pangkuan? Heh? Jawab!
Mengapa justru mengambil anak kecil yang belum bisa makan sendiri? Sudah sejak
pertama kali aku mendengar kau berniat mengambil anak dari Imogiri itu, kakakmu
sudah memperingatkan kau. Apa lupa riwayat Panembahan Senapati dengan Retna
Dumilah? Seluruh peperangan berdarah antara Mataram dan Pati dulu itu melulu
akibat gara-gara Retna Dumilah. Sungguh saya tidak mengerti, di mana nalar
lelaki macam kau itu.
Rakyat beratus
ribu hanya disatai pada lingga pangkal paha kaum kalian. Saya, walaupun wanita,
telah berikrar wadat mengikuti Begawan Dewabrata, hanya demi keselamatan
keluarga, termasuk kau, Wiraguna. Kok kau yang sudah punya cucu begini, tidak
sembuh-sembuh dari nafsu birahimu. Hei, jantan itu tidak sama dengan lelaki
atau pria, tahu? Berapa kali sudah kau kuperingatkan, jantan itu kuda, kucing,
ayam. Bukan Panglima Besar Mataram. Lelaki dan pria itu ksatria. Ksatria itu
perjumbuhan antara otot jasmani rakyat petani dan jiwa resi begawan, ingat apa
tidak pesan almarhumah Ibu dahulu ketika kau, masih pemuda belum keluar bulu
bibirmu, bergabung dengan pasukan-pasukan Senapati ikut ke medan perang
Wirasaba? Ingat apa tidak?”
“Kakang Mbok
benar. Dalam hal satu ini memang adinda lemah. Adinda Wiraguna sendiri pun
tidak mengerti, tetapi akhir-akhir ini adinda seolah-olah terundung rindu pada
yang masih murni, yang masih kuncup remaja.”
“Ya
boleh-boleh saja.. Tetapi apakah dia harus kau tiduri?”
“Hanya untuk
kelonan, Kakang Mbok. Agar merasa…”
“Merasa remaja
kembali kau, Tulang tua? Ya, ya selalu itu dalihnya. Perempuan dianggap guling
saja atau jamu cabe lempuyang.”
“Anak itu
hanya anak pegawai rendah, juru kunci Imogiri, dan di Wiragunan dia terangkat.”
“Ya, ya, ya,
terangkat, terangkat. Anak juru kunci kuburan. Imogiri kan kuburan. Bukan
istana. Jangan-jangan dia anak sundel bolong.”
“O tidak,
sungguh bukan, Kakang Mbok. Mengapa Kakang Mbok begitu buruk prasangka?”
“Saya hanya
berkelakar. Tetapi inti percakapan: kau harus berubah. Mosok sudah tua begini,
lelaki lagi, masih minta boneka.”
“Apakah barangkali
nasib adinda sudah terlanjur jadi penerima cipratan terlalu banyak dari Dewa Kamajaya,
Kakanda?”
“Boleh jadi,
boleh jadi. Adikku. Ooh, andaikan kau bukan insan sekandung selingga,
barangkali sudah lama saya racuni. (Jangan terlalu keji kata-kata, Kakang
Mbok.). Biar! Biar kau merasa. Saya pun wanita. Saya sungguh ikut merasa
tertusuk setiap kali melihat kaum lelaki begitu sewenang-wenang terhadap kaum
saya, tetapi tak perlu disuwir-suwir lebih
lanjut. Pendek kata: jangan melibatkan orang lain. Dia istrimu, bonekamu!
Sudah, kalau kau pria lelaki, langsunglah menghadap Sri Susuhunan. Kan
penculiknya putra Susuhunan sendiri. Langsung, jangan suka pakai jalan
berbelok-belok tanpa kiblat.”
Tumenggung
Wiraguna hanya dapat diam bernapas panjang. Sudah terlanjur. Ia memohon diri.
Suatu petang
Slamet pergi ke sudut pasar untuk membelikan jahe, kunir dan temulawak untuk
dapur Wiragunan, karena sepulang dari keraton, Tumenggung Wiraguna merasa
sakit. Sebetulnya Duku-lah yang disuruh, tetapi karena baru keramas rambut,
Slamet bersukarela. Untuk itu ia agak melingkar jalan karena ingin tahu suasana
di sekitar istana Putra Mahkota yang tak jauh letaknya dari puri Tumenggung
Singaranu. Sungguh mengherankan. Mengapa semua serba sepi sunyi?
Tetapi segera
terperanjat ia mendengar teriak-teriak bengis dari balik pagar keliling rumah
seorang petinggi dekat Puri Aria Mataram. Spontan Slamet lari dan bersembunyi
di belakang semak-semak muka pagar. Dari celah-celah pagar dolog-dolog jati, Slamet
melihat dengan muka pucat suatu lakon penegak bulu tengkuk. Sepasukan prajurit
menyeret seseorang yang sudah mulai memutih rambutnya dan beberapa wanita yang
rupa-rupanya istri-istri orang tua itu. Rintihan dan tangis wanita-wanita itu
tidak digubris oleh para algojo, dan serentak korbankorban yang diseret tadi
ditusuki keris-keris bertubi-tubi di bawah hujan pekik komando, sehingga
tinggal seonggokan gumpalan-gumpalan daging berdarah yang mengerikan. Tangis
teriak anak-anak terdengar juga dari dalam rumah. Beberapa saat lagi padamlah satu
per satu teriak dan tangis yang menyayat-nyayat itu. Beberapa komando nyaring
masih meledak, derap kuda-kuda semakin hilang, dan semua kembali sunyi. Sunyi
sepi mirip masa wabah sampar. Oh, baru sekarang Slamet tahu, mengapa di
jalan-jalan sekitar istana Aria Mataram tak tampak seorang pun. Bersyukurlah
Slamet bahwa pada saat terakhir ia masih dapat bersembunyi. Bagaimana
seandainya… tetapi ada apa ini semua? Keluarga siapa tadi yang dihabisi? Pasti
ini perintah keraton, sebab tidak ada ningrat satu pun, meski yang berpangkat
tinggi sekalipun, akan berani membuat pembunuhan di siang bolong, lagi begitu
dekat dengan istana-istana Putra Mahkota dan Patih Perdana Singaranu. Setelah
dilihat semua aman, berlarilah Slamet melalui jalan pintas menyusur selokan, kebun-kebun
pisang, dan pematang sawah menuju Puri Wiragunan.
Di halaman
dapur, Slamet dikerumuni abdi-abdi lelaki perempuan yang dengan suara teredam
menanyakan dan menanyakan lagi yang ia lihat tadi. Beberapa abdi dalem dari
kandang kuda dan gudang perbekalan petang itu masih menambah lagi desas-desus
berita tentang pelaksanaan hukuman mati kepada pegawai-pegawai tinggi
pendamping Pangeran Aria Mataram.
“Tumenggung
Wiraguna itu sungguh sakit ataukah ada apa-apanya?” tanya Slamet malam itu
kepada istrinya.
“Saya
mendengar dari Putri Arumardi, beliau sangat dimarahi Susuhunan.”
“Mosok? Lha
gandek-gandek Den Mas Jibus, bukankah justru mereka yang dibunuh?”
“Memang. Bagi
Duku sendiri belum jelas duduk perkaranya.”
“Jangan-jangan
yang membunuh mereka Wiraguna sendiri.”
“Itu tidak
mungkin. Jelas ini perintah istana.” “Apa yang dikatakan Putri Arumardi?”
“Prihatin. Pokoknya prihatin. Pastilah akan ada taufan badai sebentar lagi,
begitu beliau.” “Kaum bangsawan ini tahunya hanya saling bunuh-membunuh saja.”
“Ah, garong-kecu pun begitu.”
“Nah, tepat.
Apa bedanya?”
“Sssst! Jangan
keras-keras.”
“Tapi, betul
apa tidak?”
“Ya betul,
tetapi…”
“Ya sudah.”
“Mas…”
“Apa…?„
“Lusi menunggu
kita.”
“Ya, kukira
begitu…” Dipandangnya istrinya. Wanita yang telah berbuah sungguh kelihatan
segar dan lebih bersinar. Di tengah suasana suram dan berita buruk, justru
lebih memancarlah lagi dia.
“Ya, Lusi
menunggu… tetapi tidak hanya Lusi.”
“Siapa?” tanya
Duku dengan dahi mengernyit.
“Mosok tidak
tahu.”
“Siapa?” tanya
dungu si wanita.
“Seseorang
dari Pantai Utara.”
“O, ya? Siapa
dia?” Lucu dan menggemaskan wanita yang seluruh sosok wajahnya serba bertanya.
Bertanya dekat artinya dengan menaruh kepercayaan.
“Namanya
Slamet.”
“Oooh!” Dan
berubah langsung seluruh wajah Duku, seperti kotak jati yang tiba-tiba terbuka
dan menyinarkan segala cerlang harta ratna di dalamnya. Ikhlas tuntas Duku
merebahkan kepalanya pada bahu dan leher suaminya, membiarkan jari-jemari
Slamet melepas ujung setagen istrinya. Sungguh, dalam saat-saat yang serba
gelap dan rnengerikan, Duku sangat membutuhkan kehadiran suaminya. Hadir di
dalam dia. Sampai luluh lebur segala rasanya. Kalau sudah demikian, Duku merasa
menghirup sungguh keteguhan yang tiada tara. Dan semogalah meneguhkan
Slamet-nya juga. Pohon naungan, bumimu ria diakari. Biar buah-buah memegah.
Perahu andalan, rela aku kau emban. Demi pelampauan cakrawala.
“Bagaimana,
Slamet?” tanya Putri Arumardi. “Kira-kira sanggupkah kau?”
Slamet
menunduk diam. Akhirnya, “Bila itu memang kehendak Puan Putri, tentulah Slamet
sanggup.”
“Aku percaya
padamu, Slamet. Tetapi ini sungguh bukan Arumardi yang menghendakinya. Nyai
Ajeng yang penting. Apakah Slamet yakin sendiri, bahwa ikhtiar istri perdana
Tumenggung Wiraguna ini baik atau tidak? Sepantasnya dicoba ataukah… ya bagaimana?”
“Yang tidak
berhak memiliki tentulah tidak boleh menyimpannya pula, Puanku.”
“Ya, itu
jelas. Tetapi saya merasa, sebaiknyalah ini kau bicarakan dulu dengan istrimu.
Sungguh, Nyai Ajeng-apalagi Arumardi-tahu betapa besar bahaya dalam usaha
membebaskan Tejarukmi dari sangkar tahanan di Aria-Mataraman. Oleh karena itu
janganlah pertimbangan Nyai Ajeng kau bobot sebagai perintah atau permintaan
yang harus kau penuhi.”
“Abdi Puan,
Slamet sudah berhutang budi terlalu banyak kepada…”
“Jangan! Saya
tidak mau kau bicara begitu. (Maaf, Puanku. ) Slamet dan Duku adalah adik-adik
Arumardi. Tidak ada itu hutang budi. Jangan lagi kudengar kata itu, Slamet. Dan
sekali lagi, beberapa istri Kakangmas Wiraguna-lah yang mengusulkannya. Hanya
karena Arumardi paling dekat dengan kalian, saya disuruh kepadamu.”
“Sudah
semestinyalah segala keinginan putri-putri bangsawan yang beralasan mulia
menjadi keinginan kami berdua juga.”
“Tetapi ini
harus kau bicarakan masak-masak dulu dengan Duku. Bahayanya terlalu besar,
walaupun saat ini Raden Mas Jibus sedang remuk terkena amarah Susuhunan
ayahnya. Biar. Biar dia merasa bagaimana seharusnya menjadi putra pewaris
Adiprabu Hanyakrakusuma yang kesuma budi dalam ulah dan olah. Bicarakan dulu
dengan Duku. Nyai Ajeng dan beberapa garwa selir baru pada tingkat berpikir dan
menimbang. Belum meminta sungguh. Apalagi memerintah. (Hamba paham, Puanku.)
Baiklah kalau begitu. Dan tentulah, jaga rahasia!”
Bersembah dan
mundurlah Slamet. Dengan hati berat tetapi tak gentar akan dia tempuh bahaya
tanpa ragu. Hanya bagaimana dengan Lusi dan ibunya… ? Sudah bahagia mereka
diperkenankan mengenyami lagi suasana kemerdekaan dan damai hati di
Bangkawa-Kulon. Si Bayi dan ibunya tampak memekar, dan Slamet sendiri hanya
dapat diam tertegun karena begitu bahagia bila melihat kedua kekasihnya
berkembang dan memenuhi seluruh jiwanya yang hanya mampu bersiteran tanpa nada
dalam hati. Dan sekarang, ah, kejam tanpa sengaja Nyai Ajeng dan garwa-garwa
selir itu. Bersyukurlah Slamet, bahwa Putri Arumardi sendiri tidak mendukung
gagasan untuk menculik Putri Tejarukmi itu dari tahanan Putra Mahkota. Bukan
penculikan sebenarnya, tetapi penuntutan pengakuan atas hak Wiraguna,
pengembalian kehormatan dan martabat seluruh istri dan penghuni Puri Wiragunan.
Menggerutu
juga sebetulnya Slamet dalam hati. Apa urusannya dia dengan si Kakek pembunuh
gadis Mendut yang dulu pernah diam-diam ia taksir itu, ah, nun di kala itu.
Cinta monyet, akui sajalah, tetapi indah; dan citra Mendut tetaplah citra
kemanisan yang pernah mendorongnya giat bersemangat mempelajari sungguh-sungguh
seni karya nelayan dari Kakek Siwa. Nun di kala itu. Tetapi seolah baru kemarin
rasanya. Akan omong apa si Duku kira-kira? Sudah reda dia dan dapat sedikit
memaafkan Wiraguna karena jujur pengakuan kesalahannya dalam peristiwa Mendut
dulu itu. Hanya sedikit maafnya, tetapi cukup. Namun kadang-kadang, timbul soal
semacam Tejarukmi ini, urusan paksaan terhadap wanita, luka hati Duku menganga
lagi dan rasa bencinya kepada kaum bangsawan berkobar lagi. Tidak baik sebetulnya
luka-luka yang baru saja menutup digores-gores lagi. Dia sudah memperoleh damai
dan bahagia dengan si Lusi. Mengapa harus diganggu lagi? Tetapi bagaimana dia
harus menjawab Putri Arumardi?
“Untuk apa
sih, mereka ribut-ribut sampai begitu? Apa Wiraguna sebagai lelaki, apa lagi
Panglima Besar Mataram tidak bisa mengurusi sendiri istrinya?” tanya Duku
kesal.
“Aku sendiri
tidak mudeng juga.
Mungkin dia merasa harus berhati-hati menghadapi Raja.”
“Lalu
wanita-wanitanya yang disuruh berlepotan getah dan beliau makan nangka
manisnya? Ya ya ya, begitulah lelaki.” Tertawalah Duku. “Kadang-kadang kau
begitu juga,” sambil mencubit tangan Slamet.
“Soalnya,
kadang-kadang kau sendiri yang memintanya,” tangkis Slamet.
“Apa tak
boleh? (Dan manislah senyum kerlingnya.) Mulai sekarang dilarang memanja
suami?”
“Ya! Mulai
sekarang dilarang. Tetapi larangan itu saya cabut!” Dan dipijatnya hidung Duku
di antara jempol dan jarinya. Dibalaslah Slamet dengan pukulan kecil kepal
Duku.
“Sudah!
Seperti anak kecil saja. Itu, dilihat si Bayi. Tersenyum Lusi kita.”
“Siapa yang
mulai, ya Lusi, ya? Lusi, Lusi, Lusiii. Siapa yang nakal? Bapakmu atau ibumu?
Bapakmu, ya? Yang nakal siapa, ayo Lusi, Lusi? (Jangan dicium berlebihan
begitu, nanti tercekik tak dapat bernapas dia.) Tercekik, tercium, tercekik,
tercium, Lusi Lusi Lus, bapakmu Lus, Lus, Lus, cemburucem burucem buru rucembu
l, Bapakmu nakal, ibumu gatal. Bapakmu cibut, Ibumu cubit.”
“Bagaimana?
Harus menjawab apa aku kepada Putri Arumardi?” potong Slamet karena kelihatan
Duku menghindar. Tentu saja dia menghindar, pikir Slamet tak sedikit bangga.
Kentaralah bahwa istrinya melekat padanya dan tidak suka kedamaian keluarga
diganggu lagi oleh mereka-mereka itu.
“Lus! Ayo,
Lus. Jawab bapakmu. Uuuuh! Gendon mata cemplon! Heeeei, ketawa. Ada boneka
ketawa. Dari mana, kok bisa ketawa. Siapa yang mengajari? Tu tu tu itu, ketawa
sama bapakmu, Ndon. Jangan kepada ibumu saja. Nah, nah, begitu. Itu bapakmu,
tahu? Mosok pura-pura tak kenal. Sungguh itu Bapak. Ayo, cium bapakmu. Cium!
Naah, naaah, bagus! Begitu! Ayo, ayo digendong sama bapakmu. Lho, lho lho, kok
cemberut? Lho, kok mau nangis? Itu bapakmu, dikira siapa? Ya sudah, sama-sama
digendong. Lusi digendong Ibu, dan Ibu digendong bapakmu. Ayo, sama-sama. Naah,
enak ya digendong ya? Aduuuh, enaknya. Yaaaa, sekarang kau ketawa si Lusi ini.
Dan bapaknya ketawa juga.”
Wah, pikir
Slamet, ketawa sih ketawa, tetapi kecut juga kecut manislah. Jelas, tanpa kata
Duku menyatakan tidak rela Slamet memenuhi permintaan para istri Wiraguna itu.
Sebagai suami Slamet bangga, tetapi sebagai abdi yang harus bersifat ksatria?
Mengapa justru
suami Duku yang dipilih?
“Kami kan
hanya kaum nelayan saja?” tanya Duku kepada Putri Arumardi, sambil menggendong
anaknya.
“Untuk tugas
semacam ini, bukan otot atau ketajaman keris yang diminta, tetapi kecerdasan.
Tetapi janganlah salah paham, Duku-ku sayang. Ini sebetulnya bukan penugasan,
sama sekali belum permintaan. Baru seandainya. Seandainya ini dilakukan, apakah
kiranya, barangkali, boleh jadi Slamet mau… dan diizinkan istrinya?”
“Ah, Putri
Arumardi, kami sudah banyak . berhutang budi. (Berhenti! Jangan omong tentang
hutang budi, aku tak mau.) Maafkan hambamu, Putri tersayang, maksud Duku: demi
tugas yang mulia Slamet tanggung mau dan berani. Hanya perbolehkanlah Duku dan
Lusi ikut. (Masya ‘Allah! Kau dan Lusi? Jangan. Mosok, anak kecil dan ibunya
ikut.) Jika boleh bertanya Slamet diutus untuk berbuat apa?”
“Akan
kukatakan. Tetapi sini, bolehkah Arumardi menggendong Lusi? (O, silakan,
silakan. Lus, Lusi, kau tersenyumlah. Putri yang paling budiwati di seluruh
Mataram akan menggendongmu. Ayo! Tersenyum! Nah, begitu. Biar kau jadi budiwati
juga seperti beliau.) Aduh, kok berat ya anakmu. (Mungkin karena
tulang-tulangnya dari seorang nelayan.) Oh, nelayan kan ringan. Agar tak mudah
tenggelam. (Jangan-jangan tulang ibunya yang berat.) Nah, kalau itu, aku
percaya. Penunggang kuda yang terlalu ringan mudah terpental terbawa angin.
(Ah, pintar sekali Putri Arumardi berkelakar. )”
Tersenyum
Putri Arumardi memandang dalam ke bayi dalam pelukannya, lalu kepada ibunya.
“Semakin
kembar dengan kau, Nduk, anakmu ini„
“Ah, mana ada
ibu kembar dengan bayi.” Tertawalah Duku pura-pura tidak setuju tetapi dalam
hati senang.
Tetapi Putri
Arumardi kini suram serius.
“Begini, Nduk,
kau kan tahu bagaimana Kakangmas Tumenggung terkena amarah Susuhunan. Ah,
sebetulnya semua, semua terkena amarah. Mungkin hanya Tumenggung Singaranu saja
yang tidak. Tidak sedikit petinggi dan perwira dari puri Putra Mahkota dihukum
mati, karena mereka terlibat langsung dalam rencana dan pelaksanaan penculikan.
Untung dulu itu Slamet dapat bersembunyi. Tumenggung Danupaya dilepas dari
jabatannya selaku patih, dan Tumenggung Sura Agul-agul bukan panglima lagi.”
“Tetapi salah
apa mereka?”
“Ah, biasa.
Mereka dimintai nasihat Kakangmas Wiraguna.”
“Juga Pangeran
Alit?”
“Ya, ternyata
beliau juga. Kami di Wiraguna baru tahu dua pekan yang lalu. Kakangmas Wiraguna
merahasiakan semua itu, sih. Tetapi sekarang akhirnya semua bangsawan tinggi
tahu. Pangeran Alit-lah yang menyampaikan berita sedih tentang kelakuan
Pangeran Aria Mataram. Tetapi malah terkena marah, didakwa Baginda, Pangeran
Alit mau menjelek-jelekkan Pangeran Aria Mataram agar beliau sendiri dipilih
menjadi putra mahkota yang lebih pantas daripada Raden Mas Jibus.”
“Ah, kasihan
juga beliau. Mungkin kurang pintar cara pengaduannya.”
“Ya, memang
kasihan Pangeran Alit ini. Orang baik hati, tetapi justru karena itu beliau
terlalu cepat dan jujur bergerak langsung. Sayangnya, Pangeran Alit mudah
terbakar perasaannya dan kurang cerdas.”
“Pilih mana,
Putri Arumardi: pilih raja yang baik hati tetapi kurang cerdas, ataukah raja
pintar tetapi penyambar perempuan.”
“Huss! Kau ini
kalau omong! Seperti di tengah sawah saja. Kalau disuruh memilih, Arumardi
memilih Ni Duku sebagai Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram.”
“Aduh, minta
ampun, Putri Arumardi. Duku senang jadi istri nelayan, dan penegar kuda
sajalah, asal boleh aman tenang membesarkan Lusi.”
“Lusi-mu ini
kelak akan menjadi Srikandi, percayalah. Lho, lho, eeh ingin pulang ke ibunya. Saya
ini juga ibumu lho, Lusi. Ya sudah, belum mau dia. Aduh, kalau sudah tidak mau,
benar-benar tidak mau Den Ayu kecil ini. Nah, pulang, pulang ke ibu Duku. Cup!”
“Ibunya lebih
senang ia jadi orang biasa saja di pantai begini,” kata Duku sambil menerima kembali
anaknya. “Uuh! Anak nakal. Jadi apa kau kelak nanti? Srikandi atau Srikendil?”
“Sudah, kita
tidak boleh mendahului- pepestening
para jawata.[1]) Yang diharapkan,
nah, yang sedang dipikirkan Nyai Ajeng sebetulnya hanyalah: menjajagi.
Bagaimana sebetulnya kehendak Aria Mataram itu. Sekarang beliau ini kan sedang
tirakatan keras. Puasa dari segala yang nikmat. Makan-minum hanya nasi putih
dengan gereh, tempe godog tanpa garam, paling
pol sambal tanpa trasi. Minum hanya air bening atau air degan. Tuwak tidak,
arak tidak, pantang dan puasa.”
“Pura-pura
saja atau bersungguh-sungguh?”
“Ya, mana kami
tahu. Yang jelas, sekarang beliau meguru, belajar
mengolah kebatinan pada Kiai Guru-nya sejak beliau masih anak-anak.”
“Apa dulu si
siswa juga mendapat pelajaran memburu perempuan?”
“Husy! Kau
ini, Nduk. Omongmu. Omongmu!”
“Maaf, Putri
Arumardi. Tetapi Duku tak habis heran, beliau kan sudah punya wanita banyak. Bahkan
Putri Pangeran Pekik dari Surabaya pun sudah diangkat menjadi permaisuri
beliau. Mau apa lagi?”
“Ada tiga
macam wanita, menurut almarhumah Ni Semangka. Masih ingat?”
“Oh, Ni
Semangka, kitab-ajar dalang yang hidup. Masih ingat. Tentu masih ingat. (Nah,
pertama?) Pertama: wanita jamang
mustaka.[2]) (Artinya?)
Hiasan, penjunjung martabat suami. Ratu, penjamin tahta kedudukan. Seperti Nyai
Ajeng.”
“Ssyt! Jangan
sebut nama. Yang kedua?
“Wanita guling gulung.[3]). Artinya…
(Yang ketiga!).
“Wanita Sri-Sadana,[4]) wanita
sahabat.” “Nah, mungkin beliau baru punya yang pertama dan yang kedua.”
“Siapa mau
bersahabat dengan…”
“Sudahlah,
Nduk. Serahkan itu kepada Kiai Guru beliau.”
“Betulkah
Raden Mas Jibus (Aria Mataram! Bukan Jibus lagi!) memang meguru sekarang?
Istri-istrinya lalu ditinggal?”
“Mungkin hanya
selama tirakatan ini. Tetapi istri perdana Tumenggung Singaranu pernah berbisik
kepada Arumardi, bahwa sejak peristiwa satu itu dilaporkan ke Susuhunan, sejak itu
Pangeran Aria Mataram tidak pernah mau lagi bertemu muka, jangan lagi karonsih dengan wanita
siapa pun.”
“Apa ada
perintah dari Ayahanda?”
“Sukarela,
menurut yang saya dengar.”
“Jangan-jangan
hanya untuk mengambil hati Susuhunan… ?”
“Tidak
mustahil. Tetapi itu urusan beliau. Yang penting bagi kita hanyalah…”
“Tejarukmi
tentu saja?”
“Ya, kau
sayang padanya, bukan?”
“Pada
pandangan pertama. Tetapi pada pandangan selanjutnya… ?”
“Memang anak
itu masih terlalu mudah digoyangkan angin. Tetapi kita dapat menolongnya.”
“Kalau Putri
Teja mau ditolong.”
Diamlah Putri
Arumardi. Betul juga si Duku ini. Mungkinkah Arumardi tanpa sadar telah
terseret juga ke dalam penalaran yang pada dasarnya tidak berakar pada niat
menolong Tejarukmi, tetapi pada nafsu ingin menjaga nama dan kehormatan Puri
Wiragunan? Tetapi apakah menjaga gengsi suami itu keliru? Menurut adat ningrat
itu bahkan kewajiban. Demi yang benar atau salah tak peduli. Dari percakapan,
sebetulnya Arumardi sudah dapat tanggap
ing sasmita,[5]) bahwa
Duku dan Slamet segan mempertaruhkan nyawa hanya untuk membuat senang sebuah
puri bangsawan. Apalagi demi Wiraguna yang pernah membunuh pujaan dua orang
itu. Akan membawa jawaban apa Arumardi untuk Nyai Ajeng beserta kakang-kakang
mbok lainnya? Ah, barulah terang sekarang bagi Arumardi, betapa kejam, paling
tidak kurang peka rasa kaum Wiragunan terhadap Slamet, Duku, dan Lusi. Apakah
udara terkungkung di antara tembok-tembok perkasa selalu membuat penghuni
setiap istana tertembok juga menjadi kaum yang tak tahu seluk-beluk
kebijaksanaan yang lebih manusiawi? Sedangkan Duku yang banyak dan suka
menghirup udara kemerdekaan padang dan laut akhirnya lebih arif dalam melihat
inti perkara?
Melihat puan
tersayangnya kelihatan bingung, Duku merasa kasihan juga. Bagaimana menolong
Putri Arumardi? Tentulah beliau itu terhina oleh ulah Putra Mahkota yang
memalukan itu, walaupun dalam banyak hal beliau bukan kaum swarga nunut neraka katut dari
suaminya. Bagaimanapun, menurut adat terhormat dan keramat, Tejarukmi diperoleh
Tumenggung Wiraguna secara sah.
“Putri
Arumardi, keberhasilan ikhtiar Nyai Ajeng untuk membebaskan Putri Tejarukmi
seluruhnya tergantung pada tanggapan Putri Tejarukmi sendiri. Pada sikap ingin
bekerja-samanya. Tanpa itu kemungkinan banjir darah tak akan ada batasnya. Dan
mungkin sekali Putri Tejarukmi sendirilah yang menjadi korban. Oleh karena itu,
Putri Arumardi, sebaiknyalah kita menyelidiki dulu, ke mana sebenarnya Putri
Tejarukmi ingin pergi. Sebelum kita berbuat sesuatu yang kelak kita sesali
sendiri. Mohon pertimbangan, Putri Arumardi.”
Diam penuh
sayang istri Wiraguna itu memandang wanita muda di mukanya. Matang terbentuk
oleh badai dan gelombang waktu, wanita yang dulu hanya disebut si Genduk ini.
Senyum disusul kecupan. Balasan pipi kepada pipi.
“Nanti Duku
sendiri yang ke sana, Puanku sayang. Duku sendiri,” bisik Duku di telinga
Arumardi. “Wanita-wanita tingkat tumenggungan jangan dulu menangani langsung.
Serahkan kepada hamba dan suami hamba.”
Kata tanggapan
belum mampu terlahir oleh mulut istri terbaik Tumenggung Wiraguna itu, tetapi
pipi dan jari-jemari, mata dan tetesan embun darinya mampu mengungkapkan restu.
Sekarang Arumardi yakin, bahwa rencana Nyai Ajeng sungguh terlalu berbahaya.
Persoalan sudah terlanjur diletakkan langsung dalam tangan Susuhunan. Tanpa
sepengetahuan Raja, segala tindakan yang keras dan menghebohkan pasti hanya
menambah amarah singgasana. Danupaya dipecat, panglima lasykar, Sura Agul-agul,
disingkirkan, dan putranda sendiri, Pangeran Alit, dipanahi kata-kata keras di
muka umum; begitu pula Panglima Besar kerajaan. Padahal justru Wiraguna-lah
yang paling terkena hinaan. Namun lega semualah, Putra Mahkota pun cukup keras
mendapat hukuman. Dua puluh orang pembantu dekatnya dibunuh. Bahkan untuk waktu
tak terbatas Pangeran Aria Mataram harus enyah dari penglihatan Baginda, suatu
hukuman yang sangat berat, nyaris hukuman mati, bagi seorang priagung setingkat
beliau.
“Duku
membutuhkan pengawalan pasukan?”
“Maaf, Putri
Arumardi, dua orang prajurit saja, tetapi berpakaian seperti petani biasa. Dan
surat jalan dari Nyai Ajeng.”
“Hanya itu?.”
“Dan sudi
tolonglah, Putri Arumardi sementara jadilah ibu si Lusi.”
“Oooooh!
Tentu, tentu. Nah, Lusi? Masih tetap kau tidak sudi dipangku Bibi?”
“Ayo, Lus!
Ayooo, wah, matamu membelalak mau tanya apa? Nggak apa-apa. Lihat tuh, beliau
senyum kan? Senyum seperti Ibu, kan? Nah ayooo.”
“Nah! Ayu!
Lusi ayu sudah mau. Tidak! Tidak, Ibu tidak pergi. J angan takut. Lusi manis
tak perlu menangis. Nanti rupa jelek seperti manggis. Naah, tersenyum beliau,
sang Srikandi kecil.”
“Alias
Srikendil. ”
“Ah, jangan.
Kasihan. Molek begini kok Srikendil. Ibu kejam, ya? Lusi, jadi apa Lusi kelak?
Sri… kaaan… hayo hayo, jangan dil, tetapi ndil!” Tertawalah si Bayi. Dan ibu-ibunya
juga.
Dulu, sehari
sebelum melarikan diri, Pestih pernah menyampaikan bungkusan kecil yang isinya
masih tersimpan rapat dalam sebuah bumbung bambu yang disembunyikan Slamet di
atas balok blandar ruang
tidurnya. Bekal untukmu, pesan tawanan Peose itu, siapa tahu sekali saat kau
membutuhkannya. Tanpa banyak pikir Slamet dan Duku membuka bungkusan yang
ternyata kotak kayu mindi. Ketika dibuka, alangkah terkejut mereka, sebab
isinya apiun, zat
sangat mahal karena mengandung kekuatan impian gaib. Memang para tawanan rambut
jagung itu sering mendapat bingkisan dari Betawi, modal untuk hidup, karena
para pejabat Mataram tidak mau memberi nafkah kepada mereka. Di Trunyam
terutama, tetapi di Taji dan Kaliajir juga, pintu-pintu gerbang Kutanegara,
masyarakat sudah tahu, kalau ingin mencari apiun, pergilah ke orang-orang Cina
atau lebih murah ke tawanan-tawanan bule Peose yang selalu kelaparan itu.
Slamet yang sering singgah ke kota-kota pantai telah melihat zat kelabu
mengkilau yang disebut apiun itu, dan sering melihat orang-orang menghabiskan
uang hanya untuk membeli firdaus-impian-sesat, tetapi akhirnya menjadi mayat
berjalan. Duku pun pernah mendengar tentang daya gaib apiun yang konon
menikmatkan indria itu.
Di Wiragunan
ada juga beberapa garwa selir yang sering sembunyi-sembunyi minum candu, tetapi
mereka biasanya adalah istri-istri yang tak pernah lagi dipanggil untuk karonsih dengan tuan
mereka. Layu lagi loyo mereka, jauh menyedihkan daripada lelaki yang sama-sama
terbudak oleh zat kelabu apiun itu. Jika hal itu sampai terdengar oleh sang
Tumenggung, maka biasanya, untuk menjaga nama Wiraguna, dan lebih lagi jangan
sampai tertimpa amarah Susuhunan, wanita-wanita yang serba kerempeng kempot lang-lit tak
ketolongan itu akan terkena perintah dihabisi nyawanya. Diracun atau dicekik
dengan selendang selama mimpi nirwana indah. Sebetulnya asal saja para
bangsawan pria maupun wanita itu tahu batas, dan penampilan diri tidak
keterlaluan, “ibadat” apiun itu masih dapat dibiarkan. Asal sembunyi
sajalah. Ngono ya ngono ning
aja ngono.[6])
Dengan bekal
apiun sedikit hadiah dari Pestih yang selama itu tak pernah tersentuh oleh
Slamet dan Duku, keempat orang utusan kaum istri Wiraguna itu berangkat dari
Bangkawa Kulon, menyamar sebagai penjual tikar, pergi menuju ke bukit
Aria-Mataram yang oleh pemilik agungnya telah diberi nama Arga Tejakencana itu.
Untunglah apiun itu tidak jadi dibuang ke laut, seperti niat Slamet semula.
Soalnya ia dan Duku khawatir, jangan-jangan apiun akan dimakan ikan, ikan
dijaring nelayan, lalu malapetakalah. Kalau dibenam dalam tanah, masuk perigi,
atau entahlah, berbahaya lagi. Sekarang masih berguna sedikit. Dengan modal
apiun ini, diharapkan Duku berhasil masuk ke dalam halaman keputrian, dan…
berdebar-debarlah jantung Duku. Gila sungguh nekat rencana ini. Tetapi Duku
akan berlagak biasa, seandainya Putri Tejarukmi terkejut dan spontan membuka
rahasia siapa wanita yang menjual apiun ini. Nanti Duku masih dapat mendongeng
tentang suaminya yang ingin membeli layar untuk perahunya, tetapi malu untuk
meminta biaya dari Puan Arumardi atau dongeng lain. Akan dikatakan, mereka lalu
mencoba mengumpulkan uang dengan menjadi perantara seorang Cina penjual apiun
dan sebagainya; karena tahu adat kaum puri dan sebagainya, dan seterusnya.
Tidak. Tidak berbahaya sama sekali walaupun tentu saja membuat jantung
berdebar-debar.
Slamet dan dua
pengawal masing-masing menuntun kuda kecil bermuatan tikar-tikar yang dipilih
paling halus dan elok anyamannya, dan yang akan dijual. Dua pengawal itu
bertugas menunggu di luar tembok pagar bumi sisi belakang, agar setiap saat
dapat menolong Duku dan Slamet, seandainya sampai tersudut terpaksa lari
melompati dinding.
Untung apa
sebetulnya Duku-Slamet dengan segala petualangan ini? tanya diri Duku tak
habis-habis. Demi apa ya, demi apa? Entahlah. Pokoknya Duku-Slamet telah
sepakat, jasabakti, ya hanya jasabaktilah. Tegas-tegas disadari: tidak untuk
membela martabat Wiraguna. Juga tidak melulu mempertahankan kesucian Tejarukmi,
itu urusan si wanita muda itu sendiri dengan kaum Wiragunan dan Jibusan. Tetapi
untuk… ya, apa ya namanya; Duku sendiri tidak dapat memberinya nama. Slamet pun
hanya berkata, pokoknya karena merasa harus berbuat begini, entah disebut apa.
Yang jelas: sepi ing
pamrih.[7])
Ataukah semua
ini sebenarnya merupakan sebentuk balas dendam terselubung terhadap Wiraguna?
Tetapi balas dendam dalam arti khusus, yang berniat membuktikan, betapa sering
lebih mulia ningrat rakyat kecil dibanding dengan kaum bangsawan; keningratan
sikap, jiwa-dalam yang lebih sejati daripada keris dan emas? Itukah? Ataukah
sesuatu bentuk kekayaan budi yang ingin mereka wariskan kepada Lusi? Boleh
jadi. Tetapi gagasan demikian sebaiknya disimpan saja dalam hati. Hanya sebagai
cadik-cadik samping sampan yang membantu keseimbangan perahu. Bukan sebagai
layar.
———-
[1] nasib yang sudah
ditentukan para dewata
[2] mahkota
[3] guling-bergulungan
[4] figur dongeng
wayang, kakak-beradik yang saling cinta mencintai
[5] memahami;
makna/tanda
[6] Boleh begitu,
tetapi jangan begitu
[7] tanpa maksud
sampingan untuk diri sendiri
Cantik, tetap
cantik, Tejarukmi. Tetapi pucat dan kurus. Dan tak tentram. Dua bola matanya
tampak bergerak seperti layang-layang, tersendal-sendal tak mau mengangkasa.
Terlalu kerap bulu-bulu mata yang indah itu berkelepar. Sampai sekarang perhitungan
Duku untuk menerobos ke dalam pingitan Puri Tejakencana tidak meleset; dan
Putri Tejarukmi sendiri pun untunglah cukup tahu memanfaatkan kesempatan
hiburan, bersua dengan orang yang ia kenal di tengah lingkungan yang serba
asing tak ia senangi itu. Dengan alasan si Duku tukang pijat yang sudah ia
kenal baik sejak kecil, Duku diajak masuk ke dalam ruang tidurnya untuk diminta
jasanya. Anak ini cerdas sesungguhnya, pikir Duku. Sayang tidak terarah betul.
Terlalu loncat-meloncat segalanya. Dari anak pegawai rendah jurukunci makam,
melejit ke ruang-dalam Panglima Besar Mataram. Dan sekarang bahkan di dalam
pesanggrahan asmara Putra Mahkota.
Tetap cantik
memanglah cantik, Tejarukmi ini. Untunglah pesanggrahan tempat ia dipingit
terletak di luar kota; apa tadi, Puri Tejakencana namanya? Lebih tepat
Jinjibusan.
Sesampainya di
ranjang Tejarukmi langsung merebahkan diri, menangis. Duduk di samping tubuh
semampai si wanita yang sebetulnya masih terlalu muda untuk langsung
dijerumuskan ke dalam hidup puri yang kejam, Duku hanya dapat menyeka dan
membelai insan penuh kebingungan ini. Dengan kata-kata hiburan lembut Duku
membiarkan Tejarukmi tuntas menangiskan kegalauannya. Kenyataan ternyata hanya
seperti emas fajar dan berlian embun, lekas menguap warna dan kilaunya.
Pesanggrahan nyatanya penjara, dan para penjaganya berhati dingin. Terasa
kegersangan warangan cemburu atau sikap menghina terhadap wanita ayu muda yang
baru datang terpilih sang kuasa, tetapi yang mereka nilai tidak lebih dari
penzinah rendah belaka. Untuk pulang ke Wiragunan Tejarukmi sangat takut,
karena merasa salah, dulu tidak sangat melawan, untuk tidak mengatakan
mempermudah pelaksanaan penculikan.
“Apa yang
harus saya perbuat, Kakak?”
Terkaca-kaca
Duku mendengar sebutan Kakak dari wanita malang ini. Ah, mengapa orang-orang
kelewat tua seperti Wiraguna itu masih tega mengambil seorang anak jadi istri
selir? Sehingga anak terlalu mudah tergoda oleh tolok perbandingan tak wajar
yang pasti datang dari setiap pria serba bergaya yang masih muda. Segala
yang tak wajar akhirnya mengundang pembalasan. Lebih tepat: gerak pengimbang
yang berniat memulihkan guncangan keselarasan. Apakah tidak lebih baik untuk
jujur saja?
“Adik
Tejarukmi, bisikkan dalam telinga kakakmu. Siapakah sebenarnya yang kau ikuti,
seandainya kau bebas memilih?” Heran bercampur takut sang Teja memandang kepada
Duku, seperti takut terkena jebakan.
“Aku takut
mengatakannya,” katanya terlalu bloon.
“Apakah
kaukira Kak Duku akan mengkhianati Dik Tejarukmi?”
Dia
menggelengkan kepalanya. “Aku serba salah,” tangisnya. “Jika aku katakan cinta
pada Pangeran Mataram, Teja dipersalahkan berzinah.”
“Kalau Adik
katakan, setia kepada Wiraguna?”
“Teja akan
dibunuh di sini. Jangan itu dikatakan Kak Duku. Teja akan dibunuh.”
“Tetapi hatimu
lebih condong ke Pangeran?”
“Apa yang
harus kukatakan, Kak Duku? Beliau pria yang pandai dan mempesona. Tetapi kan
dilarang berzinah?”
“Dik Teja,
sayang, Kak Duku tidak omong tentang berzinah atau tidak. Hanya, hatimu
sebetulnya ingin kau berikan kepada siapa? Kepada Putra Mahkota?”
Tejarukmi diam
saja. Mukanya bahkan dibenamkan dalam bantal.
“Kepada
Tumenggung Wiraguna?” Langsung dia geleng-gelengkan kepalanya. Sekarang giliran
Duku untuk diam. Kalau sudah begini kan sudah selesai sebetulnya soalnya. Apa
guna menculik wanita hanya untuk dipenjara lagi. Bisa gila. Berbisiklah Duku
khusus lirih dalam telinga Tejarukmi.
“Jadi kau
sudah memilih Pangeran Aria Mataram?”
Wanita muda
itu menegakkan diri dan menjatuhkan kepalanya dalam dada Duku.
“Kak Duku,
Teja telah bersalah main-main api dengan Pangeran itu. Tetapi hati Teja
sebenarnya telah diberikan kepada seorang bintara muda yang pernah menolong
Teja. Tetapi ini jangan diceritakan. Nanti adikmu dibunuh oleh Pangeran Aria
Mataram. Dan dia juga.”
Tidak
menyangka sama sekali Duku akan mendengar pengakuan wanita muda seperti itu. Ya
Allah, riwayat kodian yang sama selalu. Gadis bercinta murni dengan pahlawan
hati. Dihalang-halangi oleh kaum yang lebih berkuasa. Mengalah apa boleh buat.
Kemudian berpetualang asal senang. Kecelakaan. Menyesal terlambat. Lalu? O
Teja, Teja, secantik kau, semuda ini, apa santapanmu akhirnya? Darah dan
ketakutan. Apa yang masih mampu Duku lakukan bagimu, Tejarukmi?
“Maaf, Teja,
Duku boleh tahu siapa pemuda cinta murnimu?”
“Dia salah
seorang bangsawan buangan dari keluarga Tepasana. (Tepasana dari Taji?) Ya,
dari Taji ayahnya. (Oh, saya kenal beberapa orang dari keluarga Tepasana yang
di Taji itu.) Ya, keluarganya dibuang ke Taji karena pernah ingin memberontak.
Lalu diserahi tugas di Segarayasa.[1]) Ah, Ni Duku, untuk apa
dikenang lagi, salah seorang putranya pernah menolong Tejarukmi ketika hampir
tenggelam di Opak. Adisana, ya, Adisana nama dia. Tetapi maafkan, Ni Duku, ia
hanya pemelihara ternak dan penjaga miskin pintu air Segarayasa. Teja mengakui,
sungguh salah Teja dulu mau dibujuk masuk puri Panglima Mataram. Tak menyangka
begini jadinya.”
Duku bernapas
panjang. Lakon kodian, dengan Banowati[2])sebagai wayang utama.
“Di mana
rumahnya?”
“Pokoknya juru
penjaga pintu air Segarayasa. Orang di sekitar sana kenal dia. Tetapi mungkin
Mas Adisana sudah lupa pada Tejarukmi. Apalagi sekarang saya sudah begini. Ah,
sepantasnya dia harus lupa.” Meleleh lagi wanita muda belia ini pada dada Duku.
Jangan! Ya
Allah, jangan! Doa Duku dalam hati. Jangan lagi terulang riwayat Rara Mendut.
Sudah cukup. Lebih dari cukup bahan yang perlu diketahui Duku. Cukup? Apa arti
cukup di sini selama Tejarukmi masih ditawan? Terasalah betapa sedih orang yang
sadar tak cukup mampu untuk menolong orang lain. Perlu perbincangan dulu dengan
Slamet.
“Kak Duku,
mengapa tergesa-gesa ingin pulang? Tejarukmi sangat kesepian di sini. Kak Duku
jangan pulang dulu.”
Tetapi
bagaimana mungkin. Berat dan tersayat-sayat di hati, Duku terpaksa meninggalkan
Tejarukmi yang lemas hanya dapat menangis di sutra ranjang. Cium terakhir
ditinggalkan Duku kepada remaja penderita ini. Belaian terakhir. “Sampai bersua
lagi, Adikku.”
Diterangi
sinar bulan yang menjelang penuh, dua orang pria-wanita naik kuda yang berjalan
santai. Kira-kira dua puluh langkah di muka mereka seorang pria tegap berkuda
pula dan dengan jarak yang sama, seorang lagi berkuda di belakang.
“Jalan buntu!
Semakin kutimbang-timbang semakin surut harapan,” kata Duku tiba-tiba memecah
kesepian, sebab sudah berapa lamakah mereka hanya diam berdampingan saja.
“Ya,
rupa-rupanya buntu betul,” gema sedih dari Slamet. Diam sejenak.
“Bagaimana
kalau kita temui pemuda Adisana itu?” usul Slamet.
“Dia
diharapkan membebaskan Tejarukmi? Mana berani.”
“Kita tolong.
Akan kusediakan perahu kecil. Seperti Pestih dan jika dulu mereka bersamaku,
mereka dapat lari lewat laut. Tanpa meninggalkan bekas.”
“Uuuuh,
teliksandi Mataram di segala sudut. Dan lagi, apa Tejarukmi ini sanggup
bertualang?”
“Sudah sekian
banyak pekan berlalu, tetapi Pangeran Aria Mataram masih saja belum diizinkan
bertemu muka dengan Ayahanda Susuhunan. Mumpung dia masih menjadi kepompong di
tempat Kiai Guru-nya, kita cukup bebas berbuat sesuatu.”
“Tetapi
bagaimana dengan Lusi, Mas?”
“Ah ya, memang
betul kau, Nduk.”
“Seandainya
Lusi sudah dapat berlari-lari sedikit, aku berani ikut, Mas.”
“Jangan. Jalan
lain barangkali masih ada.”
“Saya ingin
tahu, pemuda macam apa si Adisana itu.”
“Apa kita
membelok saja ke Taji?”
“Di pintu air
Segarayasa rumahnya. Kita harus ke Kerta dahulu, lalu ke Plered, cukup jauh
bila menunggang kuda kate seperti ini.”
“Jangan. Kita
lapor dulu ke Putri Arumardi. Dengan kuda-kuda yang lebih gesit dan cepat kita
lebih aman.”
“Baik. Tetapi
tidakkah kita sekarang dapat lari lebih cepat? Rasanya sampai kiamat pun kita
belum akan sampai.” Maka dipaculah kuda-kuda mereka. Lusi, Lusi! Jangan
menangis. Ibumu sebentar lagi sudah pulang. Dengan Bapak. Bapakmu!
Tentulah si
Lusi kecil yang merasa ditinggal kadang-kadang menangis bila terasa, ada
sesuatu yang biasanya muncul sebagai penjamin rasa aman, damai, nikmat, kok
tidak kunjung berkunjung. Yang sekarang sering menggendongnya memberi
kenikmatan juga, tetapi yang biasanya itu, yang dulu itu … dan menangislah
Lusi, si Denok elok, si Menuk mlenuk.
Namun lebih
menangis lagi Tejarukmi sesudah ditinggal Ni Duku. Sampai sekiankah kenyataan asmara
gempar yang dulu pernah ia impikan? Hanya satu malam yang pertama itu ia benar
mabuk asmara nikmat dan meledaklah segala impian simpanan remaja tentang
ksatria agung, yang takjub ia kagumi di atas kuda Parsi-nya, di tengah ratusan
ribu rakyat, para ksatria dan para tumenggung, adipati. Gagah gesit bergairah
dia berlomba dengan priagung perdana di seluruh Kerajaan Mataram. Dan dari
lautan manusia, dari sekian ribu gadis dan wanita sampai yang paling ningrat
sekali pun, dialah Tejarukmi, yang terpilih. Siapa tidak akan mongkog bangga, siapa
tidak akan merasa di surga ke tujuh sebagai ratu bidadari, selaku Sembadra yang
ternilai paling mutiara oleh Arjuna sang Tampan sakti sarat martabat? Kemudian
penculikan yang menegangkan namun justru nikmat itu. Meneguhlah rasa diingini,
dihausi, mengenyami nikmat direbut, dihargai lebih dari biasa, ah menggelembung
siap buah-buah dadanya yang bangga membusung. Kasar keras caranya. Dan anehnya,
justru mirasa[3]) penggarapan
seperti itu. Tak pernah terduga, tak pernah termimpi bahwa itu mungkin. Naga
macam apa menyembur-nyemburkan api ke mulut dan rongga Tejarukmi? Lagi,
Tejarukmi tentulah ingin berdandan, tetapi anehnya, menjengkelkan,
dayang-dayang tua memohon, jangan. Rambut terurai, kain sobek dan wajah
memalukan. Tidak, tidak perlu. Bagaimana nanti bila Putra Mahkota datang? Para
dayang itu hanya diam. Membawakan minuman arak dan kue, dan gula-gula berlimpah
mereka. Tetapi pintu kemudian dikunci. Hanya api selusin pelita yang menjadi
teman, seperti sekian lidah-lidah lapar anak-anak naga. Arak terminum
banyak, kemranyas menghangat
di dalam, ya di dalam. Mungkin karena lelah dari segala ketegangan hari Setonan
itu, Tejarukmi tertidur setengah telanjang tak keruan tak peduli, begitu lelah
dan kantuknya.
Kemudian,
kemudian, entah pada kentongan keberapa bangunlah Tejarukmi mendadak… tidak
sendirian… kemudian, aduhai inikah beliau sang Pahlawan alun-alun utara dan
impian Banowati? Bukan seperti yang digambarkan para dalang, tetapi seperti
Setonan itulah ternyata cara karonsih Raden Mas Jibus. Serba bergelora kuda dan
serodokan tombak tumpul, teriring gegap-gempita puluhan gugusan perangkat
gamelan perunggu yang nyaris memecahkan telinga, serba bergebrakan badai dan
sabetan tajam pacu yang menghalilintarkan saraf, baik dari kuda perang maupun
penunggangnya. Dunia kuda lelaki yang meringkik dan membuih di mulut yang
menerjang, yang memburu, yang menggertak, yang akhirnya menggerebek
bertubi-tubi. Ah, rasanya Tejarukmi seperti Baginda sendiri yang menjadi lawan
tangguh dari Putra Mahkota, tetapi akhirnya rela dan senang mau ditombak. Biar
biadab dan liar golak gelut gulung geli, dahsyat tetapi nikmat saling
sembur-menyembur seperti barangkali pergulatan antar naga yang bertungku api di
jerohan, menyala-nyala di mulut, ya sungguh tidak tersangka tidak termimpi,
tetapi pernah nyata.
Satu kali,
lalu sembilan belas kali itu dialami, dicatat dengan goresan peniti di tepi
ranjang. Kemudian hilanglah sang Naga, dan mulailah teraniaya seluruh rongga
wanita Tejarukmi. Haus seperti beberapa dayang tua pesanggrahan yang terlanjur
keranjingan haus apiun. Dari surga ketujuh terhempas di kuali neraka. Tetapi
neraka bukan kawah api luweng seperti
yang sering diceritakan para khotib, tetapi kehampaan serba lolos. Seolah-olah
seluruh tubuh terurai menjadi onggokan yang terdiri dari sekian juta semut ngangrang.[4]) Tangan,
kaki, payudara, perut, rahim, menjadi semut semua. Menangis air mata semut.
Makan, makan semut. Ranjang, dinding, lantai, semut melulu. Serba bergerak
serba lepas mudah tersibak angin atau sentuhan. Terurai tetapi masih hidup.
Hidup tapi terurai. Dan sang Pahlawan menghilang. Merembes juga dalam telinga,
kabar bocor, sang Pangeran terkena murka, dienyahkan dari keraton. Adiprabu
Hanyakrakusuma selama lebih dari sebulan sudah tidak berkenan keluar; mengunci
diri dalam lubuk keramat istana. Tejarukmi sumber malu itu. Bunga menjadi
kecoak, yang setiap saat dapat diinjak mecotot. O,
Kak Duku! Dampingilah adikmu.
Tak tahan
kesunyian, Tejarukmi memerintahkan seorang prajurit berkuda cepat ke Bangkawa
Kulon untuk memanggil Ni Duku. Baru beberapa bulan kemudian Duku disertai
Slamet dapat memenuhi harapan Tejarukmi, dengan membawa sedikit apiun untuk
dayang-dayang prajurit penjaga. Putri Arumardi, yang bersama-sama pulang dari
kesempatan peristirahatannya di pantai, meneruskan perjalanan ke ibu kota,
dengan memberi pesan khusus agar berhati-hati. Sebab melalui seorang utusan
khusus, Nyai Ajeng menulis bahwa payung dan tombak-tombak kewibawaan kehakiman
tinggi telah dipasang lagi di pendapa alun-alun
selatan. Sudah sekian lama tak ada pengadilan tinggi di istana, yang biasanya
dilakukan oleh Baginda Susuhunan pribadi. Jadi, siapa tahu sebentar lagi datang
babak baru, dan Tejarukmi dapat lepas. Asal saja Wiraguna tidak terlalu
berulah. Sampai malam Duku dan Tejarukmi asyik bercakap-cakap melepas rindu.
Slamet tinggal
bersama-sama dengan para abdi penegar kuda. Banyak pekerjaan di kandang kuda
dengan sekian banyak pasukan pengawal. Dari para abdi itulah Slamet dapat
mencuri berita tentang hal-ihwal istana. Memang benar, rupa-rupanya Adiprabu
Hanyakrakusuma sudah mendingin murkanya. Sebab seorang perempuan dari desa di
balik bukit Seyegan di wilayah itu, esok pagi hari pada hari Senin akan dibawa
ke pengadilan istana. Suaminya menangkap basah si istri sedang berbuat serong
dengan seorang prajurit pengawal Puri Tejakencana, dan sudah lama mengajukan
perkaranya ke keraton. Baru Sabtu kemarin itulah melalui pak lurah desa,
terdakwa dan pendakwa, beserta beberapa abdi dalem puri sebagai saksi, mendapat
panggilan ke istana Raja. Jadi rupa-rupanya Susuhunan-ing-Ngalaga sudah
berkenan lagi keluar dari pingitan duka amarahnya.
Mendengar itu Slamet bertanya diri, apa gerangan nanti akibatnya bagi
Tejarukmi dan Wiraguna? Dianggap selesai begitu saja persoalannya, seolah-olah
tidak pernah ada batu jatuh menggoyangkan air kolam? Dikembalikan ke Wiragunan,
atau boleh diambil Raden Mas Jibus? Rupa-rupanya kesulitan masih belum
tersisihkan. Tetapi dari pihak lain, Slamet agak lega sedikit, karena boleh
jadi sebentar lagi soalnya
selesai dan Duku bersamanya boleh pulang serba damai.
Ketika ia
sedang melamun sendirian, tertelentang di rumput halaman belakang memandang ke
bintang-bintang, sesosok bayangan mendekatinya. “Duku, kok kau tahu aku di
sini? (Aku tanya tadi. Katanya kau segan tidur di ruang abdi. ) Memang. Tetapi
mengapa kau tak tidur juga? (Ingin bersamamu.) Uh, jangan di sini. Dikira apa
nanti. ”
Berdua mereka
keluar. Kepada penjaga gerbang Duku mengatakan ia ngidam dan berhasrat
tirakatan di kedung sungai. Ada-ada saja perempuan hamil kalau sedang ngidam,
tawa si penjaga gerbang, dan diizinkannya kedua “penjual apiun” itu keluar
puri.
“Kau hamil
sungguh?” tanya Slamet heran. “Kok aku belum dengar.”
“Sayang belum,
Mas. Cuma dalih saja.”
“Oh, akalmu
sih ada saja.”
“Habis.
Sebetulnya tidak bohong melulu itu, Mas. Sebab Duku benar-benar ngidam. Ngidam
ingin menghirup udara bening. Tejarukmi sudah tertidur. Biarlah anak itu,
kasihan. Tetapi sehari mendengar keluh-kesahnya, Duku capek juga, Mas. Mosok,
hidup kok cuma derita dan takut, pahit, getir, kecewa, putus asa melulu. Saya
takut Duku ikut terkena racun kesesakan dari suasana lingkungan si Jibus ini.
Maka kupikir, ayo keluar sajalah, menghirup udara bening, menikmati Bengawan
Serayu di angkasa. Mas kan suka kita keluar sebentar ini?”
“Ya, sama
sajalah.”
“Tadi saya pun
pikir-pikir: berbaring bersama-sama kuda-kuda lebih bahagia.”
“Aduh, celaka
amat, aku dianggap kuda?”
“Nah,
kadang-kadang begitu, apa salahnya?” Dicubitnyalah suaminya.
“Kalau itu
yang kau sukai, boleh, bolehlah….”
“Nah Mas,
malam ini kita bersepakat: Tidak ada makhluk yang namanya Tejarukmi atau Jibus
atau Wiraguna.”
“Setuju.
Arumardi?”
“Juga tidak
ada?”
“Bendara
Pahitmadu?”
“Tidak ada.
Tidak ada semua.”
“Lusi?”
“Lusi? Lusi…
eh… juga tidak ada… sementara.”
“Siapa lalu
yang ada.”
“Slamet,”
“Dan Duku?”
“Kalau masih
suka.”
Bintang-bintang
Bima Sakti, intan-intan padatan rahasia semesta bengawan kehidupan dan bulan
yang baru bercahayakan janji, masih malu-malu untuk bulat mewahyakan diri,
kalian saksi perestu kisah Slamet dan Duku. Berbahagialah bersama dua orang
anak rakyat ini, yang masih mampu menghargai kemewahan berkandang langit
berselimut awan-awan tanpa cemburu kepada kaum mewah. Biarkan mereka sendirian
di gubuk tengah sawah, menikmati lautan kunang-kunang, berkawan kodok dan
jengkerik. Agar redalah hari serba ketakutan, sampai damai kembali seperti nun
kala sang Kamajaya memangku Dewi Ratih; ketika sang Bima menemukan makna
perjumpaan dengan Dewaruci.
——————————
[1] danau buatan di
Sungai Opak
[2] istri Suyudana, raja Astina
dalam lakon Bharatayuda yang tak henti-hentinya mencintai Arjuna
[3] lezat sekali.
[4] jenis semut yang
panas sekali gigitannya
Pada waktu ayam-ayam pertama kali berkokok
sahut-menyahut, Duku bangun. Suaminya dibiarkan masih tertidur pulas, dan
keluarlah ia dari gubuk, menuju pancuran air yang suaranya seperti serombongan
burung jalak berkicau. Mana bintang waluku-nya? Musim
keberapakah ini? Slamet tahu karena ia nelayan. Keputusan hati Duku: akan
meminta Slamet, mengajarinya ngelmu palintangan.[1]) Mahir
naik kuda, mahir pula seharusnya membaca isyarat dari angkasa. O, Bima Sakti,
bayangan cahaya Bengawan Serayu! Intan-intan sejuta yang mencerminkan keindahan
bengawan kehidupan. Indah bagaikan Bima Sakti hidup sebenarnya. Lebih lagi
bersama Slamet, ayah si Lusi. Segarlah mandi di mata air yang nyaman karena
selalu masih hangat airnya. Di gubuk ia temukan Slamet masih tidur nyenyak.
Bagaimana? Pulang sendirian? Jangan, mereka orang-orang Jibusan. Jangan. Baik,
tak mengapalah, nanti bisa mandi lagi. Dan mulailah Duku mencari daun-daun
lumbu pari di selokan-selokan. Biarlah, berlumpur lagi. Tetapi hangat di tubuh.
Sekembali dari mengumpulkan daun lumbu untuk
dimasak nanti, Duku melewati pancuran. Duku melihat sosok yang sangat
dikenalnya sedang mandi. Diletakkannya daun-daun lumbu di pematang. Lalu
telanjanglah Duku bersama suaminya, menikmati air segar, menikmati suara-suara
ayam-ayam berkokok dan awal kicauan cocakrawa pagi dini, kacer,
emprit, kepodang, dan burung-burung lain yang menyemarakkan suasana.
Nikmat ia memandang sosok tubuh suaminya yang mengkilau semampai tetapi tegap
kuat. Tubuh lelaki seperti Slamet sungguhlah punya keindahan tersendiri.
Keindahan yang mewujud dari karya yang berat, dari pamor tanggung jawab yang
dapat diandalkan wanita, ya betapa satu dan sesuai tubuh itu selaku pelengkap
yang dimiliki oleh wanita. Namun terutama karena pribadi yang memilikinya. Maka
tubuh yang telah begitu dikenal oleh Duku itu, setiap lekukan setiap tonjolan,
semak rambut dan baunya, seolah-olah sudah tidak hanya daging otot kulit
belaka, tetapi sesosok perwujudan wahyu, penampilan jaminan restu dari Hyang
Widi. Tak terbayang oleh Duku, bagaimana dapat hidup tanpa sosok raga wayang
wahyu yang telah membuktikan diri bermuatan pamor dan jawaban seluruh damba raga
maupun sukmanya.
Menurut ajaran para dalang, dewi disebut sakti dari
dewa; wanita memanglah kesaktian pria. Karena itulah Arjuna dan para ksatria di
mana-mana berhasrat merebut wanita. Semakin banyak wanita yang dikecup, semakin
menumpuk keksatriaan. Kalau begitu Raden Mas Jibus benar? Ah, itu kuali lain.
“Sedang memikirkan apa kau, Nduk? Biasanya ramai
bercakap.”
“Itu, Arjuna dan Jibus.”
“Apa hubungan kedua mereka itu?”
“Ya, kata para dalang, Arjuna di mana-mana punya
simpanan, karena dewi itu kesaktian dewa.”
“Oh itu? Silakan! Tergantung kadar kesaktian si
perempuan itu sendiri, kan?”
“Bagaimana?”
“Ya! Kan perhitungan mudah. Kalau kesaktian si
dewi itu cuma sedikit, nah kebutuhan jumlah dewi banyak tentunya.”
“Kalau muatan kesaktian dewinya sudah besar…”
“… Ya, tentunya tak perlu banyak-banyak. Atau
satu cukup. Itu Raden Sadana sudah cukup dengan satu, Dewi Sri.”
Tertawalah Duku, tidak tanpa rasa termanja
pujian terselubung dari suaminya. “Kalau Dewa Slamet?”
“Ya, tergantung yang namanya Duku.”
“Uh! Sombongnya.”
“Dan lagi, terlalu banyak kesaktian, apa lagi
ngawur ramuannya, bikin sakit, tahu? Bisa meledak sendiri.”
Tertawalah lagi Duku. Si Slamet ini memang
nelayan bandeng, sukanya air samudra asin, dan manis. Gurih dagingnya. Ya,
sungguh gurih dagingnya.
“Kenapa tertawa?”
“Kupikir, kau ini bandeng!”
“Apa?”
“Ikan bandeng!”
“Husy, kurang ajar. Apa maksudmu?”
“Ya, itu tadi: kau ini bandeng!”
“Kok mau dinikahi bandeng?”
“Tanpa bumbu sudah gurih dagingnya.”
“Lele juga sudah gurih tanpa bumbu.”
“Tetapi hidupnya di air comberan, kotor.”
“Tetapi gurih, kan?”
“Silakan. Tetapi aku hanya suka bandeng, kok. ”
Asyik Duku memasak daun lumbunya. Sebagai kemas
dari isinya, ampas kelapa, teri, dan kacang kedelai, sehingga
keharuman buntilnya menimbulkan sebutan kelakar buntil apiun, begitu
sedap lezatnya bau itu. Tiba-tiba seorang dayang tua tergopoh-gopoh memanggil
Duku. Puan Tejarukmi pingsan. Hampir semua yang di dapur keluar menuju ruangan
istri rampasan Putra Mahkota itu. Dengan gemetar seorang dayang tua menunjuk ke
arah seorang perwira, yang dari seragamnya, celana hijau muda berpelisir emas
dan ikat kepala hitam yang berbatik-batik gaya Samber-wulung, kentara
adalah seorang gandek dari istana Aria Mataram. Baru saja perwira itu datang
dari ibu kota, membawa perintah, Putri Tejarukmi akan dikembalikan ke
Wiragunan. “Tadi berkali-kali memanggil ‘Kak Duku’ sebelum pingsan,” bisik
dayang tua itu. Perintah Putra Mahkota sebenarnya tidak mengejutkan, sebab
itulah yang paling nalar. Tetapi kisah serba berbisik dari seorang dayang-dayang
tua lainnya, yang menyertai perwira gandek tadi (di luar kehadiran perwira
gandek itu) cukup mengejutkan Duku.
“Embah Kendi sendiri mendengar dari balik rana.[2]) Pagi
tadi Ngarsa Dalem Sayidin Panatagama bersidang kehakiman di
bangsal Kuncup Kajeksan. E, diajeng punya cuka apa tidak? Cuka
dan jeruk nipis. Nanti kan lekas Putri Tejarukmi siuman. Nah, hadir juga
Pangeran Aria Mataram yang rupa-rupanya telah mendapat pengampunan dari
ayahnya. Mbah Kendi menyaksikan sendiri, betapa menyesal Kanjeng Pangeran.
Menyesaaaal sekali. Sampai sekian bulan berpuasa, berguru ke Kiai Guru beliau.
Bahkan menyentuh wanita, o sungguh, walau istri-istrinya sendiri pun, beliau
tidak mau. E, orang pingsan jangan dipijat-pijat, nanti jantungnya bisa
berhenti. Sungguh mengharukan sampai kurus Putra Mahkota, sampai kempot, ah,
kasihan sungguh Kanjeng Pangeran muda itu. Coba ta bayangkan… e mbok terus
dikipasi; jangan berhenti mengipasi. Tenang, tenang saja… bayangkan, pangeran
tampan trengginas, kekasih Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram, selama sekian bulan
tidak menyentuh wanita, apa itu bukan bukti beliau calon raja yang saleh yang
boleh dibanggakan? Apa? Tumenggung Wiraguna? O iya, si Kakek Tua itu hadir
juga. Lha wong lucu, sudah tua bangka seperti pohon karet di
depan gapura Kaliajir itu, tahu kan pohon itu kalian, sudah pating
blandit pokoknya, satu-dua daunnya, garing mekingking cuma
bisa dipakai liang ular, lha kok badag kropos setua itu kok
masih saja ingin mencicipi mentimun seperti ya yaa… Lha kalau Kanjeng Pangeran
Aria Mataram kan lain, masih muda baru delapan belas pasang musim, kan masih
berhak loncat sana loncat sini, kan begitu kodrat kijang muda. E, Adimas, coba
didengarkan napasnya. Tempelkan telinga pada dada sang Putri. Yang lainnya
jangan ribut di belakang itu.
“Memang Wiraguna yang salah. Sungguh salah. Mbah
Kendi sebagai orang tua, yang punya anak lelaki sembilan, tahu, ini keliru
jelas si Wiraguna ini. Apa dia bukan lelaki sendiri? Nyatanya si Tejarukmi ini
dia ambil juga. Nah, mengapa kok menggerutu bila seorang wanita muda molek
dikehendaki oleh Putra Mahkota? J angan lupa. Pu-tra Mah-ko-ta. Kan lain kalau
yang meminta itu sembarang gombloh yang cuma bisa mengandalkan burungnya.
Bahkan Tumenggung Singaranu sekalipun. Lho ini cuma kiasan. Patih Singaranu
tidak akan berbuat macam itu. Atau Danupaya? Nah, ini gurunya Pangeran Alit.
Penghasut dia orang ini, awas waspadalah terhadap dia. Bagaimana si gadis ini?
Baik napasnya? Sudah, tunggu sebentar. Tidak, tidak akan meninggal bidadari
molek ini. Asal kalian jangan bingung. Mbah Kendi sudah biasa menghadapi orang
pingsan. Saya yakin Pangeran Aria Mataram tidak sebodoh itu. Beliau hanya masih
muda, mudah terbakar. Tetapi Mbah Kendi yakin, seandainya Wiraguna itu lebih
bijaksana dan mengerti, tahu bagaimana caranya mengambil hati beliau yang calon
Susuhunan, pasti dia lebih mantap kedudukannya.
‘Lho, Mbah Kendi tidak berlagak lho. Mbah Kendi
mendengar sendiri, Sri Susuhunan-ing-Ngalaga sangat bijaksana. Hai, Wiraguna,
begitu beliau, hai, Wiraguna. Apa kau tidak memperhitungkan, apa yang dapat
menimpa kau kelak? Kelak bila Pangeran Mataram ini sudah menjadi
Susuhunan-ing-Ngalaga dan Panatagama? Begitu Adiprabu Hanyakrakusuma.
Bijaksana, bukan? Wahai, Wiraguna, selama sesembahanmu Hanyakrakusuma masih
diberi kehangatan hayat oleh Allah Yang Mahakuasa, kau Wiraguna masih aman. Kau
masih ingsun[3])lindungi,
begitu raja arif kita. Tetapi wahai, Wiraguna, begitu beliau, wahai, Wiraguna,
bagaimana kalau kelak rajamu ini sudah menghadap pulang ke Rahmatullah? Nah,
Wiraguna diam saja. Tidak bisa berkutik dia. Mau menjawab apa, memang dia salah
(Tetapi ada apa Tejarukmi diperintah pulang ke Wiragunan?) Nah, inilah bukti
kebaikan budi Kanjeng Pangeran Aria Mataram. Walaupun beliau merasa dimenangkan
Ayahanda, Putri Tejarukmi yang ia cintai ini ikhlas dia pulangkan ke pohon karet
tua itu. Bagaimana, Adimas? Sudah siumankah sang bunga mawar kita? Coba, Mbah
Kendi yang membelainya. Maaf sebentar. Ini cuka dibawa pergi saja. Ada air
mawar? Belum punya? Nah, petik lekas mawar sebanyak-banyaknya, dan lekas bawa
kemari.
“Nah, Anak emas sayang, Putri ayu, ayo bangun,
tak ada apa-apa. Ke Wiragunan hanya sebentar. Pura-pura, biar sang Panglima
puas. Tetapi Mbah Kendi tahu, kau, Anak ayu pasti kembali ke pelukan ksatria
tampanmu. Nah, menangis, silakan menangis. Biar ganjalan jiwa keluar semua.
Mari, mari, ayo, Cah ayu. Mbah Kendi akan mendampingi Putri ayu dari Imogiri,
bunga gunung kahyangan yang keramat.”
Lunglai tetapi siuman keringatnya dihapus oleh
dayang tua bernama Kendi tadi, vang rupa-rupanya punya kewibawaan besar
terhadap para abdi pesanggrahan. Tak tahan Duku di dalam ruang yang berbau cuka
dan jeruk dan keringat dan kemenyan itu. Sebab sementara itu beberapa dukun
buru-buru sudah dipanggil. juga.
“Akan ke mana ini sernua, Mas?” tanya Duku.
Slamet yang sedang rajin mengerok kuda-kuda
hanya diam. Dipandangnya istrinya.
“Mari kita ke luar regol saja,” akhirnya ia
menyarankan.
“Kita pergi tanpa minta diri dulu dari
Tejarukmi?”
“Bagaimana itu mungkin? Dengan sekian banyak
orang yang mengerumuni?”
“Putri malang sang cantik Tejarukmi itu.”
“Kita doakan saja dalam hati. Tangan Raden Mas
Jibus terlalu panjang dan kuasa. Sudahlah, Nduk. Ambil saja segala barangmu,
kita menunggu di luar regol saja, bagaimana kelanjutannya.”
Duku merebahkan kepalanya pada punggung
suaminya. Sepi seluruh halaman. Semua ingin berkerumun di dalam. Ah ya,
buntilnya. Peduli amat. Dan Duku bergegas masuk ke dalam ruang tempat ia
menginap. Barangnya tidak banyak. Pelan-pelan suami istri itu mengantar
kuda-kuda mereka keluar dari regol belakang, dan menanti di jalan, berjarak
lima lemparan batu dari pintu gerbang utama, di bawah pohon waru.
“Aku rindu Lusi,” kata Slamet sesudah sejenak
duduk diam memandang ke lautan padi.
“Sedang apa gerangan anak kita?” tanya kembali
Duku.
“Aku yakin, sedang tidak menangis.”
“Menangis juga boleh.” Dan diamlah kedua orang
itu.
“Nduk,” mulai lagi Slamet berbicara, “pikir
punya pikir, aku merasa bersyukur, anak kita perempuan. Bukan lelaki.”
“Eh? Ada apa lagi. Perempuan baik, lelaki baik
juga.”
“Tetapi sesudah mengalami bermacam-macam ini,
aku kok lebih berbahagia dengan anak perempuan.”
“Biasanya orang senang punya anak lelaki.”
“Biasanya. Tetapi ini zaman tidak biasa.”
“Ada apa sih, Mas? Kan kita lihat sendiri,
bagaimana nasib Tejarukmi. Korban. Bahkan Putri Arumardi pun, tawanan nasib.
Wanita selalu korban. Mudah-mudahan Lusi jangan, tetapi… sedang memikir apa,
Mas?”
“Ya, justru itulah. Wanita korban lelaki.
Timbang punya timbang, lebih baik dan mulia menjadi korban daripada penyebab
korban.”
“Ah, mosok begitu cara menimbangnya. Mas Slamet
lelaki juga. Tetapi aku tak pernah merasa jadi korban.”
“Nah, itu tadi kan cuma pertimbangan. Aku sama
dengan kau. Perempuan baik, lelaki pun baik. Keduanya kita terima. Tetapi…”
“Mas Slamet sangat terpengaruh oleh peristiwa
Tejarukmi.”
“Memang. Mas-mu sangat terkesan oleh segala
lakon ini. Sayangnya terkesan oleh sisinya yang gelap.”
“Tidak semua lelaki seperti Wiraguna atau Raden
Mas Jibus.”
“Tidak semua, kau betul. Tetapi banyak.”
“Ah, semoga Lusi jangan mengalami nasib macam
ini. Terus terang Mas, Duku-mu sering cemas. Hidupnya telah ditandai oleh
peristiwa Rara Mendut. Kemudian peristiwa si Warok Badogbadig. Lalu si manis
Karel. Sekarang Tejarukmi. Sering aku cemas, Mas”.
“Bagaimana bila sesudah pulang dari sini, kita
mengungsi saja jauh dari ibu kota?”
“Duku merasa bersalah. Sudah waktunya kita
putuskan tegas, kita berkunjung ke Mbah Legen dan Nyi Gendis. Mosok, sudah
begitu dekat kita dengan desa mereka, kok sampai sekarang tega belum
mengunjungi mereka. Kurang tahu berterima kasih ini namanya. Kedua orang baik
itu harus mengenal Mas Slamet dan melihat Lusi.”
“Susahnya Bendara Pahitmadu terlalu serakah;
maunya hanya bermain saja dengan Lusi. Berulang-ulang kita dipanggil. Padahal
meliburkan diri dari tugas di Pesanggrahan Bangkawa Kulon artinya lebih banyak
lagi kesulitan menumpuk. Inilah ruginya jadi pegawai kaum puri, walaupun
sementara ketergantungan ini masih kita butuhkan.”
“Aku akan meminta Putri Arumardi, agar diizinkan
pergi langsung dari sini ke rumah Mbah Legen. Putus?”
“Ya, kita putuskankan begitu.”
“Sungguh aku ingin tahu, sedang diapakan
Tejarukmi itu. Jangan-jangan ia membutuhkan Duku lagi.”
“Jangan. Di sini saja. Biar mereka selesaikan
sendiri. Aku sungguh sedang membutuhkan kau Duku-ku. Entahlah mengapa, tetapi
duduk di sini sajalah. Masih banyak waktu untuk mereka.”
“Baik. Aku pun sudah mulai pusing kepala
menghirup udara rumah itu.”
Nikmat duduk di bawah waru yang daun-daunnya
besar rindang ini. Tak ada seorang pun lewat, dan angin bersenda-gurau dengan
gelagah-gelagah padi. Sampai di cakrawala, lautan padi tergelar. Hanya
pulau-pulau desa dan deretan waru serta turi memberi selingan pemandangan. Di
kejauhan ada gerobak kerbau pelan-pelan merangkak; pasangan-pasangan
burung srigunting menukik dan menari ria di udara bila
berhasil menyambar kupu-kupu. Apakah kelak, kemakmuran seratus ganda cakrawala
ini akan menjadi milik Raden Mas Jibus? Bagaimana mungkin? Aneh dan tidak adil
segala ini sebenarnya. Dan di dalam tata kehidupan seperti itulah Lusi nanti
harus melangkah. Menari? Atau menangis? Ya Allah, semoga janganlah.
“Nduk. ”
“Apa, Mas?” Heran Duku memandang ke samping.
Slamet agak lain siang ini. Biasanya ia hemat kata. Hanya di ranjang ia bisa
lebih bebas, tetapi di hari siang, ia hanya tahu bekerja dan bekerja.
“Aku punya firasat, riwayat Wiraguna sudah
menjelang matahari terbenam.”
“Kok mengurusi Wiraguna untuk apa sih?”
“Bukan Wiraguna, tetapi Lusi.”
“Lusi? Kau sangat mendambakan Lusi rupanya.
Sebentar kita pulang dan…”
“Bagaimana lagi? Tetapi aku melihat ke depan.”
“Apa tidak lebih baik melupakan Wiraguna dulu?”
“Sulit, sulit. Bahkan mustahil. Begini, Nduk.
Diakui atau tidak diakui, sampai sekarang kita hidup di bawah naungan Bendara
Pahitmadu, jadi kaum Wiraguna. Kemudian Putri Arumardi, juga kaum Wiraguna.
Hubunganmu dengan Tejarukmi juga diwarnai Puri “Wiragunan. Padahal aku merasa,
pertama Wiraguna sudah tua. Kedua, kedudukannya akibat peristiwa Tejarukmi ini
sudah jelas akan sangat celaka.”
“Susuhunan Hanyakrakusuma…”
“Ya, memang. Se-la-ma beliau masih Susuhunan.
Tumenggung Danupaya dan Panglima Sura Agul-agul sudah dipecat. Dan Pangeran
Alit, saingan Putra Mahkota? Kita harus cukup jeli melihat, dari arah mana
elang akan datang.”
“Ya, kau betul. Mungkin hari kutukan Rara Mendut
dan Raden Pranacitra sudah dekat. Padahal Bendara Pahitmadu sudah tua dan
sakit-sakitan.”
“Bagaimanapun besarnya rasa berhutang budi kita
kepada nenek berjiwa agung itu Nduk, tetapi jelas Lusi sudah tidak akan dapat
meminta naungan dari beliau bila sudah dewasa nanti.”
Membelalak Duku memandang kagum sayang kepada
suaminya. “Oh, sekarang saya tahu. Lebih baik kita bebas melepaskan diri dari
segala naungan kaum bangsawan itu, begitu maksudmu, Mas? Oh, ya… ya begitulah,
rasanya warta hikmah Rara Mendut dulu begitulah. Maksudmu kita pergi jauh saja
dari Mataram?”
“Itu tekad yang terpuji Nduk, tetapi kita masih
harus berhati-hati, dan lagi meninggalkan Bendara Eyang dan Putri Arumardi saat
ini kurang pada tempatnya. Bagaimanapun ada baiknya kita punya persediaan
gunung pengungsian lain. Sampai saat yang tepat tiba.”
“Di mana?”
“Tumenggung Singaranu?”
“Ooh! Beliau sungguh yang paling tepat.
Berwibawa, sederhana, berbudi luhur, disegani Putra Mahkota.”
“Beliau pun masih dapat dijatuhkan oleh orang
seperti Raden Mas Jibus itu. Dan Tumenggung Wirapatra, jangan lupa. Tetapi
daripada sama sekali tidak punya benteng.”
“Persediaan, Mas. Hanya bila bahaya darurat
datang. Permaisuri Singaranu bersahabat dengan Putri Arumardi. Hei, Mas, apa
itu?” Terkejut Duku memegang tangan suaminya yang menoleh juga. Apa-apaan ini?
Dari pintu gerbang keluarlah suatu pawai
panjang, terdiri dari prajurit-prajurit berkuda, prajurit-prajurit berjalan,
barisan abdi-abdi wanita. Semua wanita itu berkain mori blacu putih, setagen
blacu juga, dada serba telanjang, rambut semua terurai. Gila! Seperti barisan
calon mayat. Atau… ya, hanya wanita ronggeng pelacur yang sudah lolos nalarnya
berbuat begitu. Kemudian tandu, jelas tandu Tejarukmi. Di belakangnya abdi-abdi
lelaki membawa kentongan bambu. Ketuk-pruk, keto-tuk-pruk, irama kentongan itu
sangat memilukan. Gila, sungguh gila. Apalagi kalau bukan akal sinting Raden
Mas Jibus. Ternganga dengan mata membelalak Duku dan
Slamet memandang pawai serba aneh dan
menyedihkan itu. Inikah caranya mengembalikan istri rampasan zinah? O
Tejarukmi, Tejarukmi, sungguh kasihan engkau anak malang. Terhina sungguh! Tak
bisa lebih hina daripada cara ini. Begitu teganya si Jibus itu? Seperti terpaku
Duku dan Slamet tak mampu bergerak. Begini caranya sampai di Wiragunan? Sungguh
mendidih hati Slamet. Rasanya ingin menerkam si Jibus dan merobek-robeknya.
Tandu dibiarkan terbuka, ah kasihan, dan Putri
Tejarukmi tampak lebih mengenas, berkain dan kemben mori putih juga. Pucat
lesi, pipi berboreh tebal, serba basah air mata ia berusaha menutupi muka
dengan tangan. Dayang tua yang bernama Mbah Kendi tadi menunggang kuda kecil,
juga berpakaian mori mayat. Teteknya seperti kelelawar-kelelawar bule
bergantung pada dada pokok kayu yang terkena jamur upas. Putri malang dalam
tandu tak sempat melihat Duku dan Slamet; suami-istri ini tak berani juga
berkutik. Seperti impian serba hantu sernua itu berlalu.
Tanpa disuruh, seolah-olah terkena daya gaib,
atau terhela rasa belas kasihan yang meluap, Duku dan Slamet ikut berjalan di
tepi jalan, agak berjarak dari pawai mengerikan itu. Bersama-sama anak-anak dan
rakyat lain yang semakin banyak mengiringi pawai kentongan bambu menghantu ini.
Tidak ada yang berani omong atau tertawa. Hanya berbisik orang-orang mengikuti
barisan menyedihkan itu, saling bertanya dan saling melontarkan tafsiran macam-macam.
Debu jalan yang membubung mengelilingi pawai mori jaratan itu
semakin memberi kesan yang lebih mengerikan. Seperti mayat juga Duku dan Slamet
berjalan mengikuti barisan, yang semakin bertumbuh semakin padat pengiringnya.
Berjam-jam melangkah seperti tersihir. Desa Pingit terlalui, ibu kota dimasuki.
Diam bengong para penjaga gerbang Wiragunan,
seperti tersihir kekuatan gaib, membuka pintu-pintu jati, dan membiarkan
barisan itu masuk. Rakyat yang menjejal sudah tak dapat dikuasai. Tiba-tiba
berhentilah bunyi kotekan bambu, dan keheningan, yang seperti selimut sihir
sekonyong-konyong jatuh dari awan-awan, lebih mencekam lagi. Semua tegang
menunggu Tumenggung Wiraguna. Tetapi beliau tak keluar. Masih di istana
Susuhunan, begitu bisik yang beredar. Belum pulang.
Seorang wanita cantik yang diperisai dua
prajurit keluar dari dalam dan berusaha menerobos khalayak padat itu untuk
menghampiri tandu, yang aneh sekali seperti beku berhenti di muka pendapa.
Putri Arumardi. Menangis beliau merangkul sang putri malang itu. Duku dan
Slamet yang sejak tadi menjaga agar selalu hadir sedikit di belakang tandu tak
dapat menahan air mata. Begitu juga seperti terkena perintah, ratap tangis para
wanita memenuhi halaman.
Tiba-tiba terdengarlah dari jalan besar derap
barisan kuda dan tembakan senapan di udara. Rakyat bubar. Tetapi Duku dan
Slamet tetap tegak di belakang tandu. Kalang kabut kaum tua, wanita, anak-anak
lari mencari perlindungan. Tumenggung Wiraguna datang! Heran sang Panglima
melihat keramaian di jalan dan di halaman istananya. Apa-apaan ini! Seorang
perwira dengan sembah gemetar menyampaikan berita. Tertegun Wiraguna tak
bergerak.
Bagaikan wayang di kelir kain blacu, Wiraguna
mendengar kata-kata si Jibus tadi di istana. Seorang perempuan dari daerah
barat laut Pingit dihadapkan kepada Susuhunan. Dituduh dan ternyata terbukti
telah main zinah. Tak terduga, sang Sayidin Panatagama menoleh dan bertanya
kepada Putra Mahkota, “Hukuman apa yang pantas bagi pezinah ini?”
Aria Mataram menundukkan kepala, melakukan sembah,
tetapi tak mampu menjawab. Wiraguna melihat betapa bergetar tangan yang
menyembah tadi.
“Nah, jawab!” perintah sang Sayidin Panatagama.
Belum mampulah juga putranya menjawab. Seluruh bangsal pengadilan diam
mengekang napas.
”Hukuman apa?” Nada pertanyaan terdengar marah.
Wiraguna senang mendengar nada marah rajanya. Mampus kau, Jibus! Jawablah, ayo.
“Hukuman mati, Baginda Susuhunan,” jawab Aria
Mataram akhirnya, nyaris tak terdengar. Terlambat Panglima Besar Mataram sadar,
bahwa jawaban Putra Mahkota sama-sama menghantam Wiraguna juga. Apa maunya si
Jibus ini? Tidak mau kalah, dan sekarang menyarankan, agar tidak ada satu pihak
pun merasa menang walaupun pihak yang berhak penuh tanpa kesalahan sama
sekalipun? Dengan wajah yang sulit diduga perasaan dalamnya, Adiprabu
Hanyakrakusuma berpaling kepada Panglima Besarnya, dan bersabda,
“Wiraguna!”
“Dalem kula nuwun, nun inggih.”
“Kau dengar apa yang dikatakan Pangeran Aria
Mataram?”
“Nun inggih, hamba telah mendengar, Baginda.”
“Nah, rajamu bersabda: kau, Wiraguna, terserah
kepadamu, apa yang hendak kaulakukan.”
“Nun nuwun, nun inggih, Baginda.”
Pelan-pelan Panglima Wiraguna pulih lagi
kesadarannya dan kudanya disuruh mendekati tandu. Putri Arumardi berlari
menyambutnya, dengan tangan menyembah dan berlutut di muka kuda Wiraguna.
“Sudilah jangan mendekat, Tuanku Wiraguna.
Sudilah serahkan semua ini kepada hambamu Arumardi, atau kepada Nyai Ajeng bila
Paduka kurang berkenan kepada hamba. Tetapi jangan mendekat”.
Tetapi malang, sungguh malang sejuta sial. Pada saat
itu Putri Tejarukmi justru membuka pintu tandu dan keluar. Dalam busana putih
blacu seperti itu, bermaksud bersujud di muka tuannya.
Tak tertahan, meledaklah semua mesiu malu campur
cemburu, segala api benci dan nyeri hati selama berbulan-bulan. Seorang
Panglima Besar negara agung dibuat mainan seperti ini. Di muka umum lagi. Babo
!
Meloncatlah Wiraguna penuh murka dari kudanya.
Menjeritlah seluruh penonton melihat Panglima tua itu menghunus kerisnya dan
menyeruduk ke arah Tejarukmi yang ngeri menjerit pula. Tetapi Panglima Besar
yang sudah lanjut usia itu terjatuh tergelincir. Slamet melihat dari dekat,
bagaimana Putri Tejarukmi spontan bersembunyi di belakang Putri Arumardi.
Spontan pula Slamet merebahkan diri di muka
Putri Arumardi untuk melindungi wanita berani itu dari serudukan Wiraguna yang
bagaikan banteng terluka mengamuk dan melabrak kedua perisai hidup itu. Dengan
segala kekuatan, kerisnya mengayun dari samping, dari belakang, mencari tubuh
Tejarukmi. Teriak tangis orang-orang di sekitarnya yang berlari kalang kabut
bisa membuat orang gila. Duku seperti terpaku. Begitu cepat semua kejadian itu
menyerodok. Tak sanggup ia mempercayai apa yang terjadi. Suaminya berlumuran
darah tertelungkup mendekap Putri Tejarukmi yang sudah tak bergerak.
Amukan keris Wiraguna akhirnya berhenti. Masih
ditendangnyalah mayat Tejarukmi, diinjak-injak seperti kecoak. Seorang perwira
dipegangnya pada tengkuknya sambil berteriak, “Buang di ladang luar kota daging
busuk ini! Dengar?
Dipotong-potong! Dengar? Dan jangan berani
menguburnya. Tahu! Biar dimakan anjing-anjing! Kerjakan!”
Gugup dua bola mata gelap berlari kian kemari,
dan dengan mulut menyeringai dimasukkannya keris ke dalam warangkanya. Masih
mengusap-usap darah yang bercipratan di wajahnya dengan punggung tangannya,
masuklah Wiraguna ke dalam pringgitan. Tanpa menghiraukan Nyai Ajeng dan
istri-istri selirnya yang menangis, wajah di lantai.
———-
[1] ilmu perbintangan
[2] bidang
penutup/pembatas
[3] saya (bahasa Jawa
tinggi)
Tahu diri, tanpa ingin berlagak sebagai
penyembuh ulung segala luka, genta-genta di leher sapi penarik pedati malam itu
bergendingan nada-nada dina namun mengharukan; mencoba menurut kemampuannya
memberi suasana tak kesepian dan menyumbang irama pelembut rasa dendam,
penghibur hati yang porak-poranda dari penumpang-penumpangnya yang sedang
terundung duka. Cahaya lentera yang tergantung di bawah pedati menyinari bijak
jalan bagi sapi-sapi yang, tekun setia memikul tugas tanpa berontak atau
menyeleweng, dan menciptakan bayangan bergerak dari jeruji-jeruji roda ke
kiri-kanan kendaraan. Tenang tanpa gesa jeruji-jeruji kayu itu berbaris dalam
gerak tari lingkar, trampil berdwi-pentas dengan pasangan bayangan mereka
masing-masing.
Dari sosok bangun serta susun riasnya yang
berkesan gaib dalam cahaya bulan kerowok, kentaralah pedati itu bertuan kaum
tinggi, sebab gerobak rakyat hanya ditarik kerbau. Hewan sapi putih bertubuh
besar dan berpunuk masih langka, dan belum lama didatangkan dari negeri
Benggala seberang laut. Namun di negeri lebih jauh lebih seberanglah lagi dia,
yang terbaring dalam pedati, terbungkus kain batik bangsawan dan terjaga oleh
dua wanita; karena ia telah menyeberang ke negeri abadi. Diantar Ni Duku dia,
salah seorang dari dua wanita itu, yang melayangkan kenang-kenangan indah
kepada suaminya yang terbaring beku di mukanya itu, namun yang tetap tak henti
hidup di dalam hati. Segala air mata telah terkuras dan kini tinggal kehampaan
belaka. Apakah seperti jeruji-jeruji roda pedati itukah hari-hari selanjutnya?
Bersatu selaku jeruji dengan bayangan, hanya berkat cahaya lentera, mengarungi
kegelapan malam? Ah, semoga cahaya jangan padam, satu-satunya yang mampu
mempersatukan jeruji dengan bayangan dalam tari cakraning ngagesang.[1]) Kata
syukur terucap dalam kalbu ke arah wanita yang lain dari pedati itu, karena
beliau inilah yang telah memperjuangkan permohonannya untuk jangan mengubur
suaminya yang terbunuh itu di tanah yang telah ternoda kaum kejam. Dilarung,
dilabuh, diserahkan ke Samudra Agung, ke kerajaan air asin yang mencegah
pembusukan, lambang perlawanan terhadap segala yang disebut maut. Ke tempat
pemerdekaan puannya Rara Mendut dan Pranacitra juga, ke unsur, zat alam yang
paling digemari oleh suami almarhum, laut biru lazuardi yang tak pernah beku
tetapi bergerak bergolak selalu dalam hidup yang menari berpadu-gerak dengan
angin-angin pemenang Cakrawala, lambang kejayaan terhadap lingkungan
keterbatasan dan semu kefanaan.
Terima kasih, Arumardi, puan dan kawan, atasan
ningrat dan sahabat budiwati. Hanya dengan Putri Arumardi, pak kusir, dan
sepasang pengawal, Ni Duku mau ke pantai, ke selatan Gading, tepat di muara
sungai di mana Rara Mendut dan Pranacitra dulu menyerahkan diri kepada samudra.
Sendirian ya, hanya dengan seorang setiawati.
Hanya sebentar Duku diperkenankan bahagia dengan seorang setiawan pula, yang
Slamet namanya. Tidak, Slamet tidak mati. Slamet tidak meninggalkan Duku dan
Lusi. Slamet hanya berubah citra berganti wujud. Duku masih bersama dengan yang
dicintainya, lingga sakaguru rahim rumah jati-dirinya, hidup bersinambung dalam
buah benihnya, anaknya yang membawa citra dirinya.
“Mari, istirahat sebentar dalam pangkuanku,”
saran Putri Arumardi. Lelah dan sangat butuh pangkuan, Duku membaringkan diri
di samping jenazah suaminya, kepala dalam pangkuan Arumardi. Genta-genta kedua
sapi Benggala itu memanglah ramah dan penuh nada belas kasih. Cepat Ni Duku
masuk ke dalam alam luar-sadar, seolah-olah diajak alam untuk sedikit ikut
menyertai dan mencicipi peristirahatan pelepas suka-duka duniawi.
Masih pagi, tetapi sudah dihadiri sang surya,
yang seolah-olah tidak mau ketinggalan memberi hormat terakhir kepada nelayan
pecinta matahari, rombongan pelarung itu tiba di pantai. Jenazah Slamet
dibaringkan ke dalam salah satu perahu milik Puri Singaranu, yang atas
permintaan Putri Arumardi diikhlaskan oleh Nyai Pinundhi, permaisuri patih
perdana Mataram. Dan didoronglah oleh para prajurit perahu itu, yang aman tak
dapat terguling berkat kedua cadik-cadiknya, ke dalam laut pagi yang masih
tenang seperti sabar menanti giliran pengabdiannya. Dan terembanlah
perahu-dengan Slamet di dalamnya-oleh ombak-ombak berjamang perak, semakin
menjauh ke selatan, sampai tak tampak lagi negeri orang yang suka menghunus
keris, merusak makhluk-makhluk cantik Anugerah Hyang Widhi. Slamet telah
dikembalikan kepada Penciptanya.
[1] lingkaran
kehidupan
“E, Kang, dengar itu? Bunyi gagak dari timur
laut…” Mbah Legen berhenti membelah bambu dan menajamkan telinga. “Betul?
Jangan-jangan dari utara. Alamat tidak baik.”
Tetapi Nyi Gendis mempertegas, “Tidak. Utara kan
sana. Timur-laut. Tanda ada tamu masih kerabat akan datang.”
“Siapa ya? Oh… hari apa ini? Bukankah sekarang
tanggal 19? Artinya hari Banteng. Jangan-jangan ada kabar buruk nanti.”
“Bukan begitu keterangannya.” Istrinya mendekat,
tangan kiri berkacak pinggang sambil menggurui, “Menurut primbon, itu kalau.
Jadi: jikalau kabar yang datang ini kabar buruk, kabar itu
betul. Jikalau! Jadi hanya jikalau. Sebaliknya juga: jikalau kabar yang tiba
nanti itu kabar baik, naga-naganya itu berita bohong.”
“Apa? Kok ruwet begitu. Jika… ya, kan sama saja.
Apa beda dari yang kukatakan tadi?”
“Lain. jelas lain. Jikalau. Jadi dengan
jikalau:”
“Ruwet. Ruwet. Jikalau begini jikalau begitu,
andai ini andai itu.”
“Ah, dari dulu kau ingin pintarnya sendiri. Yang
jikalau dan yang bukan jikalau itu lain.”
“Yang jelas, pihak yang menyerang pada hari
Banteng akan kalah dan yang diserang akan menang. Begitu primbonnya.”
“Tentara mana menyerang?”
“Lho, ini kan misalnya. Misal sih misal.”
“Kakang selalu mengigau macam-macam yang bukan
urusan kita.”
“Hei-hei-hei! Bukan urusan kita? Perempuan anak
kuali. Kalau ada perang siapa yang menderita? Bukankah orang-orang kecil
seperti kita inilah? Sang Mas Rangsang[1]) menyerang Wirasaba,
Lasem, anak kita Kemplong mati. Senapati-ing-Ngalaga kita menduduki Tuban, nah
adiknya, Gowang tidak kembali. (Sudah! Jangan diteruskan cuma menyayat-nyayat
hati saja.) Biar jelas. Nah, sang Ngabdurrahman[2])… (Sudah, sudah!) Lho, biar
sekaligus kita mengenang anak-anak kita tercinta, eh… beliau Sang Adiprabu
Hanyakrakusuma menyerang Surabaya, si Grontol gugur seperti bunga kemboja. Lalu
yang terakhir, (Yang terakhir, duh Gusti!) Prabu Pandita Sayidin Panatagama
menghantam Pati, nah… (Aduh anakku Ganyong semoga… sernoga…) ya, semoga yang
Maharahim Widitunggal sudi mengemban kembali anak-anak kita, Mbokne Tole.
Tetapi nyatanya mereka kan direnggut. Jadi perang atau tidak perang itu urusan
kita juga.”
Tiba-tiba ada gagak berkaok. Betul, di
timur-laut, pikir Mbah Legen. Tetapi istrinya sekonyong-konyong berlari ke
tetangga. Rupa-rupanya dia ingin sesuatu, entah apa. Sambil meneruskan membelah
bambu yang ingin dibuatnya pagar, Mbah Legen memeras
ingatannya. Apa betul primbon bilang, jika ada gagak… eh, berteriaklah istrinya
sudah dari jauh,
“Bukan hari Banteng! Tolol! Tanggal 18, bukan
19. Jadi hari Kelapa.”
Ada apa lagi nih. Perempuan selalu ribut. Tetapi
bersinar-sinar istrinya panjang-lebar menerangkan tentang ingatan si suami tua
yang sudah pelupa, terlalu banyak minum arak, harus lebih banyak minum galian
kunyit dan air asam, bedanya gagak hitam dan gagak putih dan sebagainya dan
sebagainya yang hanya membuat Mbah Legen nyaris mengampak tangannya sendiri.
“Coba, kemarin dulu pasaran Kliwon, tanggal 16
itu. Lantas Legi. Sekarang Paing, betul kan: 16, 17, ya betul, 18 sekarang,
alhamdulillah, hari Kelapa. Oh, ya betul, sekarang aku ingat. Tadi pagi dini
kudengar sepasang prenjak sahut-menyahut asyik lama sekali di sebelah selatan
rumah. Artinya nanti akan datang tamu priyayi dengan maksud-maksud baik.”
Sang suami geleng-geleng kepala, beranjak
berjongkok lebih enak, kemudian mulai menghaluskan sisi-sisi belahan bambu
dengan bendo-nya agar tidak tajam mengiris kulit, sambil
bergumam cukup keras agar didengar istrinya, “Burung gagak, burung prenjak. Kan
kita sudah diajari oleh kiai-kiai kita untuk meninggalkan segala takhyul itu.”
“Bukan takhyul,” sahut istrinya ketus,
“tetapi wirasat.”
“Yah, wirasat. Prenjak berkicau di selatan
artinya priyayi datang. Kalau prenjak berkicau di sebelah utara rumah?”
“Juga ada tamu datang. Tetapi seorang kiai atau
guru arif.”
“Aneh-aneh saja. Tetangga utara bilang: dari
selatan. Yang selatan mengujar: dari utara. Apa kedua orang itu datang
bersama-sama, yang priyayi dari selatan dan yang kiai dari utara?”
“Bukan begitu. Ah, memang harus diakui: sulit
menerangkan perkara-perkara yang mulia kepada lelaki. Dari dulu kau begitu.
Cobalah tunggu saja, betul atau tidak wirasatku.”
“Mungkin wirasatmu betul. Tetapi jangan
dihubung-hubungkan dengan gagak atau prenjak.”
“Ya sudah, tunggu saja. Siapa yang betul. Dulu
itu saya betul juga. Prenjak berkicau di barat rumah, lalu lalu…. nah, apa yang
terjadi?
“Kapan?”
“Nah, lelaki selalu pelupa. Dua windu yang lalu.
Dua burung prenjak itu.”
“Dua windu? Siapa ingat dua windu yang lalu
seekor prenjak berkicau di barat rumah?”
“Bukan seekor tetapi sepasang. Memang lelaki
pelupa. Makanya banyak lelaki yang lupa atau pura-pura lupa kepada istri
mereka. Mana mungkin lupa, sungai sampai begitu merah warnanya?”
Membelalaklah mata Mbah Legen.
“Oooooh, itu. Ya Allah, ya Nabi! Itu…” Dan
berhentilah Mbah Legen membuat pagar kandang ayamnya, lalu duduk sambil
mengeluarkan selepen[3]) tembakau
dari sabuknya yang lebar, kemudian mengambil beberapa helai daun jagung yang
terselip rapi dalam selepen itu. Pelan-pelan Kakek mengelinting rokok kelobot,[4]) suatu
keasyikan mutakhir yang datang dari kebudayaan Betawi. Ya, pasti ingat dia, dua
windu yang lalu.. Alangkah ngeri pada hari-hari itu. Tentu saja, ya tentu saja
ia tidak dapat lupa pada peristiwa itu.
Pagi-pagi seperti kebiasaan sehari-harinya nun
ketika itu, Mbah Legen sudah memanjat pohon-pohon kelapa di ladang. Sepuluh
bumbung sudah ia kumpulkan di bawah, dan banyak lagi yang menunggu giliran.
Sejauh selemparan batu di bawahnya, Sungai Jali dengan airnya yang keruh tetapi
menyuburkan terdengar kemrosak, sedangkan suara si Gombloh
pengemudi rakit penyeberangan, yang selalu menyanyi lantang lagu iklannya untuk
menarik penumpang, sangatlah merdu laras terdengar dari atas. Tetapi
tiba-tiba tetembangan si Gombloh terhenti mendadak. Dan
langsung terdengar teriakan-teriakan dari seberang. Mbah Legen tidak dapat
melihat siapa yang berteriak serba riuh gaduh dari seberang itu. Tetapi setelah
ia turun, dilihatnya Gombloh tergopoh-gopoh sudah menyeberang ke tepi timur,
rupa-rupanya karena dia dipanggil paksa. Terkejut tanpa dipikir panjang Mbah
Legen spontan cepat-cepat memanjat pohon kelapa lagi, yang baru saja disadap
air legennya, lalu bersembunyi di atas buah-buah kelapa, di antara
pelepah-pelepah daunnya. Sangat menyesal juga ia berbuat seperti itu, karena
ingat kepada istrinya yang dengan cara amat pengecut ditinggalkannya begitu
saja. Tetapi apa boleh buat. Serdadu toh biasanya hanya memperkosa
wanita-wanita yang masih muda.
Ketika pasukan-pasukan itu mendarat, mereka
menyebar di ladang kelapa dan mengintai jalan dari belakang semak-semak. Jalan
yang melewati pekarangan Mbah Legen adalah jalan utama yang menuju ke wilayah
Urut-Sewu terus ke Banyumas Mancanegara Barat. Tetapi mengapa mereka mengintai
seolah-olah ada musuh datang dari arah barat? Dari teriak-teriak komando
perwira-perwiranya, kentara mereka prajurit-prajurit Pusat Mataram. Tetapi
aneh, bukankah balatentara Mataram masih di sekitar Betawi? Bukankah beberapa
bulan sebelum itu, Mbah Legen melihat sendiri betapa puluhan ribu tentara
Mataram berbaris menuju ke barat? Untung mereka sudah beristirahat di sekitar
Jagabaya, gerbang barat Kutanegara Mataram, dua pal di tenggara, sehingga
mereka hanya lewat saja. Sebab bila tentara datang, teranglah tidak ada buah
pepaya atau ayam-yang aman. Gadis-gadis terutama terpaksa harus diungsikan
dengan ibu-ibu mereka. Itu kalau masih punya cukup waktu, sebab pelarian
seperti itu rnungkin saja membawa hukuman mati, didakwa tidak setia, berkhianat
kepada yang sedang kuasa. Konon yang lewat dulu itu hanya sebagian saja dari
balatentara besar yang menurut desas-desus sedang diperintahkan oleh Susuhunan
Senapati-ing-Ngalaga untuk menyerang Betawi.
Lama tidak ada berita tentang untung-malang
pasukan-pasukan Mataram penyerang Betawi itu. Dan jelas mereka belum pulang.
Mbah Legen masih mengenal panji Adipati Juminah, batik kedondong-tinothol
jalak berlambang ular naga kuning, dan panji Tumenggung Singaranu,
batik wulung pelatar bunga wijaya-kusuma. Mungkinkah mereka sudah berhasil
menduduki kota dagang itu, dan sekarang masih berfoya-foya di sana? Sulit untuk
menebak mereka tidak menang, sebab begitu banyaknya tentara yang lewat itu.
Lebih dari tiga hari dibutuhkan sampai ekornya menutup barisan belakang. Belum
pernah seumur hidup Mbah Legen melihat barisan begitu dahsyat, lengkap dengan
meriam-meriam besi dan perunggu raksasa, gerobak-gerobak penuh bola-bola peluru
dari timah hitam mengkilau dan batu bulat, pasukan-pasukan berkuda serba tegap
dan gerobak-gerobak kerbau berisi perbekalan bagi prajurit-prajurit tak
terbilang. Gagah mereka berlalu sambil bersorak-sorai menyanyikan lagu-lagu
kejayaan.
Apakah pasukan-pasukan semacam itu yang dulu
pernah merampas Rara Mendut di Pati? Begitu tiba-tiba kenangan satu menindih
kenangan lain serba campur-baur. Ah, ya, di mana si dayang kecil Genduk Duku
itu sekarang? Hanya tiga hari dia dan dua abdinya menginap di pondoknya, tetapi
betul-betul membuat rindu si Genduk itu. Pernah Mbah Legen dan istri Nyi Gendis
punya cucu sebesar Duku itu. Oh, banyak cucu-cucu Mbah Legen dan Nyi Gendis.
Tetapi satu persatu mereka direnggut dari kehidupan ini. Ada yang sakit, ada
yang tenggelam di sungai, ada yang tahu-tahu menghilang di hutan, dimakan
harimau barangkali atau macan kumbang. Tetapi banyak yang mati dalam perang.
Sekian banyak perang telah terjadi dalam tahun-tahun itu, sehingga Mbah Legen dan
Nyi Gendis tinggal punya dua cucu; lelaki semua sudah menikah dan menjadi
petani di dekat desa Mirit, Pagelen sana. Tak mengherankan, bila langsung
Genduk Duku mereka sayangi, karena memang orangnya ndemenakake,[5]) tetapi
pemberani yang sungguh mengagumkan. Dari mana dia belajar naik kuda setrampil
itu? Dua orang budaknya pun kalah dalam seni naik kuda. Sesudah diantar ke
Pekalongan, ke mana sekarang dia tinggal dan bagaimana nasibnya? Ah, mestinya
dipelihara si Nyai kaya raya dari Pekalongan itu tentunya.
Menyedihkan sungguh peristiwa Rara Mendut dan
Pranacitra. Di mana-mana orang menceritakan asmara dua insan itu. Tetapi yah,
mengapa nekat berani melawan kehendak Panglima Besar Mataram? Kan itu bunuh
diri namanya. Dan mengapa tidak mau? Kan kehormatan namanya, ketiban
pulung? Memang aneh sering anak-anak muda. Anak perempuan sepantasnya
hanya taat. Mosok memilih sendiri suami. Jelas kurang pantas itu. Lalu kawin
dengan siapa gerangan sekarang si Genduk Duku dulu itu? Seandainya sesudah lari
dulu itu dia menikah setahun kemudian, misalnya, pastilah anaknya sudah perawan
kencur sekarang. Itu kalau perempuan. Kalau lelaki tentunya sudah jaka
kemala-kala baguse kaya irus.[6])
“Hei, Kakang, ingat apa tidak waktu itu, dua
windu yang lalu?” teriak lagi istrinya dari muka tungku di dapur terbuka.
Ah, perempuan cuma merusak lamunan yang indah
syahdu. Malah diingatkan lagi kepada kejadian-kejadian keji yang seharusnya
dihanyutkan di sungai saja biar hilang. Jawablah saja, ya supaya puas dia.
“Ya, tentu saja ingat.”
“Ingat kan, ketika pasukan-pasukan Tumenggung
Singaranu dibunuh semua oleh pasukan-pasukan keraton?”
“Ya, ingat.”
“Dibunuh karena mereka kalah perang di Betawi.”
“Ya, ingat.”
“Tidak ada yang boleh pulang ke Mataram lagi. ”
“Ya, ingat.”
“Tetapi Tumenggung Singaranu selamat, bukan?”
“Ya, selamat.”
“Pintar dia. Lari duluan lalu bersembunyi di
belakang kain istrinya. Nah, ingat?”
“Yooooa, ingat. Tetapi kainnya harum. Tidak
seperti kau punya.”
“Cerewet! Bagaimana mungkin kain perempuan yang
sehari-hari berteman gula gosong harus harum.”
“Bisa saja, asal mau.”
“Asal mau, asal mau. Asal jangan lupa,
Tumenggung Singaranu selamat dari amarah Sultan Hanyakrakusuma, berkat jasa dan
keberanian istri serta anak-anak perempuannya.”
“Ya, tidak lupa. Apa dulu itu nasib Singaranu
tergantung dari kicauan prenjak dan bunyi-bunyi gagak-gagak, ya?”
“Uuuuuuuh, menghina. Yang jelas, ketika sang
pahlawan Jali mau lari tunggang-langgang naik pohon kelapa pagi itu, prenjak
berkicau di sebelah barat rumah.”
“Pohon yang saya panjat dulu itu di sebelah
barat rumah. Tetapi mengapa aku tak mendengar kicauan prenjak sedikit pun?”
“Karena kau sedang menggigil ketakutan, tahu?
Hihihihihi. (Tertawalah Nyi Gendis seperti burung jalak habis mandi.) Sungguh
ingin aku melihatmu di pucuk kelapa sambil menggigil ketakutan, kayak apa ya,
rupanya?”
“Jelas lebih gagah dari Tumenggung Singaranu.”
“Hihihihihi, sombongnya. Asal tidak lupa kau,
pahlawan badeg,[7]) bahwa
sekali lagi: Tumenggung Singaranu selamat tidak ikut dibunuh oleh Den Mas
Rangsang karena dengan rendah hati ia meminta perlindungan di belakang pantat
istrinya. Itu yang penting diingat. Hikmah yang paling berharga dari riwayat
penyerangan Mataram ke Betawi, jelas?”
“Belum jelas, tetapi daripada ribut lebih baik
saya bilang saja: jelas. Tetapi…” Belum selesai kalimat, dari luar banyak
anak-anak berteriak memanggil Mbah Legen dan Nyi Gendis.
“Mbah! Ada tamu. Ada tamu dari jauh. Ada tamu
naik kereta!”
“Nah, apa kubilang tadi?” kokok Nyi Gendis penuh
jaya. “Betul, kan? Gagak di timur laut. Dan prenjak…. siapa?”
Terburu-buru Nyi Gendis lari keluar. Suaminya
pelan-pelan berdiri, pandangan penuh pertanyaan kepada segerombolan anak-anak
telanjang yang berlari-lari masih basah dari renang-renang di sungai, sambil
berteriak-teriak, “Ada tamu untuk Mbah Legen. Ada tamu agung untuk Nyi Gendis.”
“Nah, tamu siapa? Priyayi! Priyayi? Lho! Lho!
Siapa itu, Eh! LHO, waaaaa… nanti dulu, nanti dulu…. uwadhuuuuh…. uwwwwwe
lha, ngkosik… sik-sik[8])… nah,
Genduk Duku! Mbokne! Mbokne! Genduk Duku! Masih ingat tidak, Genduk Duku.
Uweeeeeee uweeeee, lha, yailaaaaaaa, yailaaa Genduke, Genduke… (Tidak lupa Mbah
Legen? Bersembahlah wanita tamu itu berjongkok di muka Mbah Legen.) Tidak
mungkin lululuuuupa, aduh, aduh, aduh. Eh, Anak-anak, ayo minggir, nyisih,
kana lunga.[9])Bagaimana,
ada tamu kok dikeroyok seperti pertunjukan ketek ogleng.[10]) Lho,
Mbokne, bagaimana kau ini? Ada tamu tersayang kok melongo saja!”
Dan memang, Nyi Gendis seperti terpaku di ambang
pintu. Berdiri kaku tidak dapat berucap atau ‘berbuat apa-apa. Tetapi kedua
mata basah kuyup, yang kadang-kadang terusap tangan, memandang ke wajah seorang
wanita gagah muda matang molek yang serba bergegas berlari dari tempat
suaminya, kemudian berjongkok di muka Nyi Gendis, memegang kedua pergelangan
kaki, lalu menyembah. Dikepunglah mereka oleh berpuluh-puluh anak-anak yang
jelas tidak melewatkan begitu saja tontonan yang jarang berpentas di desa kecil
mereka.
Tetapi di belakang wanita bertubuh seperti adik
Arimbi,[11]) yang disebut oleh sang
suami dengan nama Genduk Duku tadi, masih datang juga suatu kejutan baru bagi
kedua orang tua tadi.
“E, ya Allah, ya Allah, lho ini yang mana yang
Genduk Duku?” Sebab penuh keheran-heranan tak dapat percaya pada mata sendiri,
kedua kakek-nenek itu memandang kepada seorang gadis trubus kencur
sejauh tujuh langkah dari mereka.
“Lho, kan itu yang Genduk Duku? Bukan ini. Lho,
lha piye ta iki?”[12])
Anak-anak semua tertawa melihat kedua orang tua
itu terbengong-bengong penuh pertanyaan-pertanyaan yang serba bertaburan
dengan lho dan lhailaaaa, we dan wo. Walaupun
mereka tidak tahu duduk perkaranya, namun sedikit sudah menggapai, bahwa ada
riwayat nun dulu kala yang menarik dalam perjumpaan ramai ini. Mereka pernah
mendengar nama Rara Mendut dan Genduk Duku yang berkali-kali diriwayatkan oleh
kedua kakek-nenek itu. Konon pahlawan-pahlawan putri yang pernah anggar keris
melawan Panglima Besar Mataram nun sebelum mereka lahir. Dan menilik kereta
perjalanan yang ditarik oleh empat pasang kuda serta iringan abdi-abdi, mereka
menduga, pasti ini orang gede. Yang penting, tontonan yang mengasyikkanlah.
Kedua kakek-nenek tadi, sungguhlah tak
habis-habisnya heran mereka, betapa tepat rupa si gadis trubus kencur itu
dengan ibunya dulu, ya Allah, ibunya dulu, lebih dari berapa tahun ya?
“Kang, kapan anaknya si Ganyong itu lahir? (Dua
windu tambah satu.) Nah, iya, dua windu yang lalu tambah satu si Genduk Duku
ini datang, lalu tiga hari lagi si gendonnya Ganyong nongol dari perut ibunya.
Ya ya ya, Nyi Gendis masih ingat. Itu dua abdimu dulu yang seperti Bagong dan
Petruk itu, di mana sekarang? Oh hiya, lha di mana suamimu? Di mana dia?
Mengapa kalian datang sendirian? Ah, sudah lama, sangat lama nenekmu tidak
melihat kau lagi. Kami kira kalian sudah lupa pada kami, e lha
dallaaah, jebul pating pethingil[13]) kalian
muncul dari semak-semak. O Allah, memang besar rahmat Allah kepada
kakek-nenekmu di Jali. Sini, sini masuk!”
Dalam suasana amat girang, ibu dan anak ditarik
oleh Nyi Gendis ke amben[14]) yang
terhampar luas bertikar pandan bersih. Sesudah duduk di amben, Nyi Gendis hanya
menyeka pipi-pipi dan punggung kedua anak-beranak itu, sambil kadang-kadang
mengusap air mata.
“Ini anakmu, Nduk? Oadddduh-duh, lha kok le
pleg pleg kempleg-kempleg;”[15]) disambut
oleh ketawa gelak anak-anak yang hanya berani melihat tontonan mengasyikkan itu
dari ambang pintu, sehingga Mbah Legen terlupa dan tak dapat masuk ke dalam
rumah. Maka mengalah sajalah Mbah Legen pelan-pelan menuju ke samping rumah dan
masuk dari pintu dapur di belakang, untuk muncul lagi di ruang muka tempat
penerimaan tamu. Melihat Mbah Legen, ibu dan anak lekas-lekas berdiri lalu
berjongkok di mukanya sambil bersembah.
“Sudah, sudah, sudah,” kata Mbah Legen tenang
dibuat-buat, walaupun jakunnya turun-naik juga, sulit menelan air haru.
“Ayo, Anak-anak, keluar! Jangan metonggong[16]) kayak
Bagong-Kurang-Ganyong. Ini bukan tontonan, ayo, ini tamu agung dari kota
pesisir. (Pesisir Selatan, Kek?) Pesisir Utara. Jauh sekali. (Mereka kaya-raya
ya, Kek?) Husy! Tanya-tanya. Sana pulang. (Namanya siapa, Mbah?) E lha,
Bocah cerigis. [17]) Tidak
usah tanya. (Itu yang muda anaknya ya, Mbah?) Tobil-tobil anak kadal, dilarang
tanya bahkan tanya terus. Tanya ibumu sana! (Mereka kan putri sungguh-sungguh
ta, Mbah, bukan peri?) Oah oah, cah ndeso![18]) Memalukan
orang. Ayo pergi! Syuh, syuh syuh hayo, kuwi Cemplon, saya kunyah nanti. Ayo,
syuh syuh!” Dan dengan sorak-sorai ramai anak-anak bubar. Tidak semua tentu
saja, tetapi tidak semrawut lagi seperti tadi.
Masih ada tontonan yang mengasyikkan. Kereta
dengan dua pasang kuda. Wah, elok sekali. Seperti kereta Arjuna ketika melawan
Karna. Tolol, ini pakai atap, mana bisa dipakai untuk perang. Tahu kau,
putri-putri yang datang itu tanggung punya gelar paling sedikit Bendara Raden
Kayu. Husy! Huahahaaaak!
Sudah banyak itukah tahun datang dan pergi?
Beginikah manusia di kurun hidup menjelang matahari terbenam? Serba campur-baur
ingatan tentang sekian peristiwa yang terjadi tidak bersamaan, tetapi teradon
menjadi satu. Berapa perputaran musimkah sudah? Ah… geli Nyi Gendis malam itu
mencubit-cubit lembut pipi perawan kecil di mukanya yang sudah pulas tertidur
di amben.
“Nduk, ini buah kelonan siapa? Begitu girangnya
nenekmu ini, sampai lupa kalau perempuan itu mestinya diantar lelakinya. Tadi
kau pun belum sempat menjawab. Nah, sekarang kau dapat bercerita
sebanyak-banyaknya. Embah-embahmu sudah ingin sekali mendengar riwayat lanjutmu
sesudah kalian pergi dari sini. Aneh ya, kau di sini kok rasanya seperti anak
saya sendiri yang telah meninggal lalu hidup lagi. Dan ini, (Membelailah lagi
si Nenek pipi-pipi anak Genduk Duku.) cah ayu ini punya siapa?” Sebentar
selayangan bayangan muram bagaikan awan-awan hujan lewat menggelapi danau-danau
mata Genduk yang sejak pagi dan siang tadi berkali-kali basah mata tersiram
keharuan perjumpaan.
Baik, baiklah. Akan ia ceritakan segalanya
kepada dua orang ini. Kepada siapa lagi. Duku sudah tidak punya siapa pun. Dan
apa jeleknya, bagaimanapun lamunan yang dikunyah-kunyah sendirian akhirnya akan
menjadi racun yang dapat semakin menjadi sakit, dendam. Siapa tahu, bila pahit
di hati dapat keluar dan dipercayakan kepada orang tua yang suka mengerti,
panas menjadi sejuk; paling tidak bagaikan air kelapa muda, dapat menawar
racun.
“Dia seorang pemuda nelayan dari Telukcikal,
Mbah.”
“Hatinya baik?” Genduk Duku mengangguk.
“Dia kau pilih sendiri seperti Rara Mendut atau
biasa dijodohkan oleh orang tuanya?”
Tersenyum penuh sinar jiwa yang mewartakan
kebanggaan gembira, Genduk Duku berbisik di telinga Mbah Gendis,
“Keduanya, Mbah. Tetapi dia lain sekali
denganku. Orangnya tenang, pendiam, pemalu, ah biar, aku senang dia begitu.
Tetapi ia penuh tanggung jawab.”
“Tampan seperti Arjuna?” tanya Mbah Gendis
dengan tawa jenaka.
“Ah, untuk apa Arjuna, mukanya persegi seperti
layar perahunya. Satu gigi agak gingsul. Tetapi berkesan kokoh pandangan
mukanya. Nelayan yang setiap hari terkena matahari, mana bisa seperti Arjuna,
Mbah.”
“Narayana?”[19])
“Ah, ya tidak sehitam Narayana. Yang jelas, lain
dari Kresna. Dia tanpa muslihat sama sekali. Jujur, lugas, dan tenang jiwanya.
Sering kuamati, kok dia mirip Pranacitra-nya Raden Rara Mendut.”
“Ah, kau mimpi. Kau selalu dibayangi citra
puanmu yang sudah di Rahmatullah. Tidak baik itu.”
“Tetapi sungguh, Mbah. Entahlah, hanya dia lebih
kasar apa adanya. Tetapi baik hatinya. Agak srogal-srogol. “[20]) (Sayu
senyum Genduk Duku. )
“Bagaimana kok sampai dia yang kau dapat?”
“Orang itu kalau sudah jodoh, ya lalu jodoh,
Mbah. Dari awal pertama dia kupandang, ketika itu dia pengemudi perahu yang
dititipi Nyai Singabarong membawaku ke Telukcikal, Genduk Duku sudah terkena
wirasat, Mbah.”
Lama Nyi Gendis memandang gadis kuncup yang
sudah nyenyak melepaskan segala beban kesadaran. Anak ini sudah kelihatan akan
menjadi perawan ayu, pikir Nyi Gendis. Dan bernapas panjanglah ia. Nasib wanita
ayu tidak mudah. Ah, jangan janganlah… Semoga Yang. Maha Memiliki berbelas
kasih kepada kedua wanita yang sudah begitu dekat dalam hatinya. Padahal belum
lama sebetulnya perjumpaan mereka itu. Ya, sekali lagi tadi, kalau memang sudah
jodoh, ya jodoh.
“Genduk, kau bohong. Ayah perawan kecil ini
pasti pemuda tampan. Lihat mukanya, kedua mata terkatupnya, dan sosok tubuhnya.
Ini ujung-ujung mulutnya, lihat. Semua darimu, Nduk. Tetapi ada sesuatu yang
bukan darimu. Ada, dan itu dari suamimu, pasti. Eh, mengapa dia tidak kau bawa
kemari? Sampai lupa Mbah tanyakan; sudah tua begini, ingatannya seperti katul
kabur.[21]) Kau
juga lupa bercerita. Saya terlalu terpesona tadi oleh kedatanganmu. Dan melihat
anakmu ini sungguh aku sampai lupa segala-gala. Ya, Nduk, mengapa sang suami
tidak kau bawa?”
Meluaplah sekarang air mata Genduk Duku. Dan
pelan, hening seolah keterangannya merupakan sebentuk renungan doa, berucaplah
sang ibu muda, “Dia sudah tiada, Mbah.”
Dibiarkannya air duka itu meleleh sekehendaknya,
mata menerawang ke kejauhan, sedangkan Nyi Gendis hanya dapat meraih penuh iba
tangan wanita yang sudah lama ia anggap sebagai anaknya. Erat-erat kedua Genduk
dipeluknya, sambil diam di hati berdoa dari beberapa mantra, untuk memohonkan
selamat bagi sang arwah, yang begitu pagi meninggalkan kedua insan manis namun
malang ini. Tidak berani ia menanyakan lebih lanjut, mengapa dan bagaimana
suami wanita muda di mukanya itu sampai meninggal.
Tetapi Genduk Duku sendirilah yang kemudian
melepas gulungan wayang-beber riwayat sedihnya. Yang sepahit-pahitnya pun.
Semuanya, ya semuanya. Sebab begitulah semoga curahan semua kenangan ini
sedikit merupakan bentuk pewayangan penghormatan dan cinta tak terhapuskan bagi
suami almarhum. Ya, semua akan dia kisahkan… di malam yang menggemakan keluh
teduh burung-burung kebluk dan uhu, yang
jengkerik-jengkeriknya seolah-olah tak pernah menghiraukan saat suka atau duka
dari makhluk-makhluk manusia malang. Nyi Gendis, sambil berbaring mengeloni
perawan kencur kekasihnya di amben, dan Mbah Legen di lincak,[22]) mereka
mendengarkan kisah si janda itu. Terasalah betapa bergetar suara Genduk Duku
yang penuh duka, akan tetapi tabah pemilihan kata-katanya. Seolah-olah ia
bersatu dengan semesta Alam Raya yang menentukan, kapan suatu kehidupan harus
tersisih demi suatu perjalanan yang lebih berharga namun masih tergulung
dalam bumbung misteri jejer-jejering lakon.[23])
Dari lincak bambunya di sudut, di dalam
remang-remang pelita minyak kelapa yang gerak nyalanya memberikan kesan,
seolah-olah keempat saka-guru serta dinding-dinding bambu bergerak karena
begitu ingin ikut menangkap warta, Mbah Legen diam mendengarkan dan merenung
seperti terapung hanyut pelan di air Bengawan Bagawanta ke muara.
Sebab sekian anaknya pun direnggut maut buatan
manusia, masuk lagi ke dalam bumbung-bumbung bambu misteri jejer
jejering lakon itu yang terhanyut oleh arus musim, menghilang di
muara. “Dan sejak itukah kau ikut mengabdi di Puri Singaranu?” tanya Nyi
Gendis.
“Belum, Nyi Gendis. Duku-mu belum mampu-ketika
itu-untuk kembali ke dunia manusia. Begitu remuk dan linglung aku ketika itu.
Sungguh aku sendiri heran, mengapa sekarang masih kuat menginjak tanah yang
pernah meminum darah suamiku.”
“Kau sungguh lama sekali tak muncul, Nduk. Kami
berdua selalu menunggu, kapan si Genduk Duku ini datang berkunjung lagi.”
“Ya, hari, bulan, dan perpindahan matahari tak
henti kami hitung,” sambung Mbah Legen. “Sudah tujuh belas pasang musim sejak
kau lari dari muara Sungai Opak itu kau telah menghilang.”
“Maafkan banyak, Mbah kedua-duanya. Betapa
sering dan keras hasrat hati untuk berkunjung ke Mbah Legen dan Nyi Gendis.
Namun Duku dan Slamet hanyalah hamba, tidak kuasa untuk mengatur sendiri tempat
dan waktu.”
“Ya, kami mengerti itu, Nduk. Jangan merasa
bersalah. Kaum kecil seperti kita ini biasalah, tak mampu untuk bertindak
sesuai keinginan.”
“Ke mana saja selama ini kau pergi, Nduk?” tanya
Nyi Gendis ingin tahu, tetapi juga karena terdorong suatu keinginan setiap ibu,
bela rasa pengalaman. “Kembali menggendong gadis cilik ini tentunya?”
“Oh, belum. Belum berani Duku saat itu, Mbah.”
“Belum berani?”
“Aku takut melihat dan menggendong Lusi-ku dalam
keadaan kalut jiwa. Duku tidak mau mengaruskan ke-kisruh-an yang
penuh dendam dan dengki kepada anakku. Lusi tidak boleh menerima
getaran-getaran galau yang ketika itu membuat Duku tak jauh dari orang linglung
nyaris gila. Seluruh tubuh Duku ketika itu seperti keranjingan untuk
merobek-robek waktu. Tanya sajalah kepada Putri Arumardi. Beliaulah yang paling
mengerti apa yang membuat Duku seperti prahara mengamuk, yang inginnya cuma
menyambar dan membadai di atas punggung kuda. Berlari bergerak kencang, hanya
itu keinginan nafsu Duku ketika itu. Dan tak ada seorang prajurit berkuda satu
pun yang sanggup menyamai kecepatan Duku di punggung kuda. Apalagi
menghadangnya. Berhari-hari aku hanya memacu kuda menjelajahi padang-padang
perburuan di selatan istana Kerta, di antara banteng-banteng, rusa-rusa
peliharaan Susuhunan. Dan berulang kali Duku menyeberangi Sungai Opak sampai
basah kuyup, tak peduli lagi kain sobek, dada telanjang, dan rambut terurai
seperti ronggeng gila jalang, menyeraki semak-semak hutan jati pegunungan
Kidul, meradak daerah para penyamun dan pemberontak kaum Wanawasa; tak peduli
melanggar adat sopan santun wilayah, tanpa kula nuwun menerobos
batas-batas mandala kesaktian mereka. Tidak tanpa menimbulkan amarah penduduk
tentu saja, sehingga tidak hanya satu kali Duku diuber-uber seperti perampok;
namun juga, tidak jarang justru menggemparkan menggigilkan ketakutan penduduk
karena disangka peri atau Durga pengganyang bayi.”,,
“Makan apa selama itu, Nduk?”
“Ah, apa saja yang terjumpa di jalan.”
“Tidurmu?”
“Di samping kuda. Mbah tahu, betapa kuda sangat
peka terhadap suatu bahaya yang mengancam. Di samping kuda, Duku merasa paling
aman. Tetapi seandainya pun Duku sampai terkena kemalangan, digigit ular pohon
yang berbisa misalnya, Mbah, saat itu Duku hanya dapat bersyukur, boleh
bergabung lagi dengan Mas Slamet. ”
“Ah, kasihan. Dan kau selamat selama ini? Ah,
memang ternyata suamimu telah mampu menjadi belahan jiwamu. Berapa hari kau
begitu, Nduk?”
“Entahlah, Mbah. Waktu itu Duku sudah tidak
mampu bernalar biasa. Tidak tahu tempat maupun waktu. Tidak ambil pusing
segala-galanya. Tahunya cuma lari dan bergerak, mencari yang sepi dan jangan
berpikir. Lapar tak peduli, telanjang biar, andainya jatuh tersungkur kepala
pecah, silakan.”
“Kok sampai kau dapat sadar kembali?”
“Ternyata memang aku betul tersungkur ke dalam
pasir. Entah sudah berapa malam kutemukan sebuah gua di dekat muara Sungai
Opak, di lereng gunung yang tegak lurus menjulang dari pantai. Maksud Duku
ingin pulang lagi ke gua itu. Tetapi aku terjatuh-karena rupa-rupanya kuda
tungganganku sudah terlalu lelah-dan terperosok
dalam suatu lubang simpanan telur penyu. Setelah
itu Duku hilang sadar. Barangkali sudah siuman juga, tetapi karena terkuras
segala kekuatan, Duku tertidur nyenyak barangkali.”
“Untung kau tidak dimakan buaya atau malam-malam
dikeroyok anjing hutan.”
“Ya, semua rahmatullah, Mbah, agaknya belum
saatnya Duku bertemu lagi dengan Mas Slamet. Pikir punya pikir Mbah, apa Duku
masih punya tugas, sehingga tidak dimakan buaya?”
“Jelas masih, Nduk. Lusi kan menunggumu.”
“Ya, itulah pasti sasmita-nya. Hanya pahit,
pahit, dan nyeri Mbah, rasanya kehilangan Mas Slamet.”
“Ah, kasihan. Memang, walaupun aku belum pernah
mengalami dan jangan mengalaminya, aku sungguh dapat memahami, hatimu yang
remuk linglung itu. Bagaimana kau kemudian bangun?”
“Aku ditemukan prajurit-prajurit yang bersama
Putri Arumardi ternyata selalu membuntuti Duku.”
“O, betapa budiwati beliau itu.”
“Ya, akan jadi apa Duku seandainya Putri
Arumardi tidak ada?”
“Apa dulu itu beliau tidak terluka juga?”
“Untunglah tidak. Tetapi seandainya Slamet tidak
melindungi beliau, pastilah ah
sudahlah, kami sudah terlalu berutang budi kepada Putri Arumardi… Duku ikhlas.”
“Betapa ingin aku dapat melihat beliau. Apakah
selanjutnya kau ikut Putri Arumardi?”
“Duku tidak mau lagi menginjak halaman Panglima
kejam yang berjiwa terlalu bebal itu.”
“Ke Puri Pahitmadu?”
“Juga tidak terpikir, Mbah. Rasanya hanya nyeri
melihat lagi segala dan semua yang mengingatkan pada Wiraguna. Selain itu
beliau, setelah peristiwa pembunuhan Tejarukmi dan mendengar Slamet ikut
terbunuh, baru kemudian aku mendengar, beliau langsung jatuh sakit dan tidak
mau berucap sedikit pun.”
“Sungguh mengherankan, betapa berlainan watak
dua orang selingga sekandung ini, Pahitmadu dan Wiraguna. Lalu ke mana kau?”
“Putri Arumardi lagi yang serba menata seperti
malaikat utusan Allah. Duku dititipkan pada istri perdana Tumenggung
Singaranu.”
“Dan Lusi?”
“Lusi ikut ibunya juga ke Ndalem Jagaraga,
kediaman Tumenggung Singaranu.”
“Untung kau, Duku,” hibur Nyi Gendis.
“Singaranu lain sekali dengan Wiraguna,” sahut
Mbah Legen.
“Jelas lain sama sekali,” tambah istrinya.
“Maka kau jangan suka memperolok Tumenggung
Singaranu bersembunyi di belakang kain istrinya,” serang Mbah Legen.
“Aku TIDAK pernah memperolok Tumenggung
Singaranu. Aku, hanya bilang, bahwa di belakang kain istrinya dia…”
“Sudah, sudah! Tidak perlu diteruskan. Tetapi,
Nduk, apa kau tidak mengantuk?”
“O ya, Nduk, kau harus istirahat sekarang.”
“Belum mengantuk, Mbah.”
“Ya, memang rasamu, tidak mengantuk. Tetapi aku
tahu, kenyataanmu, kau benar sudah lelah. ”
Diamlah Ni Duku. Diam pula penuh prihatin kedua
orang tani tua itu memandang si wanita penuh lakon yang matanya tampak terlalu
besar karena pipinya masih kurus kempot itu. Cantik Duku ini, dan lebih
berpamor ia justru karena sudah mengalami kawah Candradimuka, pikir Nyi Gendis.
“Nduk,” kata Nyi Gendis lirih, sambil
membisikkan segala rasa sayangnya, “Nduk, Duku, Duku, Duku-ku. Bermukimlah saja
di Jali sini.”
————————————-
[1] nama kecil Sultan
Agung
[2] salah satu gelar
Sultan Agung
[3] bungkus tembakau
dari anyaman pandan
[4] daun muda jagung
yang dipakai sebagai pembalut rokok
[5] menyenangkan
[6] jejaka yang begitu
tampan seperti sendok sayur (kelakar) sehingga menimbulkan perasaan untuk
memperdayanya dengan muslihat
[7] air gula yang
disadap dari pohon kelapa
[8]
nanti dulu
[9]
menyisih, sana pergi
[10] kera akrobat
keliling
[11] istri Bima,
tokoh pewayangan, yang gagah tegap tubuhnya
[12] bagaimana
ini
[13] serba bermunculan
[14] balai-balai bambu yang lebar
sekali untuk tidur dan untuk tempat menerima tamu.
[15] persis betul rupanya
[16] melompong dungu
[17] banyak omong
[18] anak udik
[19] nama raja dalam lakon
Mahabharata yang di waktu muda berkulit hitam legam
[20] serba tak teratur
ulahnva
[21] lapis butir beras coklat muda
[22] Kursi panjang dari
bambu
[23] pementasan peristiwa
nasib
Berenung-renung Ni Duku duduk bersila dalam
gerobak kerbau yang pelan-pelan menuju ke barat. Selamat beristirahat, Bendara
Eyang Pahitmadu! Lindungilah terus wanita-wanita kesayanganmu. Telah tentramlah
Bendara Eyang dalam haribaan Allah Yang Maha Penyayang lagi Pengasih.
Belum genap seputaran bulan Ni Duku dengan Lusi
berkunjung bahagia di rumah desa Mbah Legen dan Nyi Gendis, ketika itu
datanglah pesuruh khusus dari Puri Pahitmadu. Sang Bendara Eyang berulang-ulang
memanggil Genduk Duku. Cepatlah ibu dan anak menaiki kuda-kuda yang dibawa oleh
para utusan dan kencanglah Genduk Duku dengan Lusi, berlari ke puri.
“Nduk Duku,” kata perpisahan Eyang budiwati itu.
“Berkali-kali kukatakan, baru pertama kali inilah aku menemukan wanita muda
yang saya cita-citakan sejak kecilku. Kau dan Rara Mendut. Rara Mendut sudah
tiada dan aku belum pernah melihatnya. Tetapi kau, Nduk, kau dapat kupandang,
kuciumi, kukeloni. Kau cantik tetapi juga manis. Jarang itu, Nduk. Tubuhmu
wutuh, susumu penuh, dan kepalamu mendongak.
“Dulu aku ingin seperti kau itu, Nduk. Wiraguna
dapat jadi Panglima hanya karena dia lelaki. Tetapi seandainya eyangmu dulu
lelaki, pastilah bukan adikku yang jadi Panglima Besar Mataram. Tak mengapalah,
Nduk. Aku sudah melihat dan mengeloni kau. Jadilah wanita yang utuh, ya, Anakku
sayang. Jangan mau dipreteli. Sebentar lagi eyangmu sudah
tiada. Dan walaupun rahimku belum pernah mengandung dan payudaraku belum pernah
mengalirkan kehidupan kepada seorang denok[1])atau tole,[2]) tetapi
tak mengapalah. Aku sudah melihatmu dan entahlah, seolah-olah kau anak
kandungku sendiri. Jadilah wanita yang utuh, ya, Anakku sayang. J angan kau mau
dipreteli. Lelaki biasanya tidak mencintai istrinya. Mereka mencintai pipinya,
rambutnya, matanya, susu-susunya, rahim yang mengandung benih dari dia. Tetapi
belum sampai mencintai istrinya. Jangan mau dipreteli, ya Nduk. Eyangmu tidak
pernah menikah, tidak pernah kawin. Tidak nyaman rasanya, Nduk. Tetapi eyangmu
tidak pernah dipreteli.”
Tidak, dalam banyak hal Genduk Duku juga tidak
pernah dipreteli. Mendengar kata-kata Nenek berhati emas itu, Duku hanya dapat
menangis di muka ranjang. Seluruh puri sudah tahu, sebentar lagi puan mereka
akan meninggal. Sudah beberapa hari Panglima Wiraguna juga datang hadir dalam
puri. Bahkan Tumenggung Singaranu beserta istri perdana dan beberapa istri
selirnya telah berkenan juga mengunjungi Eyang, yang walaupun tidak pernah
berperan di kalangan Pusat, namun kebajikan serta kewibawaan jiwanya sangat
mereka segani.
Puri Pahitmadu penuh tamu-tamu tinggi, karena
mereka tahu, betapa berwibawa pula Eyang Pahitmadu terhadap adiknya, Panglima
paling kuasa di seluruh Mataram. Bahkan banyak tamu terpaksa menginap di rumah
punggawa-punggawa desa atau berkemah biasa di padang luar. Kemungkinan
perjumpaan kedua antara Genduk Duku dengan Tumenggung Wiraguna tentulah ada,
tetapi Duku pandai menghindar. Bagaimana seandainya Eyang pelindungnya sudah
meninggal nanti? Siapa yang akan melindunginya terhadap sang adikuasa Wiraguna?
Namun Eyang Pahitmadu telah jeli melihat
kesulitan kekasihnya. Di bawah empat mata, Tumenggung Wiraguna diharuskan
kakaknya bersumpah tidak akan berbuat sesuatu apa pun yang dapat merugikan Duku
maupun anak keturunannya. Dan Panglima Besar balatentara Mataram yang sangat
kuasa itu tidak akan berani menyalahi sumpah di hadapan seorang tua yang sedang
akan meninggal. Tetapi Tumenggung Wiraguna adalah Tumenggung Wiraguna. Oleh
karena itu Duku tetap harus berhati-hati. Nah, ini alasan lagi untuk tidak
tinggal lama di puri. Di Bangkawa Kulon atau di Jali, Duku aman. Tetapi secepat
mungkin Ni Duku harus lebih menjauh dari Pusat Mataram. Ke mana selain ke
daerah Kedu. Eyang Pahitmadu telah mewarisinya sebidang tanah kecil di
Tempuran, di lereng Gunung Sumbing, dekat dengan jalan gerobak dari Jenar
Pagelen ke Payaman Tidar. Di wilayah perdikan Kedu-lah Ni Duku akan mencari
perlindungan. Entahlah bagaimana caranya, Ni Duku sendiri pun belum tahu.
Tetapi pastilah nanti akan ada jalan. Dan jika Tempuran pun masih belum cukup
jauh dari cengkeraman kekuasaan Panglima Wiraguna, Duku masih dapat mengungsi
ke rumah Nyai Singabarong di Pekalongan. Tetapi itu kemungkinan yang paling
akhir. Apa beda puri ningrat dan istana pedagang kaya? Setali tiga uang.
Tidak. Kedu cukup aman. Di wilayah Kedu
bertebaran desa-desa perdikan yang bebas pajak Mataram, dan punya swapraja yang
cukup merdeka. Madiun, Kediri, Blitar, Pati, Demak, Semarang, dan sekian
wilayah besar lain sampai Surabaya, adalah bawahan langsung Susuhunan Mataram.
Hanya Kedu-lah yang tidak dibebani kewajiban setor pasukan bila Raja Mataram
berperang. Begitu hormat (atau takut?) semua Panembahan, Susuhunan Mataram itu
terhadap Kedu. Memang banyak demang dan petinggi-petinggi secara sukarela ikut
berperang dalam barisan-barisan Susuhunan Mataram, akan tetapi tidak karena
mereka bawahan Mataram. Itu lebih selaku pujaan penghormatan kepada para hulubalang
nenek moyang mereka sendiri, yang nun kala itu bersekutu dengan Panembahan
Senapati, pendiri Kerajaan Mataram. Bukan karena kesetiaan mereka kepada para
keturunan Senapati.
Namun bagaimana nantinya, hidup tanpa dekat
Lusi? Sekarang pun Ni Duku sudah merasa nyeri hati dan rindu kepada si anak
yang oleh kelilingnya mendapat sebutan Lindri[3]) itu.
Sungguh tidak dapat dihindari. Lusi mesti menghirup udara istana. Di Jali ia
senang, tetapi kelihatan sekali ketidaksabarannya agar lekaslah pulang lagi ke
Puri Jagaraga. Sungguh, den ayu cilik ini berwatak anak istana.
Ya, syukur, syukur, syukurlah Allah Maha
Penyayang telah mengantarkan Lusi ke puri Tumenggung Singaranu. Sudah sejak
dari awal di Puri Pahitmadu, Nyai Pinundhi memperhatikan si gadis Lusi yang
sering menolong ibunya yang begitu tampak dikasihi Eyang Pahitmadu sehingga
tidak boleh pergi dari ranjang kematiannya. Melihat itu berbisiklah Eyang
Pahitmadu di telinga Nyai Pinundhi, meminta agar sesudah pulangnya ke
Rahmatullah, si genduk kecil itu dilindunginya, kalau bisa di Puri Singaranan.
Ibunya pun diminta oleh Nyai Pinundhi, akan tetapi dengan alasan harus menjaga
kakek-nenek di Jali yang sudah tua, Duku memohon dibebaskan. Tetapi bila Nyai
Pinundhi berkenan mengambil anaknya yang masih perawan kencur ingusan itu, inggih
sumangga karsa.[4]) Dengan
penuh syukur dan ikhlas. Pasti. akan dijadikan penegar kuda nanti, seperti
ibunya. Sebab di Puri Pahitmadu telah terbukti, betapa bakat-bakat ibunya
diwarisi pula oleh sang Lindri. Sehingga terbiasa menyebut mereka berdua, Duku-Wa dan Duku-nom.[5])
Jatining dumadi nuwuhken wiji.
Muga tunggak rila,
Yen….”
Ah, yen wiji dawah siti manca.[6]) Mas
Slamet almarhum akan menasihati apa pada saat-saat penuh pertanyaan seperti
ini?
Ni Duku tak dapat mempersalahkan anaknya.
Bukankah nama Lusi, “lepas dari bahaya”, dipilih sendiri oleh Slamet untuk
si Denok yang sama sekali tidak denok[7]) tetapi
lindri itu? Anak satu-satunya telah selamat. Ini yang penting. Lahir di pantai
terbuka tetapi tumbuh dalam kalangan puri Bendara Eyang Pahitmadu. Di tengah
kemewahan istana ningrat tinggi Lusi mengalami masa kanak-kanaknya, suka main
boneka golek, berdandanan sutra berjamang prada-kencana. Kemudian
bukan permainan pasaranlah yang ia sukai seperti anak-anak rakyat. Tetapi
permainan sinewakan (menghadap raja), meniru-niru tari
Sungkem-Raja atau langendriyan Senapati-Retna Dumilah,
mengikuti anak-anak puri lain-lainnya. Ya, itulah dunia Lusi Lindri, Genduk
Lusi, bahkan kemudian Rara Lindri nama sehari-hari panggilannya. Sebab para
abdi tak ingkar tahu, bahwa si petualang Duku terkasih oleh puan puri. Dan
lagi, apa beda warna fajar hidupnya dibanding dengan punya ibunya? Yang dulu
juga sudah terbentuk oleh dunia puri dan kaum istana? Walaupun Genduk Duku dulu
hanya berayah rakyat biasa yang berasal dari seberang, Pulau Bima, yang
kemudian menjadi abdi-dalem pemelihara kuda di Puri Pati dan ibunya seorang abdi
dalem juga.
Ah, sebetulnya Ni Duku harus merasa bersyukur,
karena anaknya sudah lusi, artinya tadi, lepas bahaya, bahkan begitu mujur
nasib anaknya. Bahwa Duku sendiri kemudian tidak suka kepada kaum istana,
bukankah itu hanya kebetulan, karena pengalaman lakon sedih puannya Rara Mendut
dulu itu? Dan terutama nasib kehilangan Slamet, perahu hidupnya. Kebetulan.
Seandainya tidak ada kejadian-kejadian itu, ya, akan wajarlah lalu, bila Ni
Duku pun lestari menjadi abdi-dalem salah satu puri juga. Abdi
kan kata lebih indah dari batur. Aman nyaman, tak pernah
bingung makan apa, berbusana bagaimaana. Menghirup keharuman melati, kenanga
pendapa dalem, dengan nada-nada merdu-gamelan, dengan tari-tarian yang
mempesona, dengan banyak waktu bergunjing dan menikmati sekian lakon asmara
kaum ningrat yang mengasyikkan, walaupun sering penuh kesedihan. Namun ADA yang
dialami, mendebarkan sering dan ngeri, bagaimana jua ADA getaran peristiwa
maupun debar tualangnya. Lain dari hidup si gadis petani. Dari tahun ke tahun
serba sama, tandur, matun, ngeneni, mepe, nutu,[8]) ah.
Satu-satunya keramaian yang hebat hanya bila ada pesta pernikahan. Atau bila
ada harimau tertangkap. Perang pun bagi wanita tani di pedalaman tidak begitu
ramai. Hampir semua lelaki, kecuali satu-dua kakek harus berangkat ke medan
laga. Desa lalu kosong sebelah, menjadi serba perempuan melulu. Bila sudah
begitu, bahkan banyak yang bergurau, semoga diperkosa sajalah mereka oleh
balatentara yang tersesat daripada menguap melihat sesama kaum susu melulu.
Tidak. Ni Duku tidak boleh sedih, hanya karena
Lusi sudah dipisahkan darinya. Tempat dalam puri Tumenggung Singaranu, yang
berkedudukan Patih Perdana dan bersebutan Tumenggung Mataram, sangat tepat.
Mana ada tempat yang lebih baik? Di keraton Sultan pun tidak. Ya, Ni Duku harus
merasa bersyukur. Tumenggung Singaranu disegani bahkan dicintai oleh banyak
pihak, tak terkecuali oleh Sultan Hanyakrakusuma sendiri. Barangkali hanya
Tumenggung Wirapatra yang tidak menyukainya. Tetapi biasalah, iri hati orang
angkuh akibat silsilah hanya keturunan orang kecil yang kebetulan mujur naik
tingkat sampai kalangan tertinggi. Ya, begitulah yang terjadi pada Tumenggung
Wirapatra, tinggi pangkatnya tetapi belum ningrat jiwanya. Untunglah si Lusi
tidak diminta oleh kalangan Wirapatra, tetapi justru oleh istri perdana
Singaranu, Nyai Pinundhi dari Puri Jagaraga. Ya, dalam Puri Jagaraga, yang
dibangun khusus oleh Sultan Hanyakrakusuma bagi beliau, si Lusi anak nelayan
dari pantai Telukcikal itu sekarang mengabdi.
Ni Duku, pulang sajalah ke tepi Sungai Jali;
ikut ayah-bunda temuan, Mbah Legen dan Nyi Gendis. Hatinya sudah patah, sulit
digetahlekatkan lagi pada dunia kaum istana.
Jatining dumadi kang nuwuhken wiji,
Muga tunggak rila
Yen denok tole wus wanci
Bebadreng bayu baskara
Lamun tebih iber-mingering pun wiji,
Dawah siti manca
Jer makaten kapti Widhi
Padas papa awoh jaya.[9])
Malam istirahat di suatu padukuhan. Ni Duku hanya mau bermalam di dalam
gerobak bersama-sama perempuan-perempuan desa lainnya yang pulang dari
berbelanja di ibu kota. Malam itu Ni Duku bermimpi. Eyang Pahitmadu sedang naik
kereta kencana, dan kusir yang mengendalikan tujuh pasang kuda putih di mukanya
tiada lain ialah Mas Slamet. Duku duduk berdampingan dengan Bendara Eyang di
dalam kereta. Tetapi berulang dan berulang ia minta izin untuk naik di bangku
kusir di luar, hanya untuk berdampingan dengan Slamet, berkali-kali pula
Bendara Pahitmadu memanggil kembali Duku untuk duduk lagi di sampingnya. Tetapi
lagi-lagi, setiap kali Ni Duku beranjak untuk naik di bangku kusir, segera ia
dipanggil lagi masuk kereta. Akhirnya Bendara Pahitmadu tampak kesal dan
menyuruh kereta berhenti. Ketiga orang itu kemudian duduk di bawah pohon asam
yang kebetulan sedang bernada warna indah sekali, hijau tua campur hijau muda,
lebat daun-daun lembut yang masih baru. Dengan tenang Bendara Pahitmadu
bertanya kepada Slamet, apakah ikhlas apabila kelak istrinya menikah dengan
sosok jenazah. Dengan terkejut Mas Slamet bersembah. Tentulah ia tidak akan
rela. Tetapi mengapa hal ini ditanyakan oleh Bendara Eyang?
Maka tersenyumlah Bendara Pahitmadu dan bertanya
kepada Slamet, apa benar dia mencintai istrinya. Tentu, pastilah. Sampai di
zaman abadi. Kalau begitu, mengapa Duku disuruh menikah dengan jenazah?
Terheran-heranlah Slamet dan Duku saling memandang. Apa maksud beliau? Tetapi
sebelum pertanyaan dapat dijawab menghilanglah Bendara Eyang. Maka memandang
dalamlah Slamet kepada Duku. Dan aneh… bersenandunglah Mas Slamet lagu maskumambang[10]) yang
terkenal, sambil menuding ke suatu bayangan seorang lelaki lain yang keluar
dari kabut cakrawala pasir pantai, lelaki yang… siapakah dia?
Jatining dumadi kang nuwuhken wiji
Muga tunggak rila
Yen palwa brangta wus wanci
Bebadreng bayu baskara.[11] >
Dari mana dua kata palwa brangta[12]) itu
datang? Padahal dalam lagu aslinya bukan palwa brangta[13]) melainkan denok tole kata-katanya. Ah
jangan, jangan dahulu… Mas Slamet, jangan kau pergi…. Memang hampir semua orang
menasihati Duku untuk menikah lagi. Putri Arumardi pun sebetulnya juga, meski
tidak terang-terangan.
“Sudah dua kali nyewu. Apakah
sawah yang subur dan elok pemandangannya boleh dibiarkan tanpa padi?”
Haruslah diakui, memang benar tubuh Duku sehat
dan masih muda; dan karenanya sangat mendamba pula. Tetapi… ah, bingung juga
sering Ni Duku terhela antara kesetiaan dan kewajaran. Namun apa arti setia di
sini? Ah, sesekali nanti, arti impi itu akan ia tanyakan kepada Mbah Legen dan
Nyi Gendis. Mereka orang tua petani sederhana. Pasti akan jujur nasihatnya.
Namun… was-was khawatir tetaplah Duku bila mengingat akibatnya. Ah,
terserahlah. Biar gulungan wayang beber esok hari nanti berbicara sendiri.
[1] sebutan kesayangan
untuk anak perempuan
[2] sebutan kesayangan
untuk anak lelaki
[3] semampai
[4] ya, terserah
kepada Tuan
[5] Duku Tua dan Duku
Muda
[6] Ah, apabila biji
jatuh di tanah asing
[7] berkesan bulat
tubuhnya
[8] menanam, mencabut
tumbuhan liar, menuai, menjemur, menumbuk
[9] Hakikat semesta
yang menumbuhkan benih,
Semoga tonggak relalah
Apabila datang masa putra-putri
Mengembara di angin di matahari
Bila jauhlah terbang-layang si benih,
Sampai biji jatuh di lahan asing
Sebab begitulah memang kehendak Yang Maha
Wibawa,
Agar cadas miskin berbuah kemenangan.
[10] bentuk lagu tertentu
dalam khasanah tembang Jawa
[11] Hakikat semesta bila
menumbuhkan benih, Semoga tonggak rela
[12] Apabila biduk asmara sudah
datang pada saat Mengembara di angin maupun di matahari
[13] biduk asmara
“Duku, tinggallah saja di Jali sini. Walau hanya
di desa tepi sungai di pelosok Pagelen, tetapi kau di sini dapat menemukan
ketentraman hati.” Ya begitulah berkali-kali desak Nyi Gendis dan suaminya
kepada janda muda yang kini telah terpisah dari anak tunggal tersayangnya.
“Memang itulah yang Duku inginkan, Nenek
terjunjung. Hanya dulu ananda tidak tahu, bagaimana membalas budi kepada pelindungku
Bendara Eyang Pahitmadu almarhumah yang selalu membutuhkan aku hambanya. Namun
sekarang, maafkan kelambanan pengertian Duku, ananda semogalah masih
diperbolehkan membantu Nenek dalam pondok Jali sini (Oh, dengan segala
senangku, Duku. Kau kan sudah anak kami.) Walaupun kurang patut.”
“Anggap saja sini rumahmu, Nduk,” sambung Mbah
Legen. “Hari-hari yang mendatang rupa-rupanya akan suram di ibu kota. Sudah
hampir seribu hari Susuhunan-ing-Ngalaga memperoleh gelar Sultan dari Mekah,
tetapi seperti Bendara Pahitmadu, Sultan Hanyakrakusuma sudah sering sakit dan
semakin lemah. Padahal permasalahan dengan Blambangan, Pasuruan, dan Bali,
apalagi dengan Betawi-belumlah beres. Maka di sini sajalah, Nduk, sebab Raden
Mas Jibus sedang menanti saat menduduki singgasana. Kau wanita masih muda.
Jangan kerap muncul di Kutanegara. (Oh, bagaimana nanti anakku Lusi?) Tak perlu
khawatir. Ia terlindung di dalam puri Tumenggung Singaranu.”
Hampir saja terlonjak kata prihatin Duku si ibu,
betapa khawatirnya, jangan-jangan… karena… karena ia mengenal anaknya. Lusi
lain dari ibunya atau Rara Mendut. Lain artinya… ah, jangan memikirkan hal-hal
yang bukan-bukan. Mbah Legen sudah betul. Lusi terlindung di dalam Puri
Jagaraga milik Tumenggung Singaranu.
Awan-awan datang, hujan turun; menyusul
bulan-bulan dingin; kemudian awan-awan gelap menggumpal lagi dan hujan serta
banjir datang seperti yang telah terirama sejak masa tak teringat.
Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram wafat, ditangisi para kawula. Dimakamkan
di bukit-bukit Imogiri. Dan seluruh istana maupun gugusan-gugusan gubuk rakyat
terundung pertanyaan takut: calon raja yang seperti apa yang akan. memerintah,
yang dengan bangga memilih sebutan Mangkurat?
Ayahnya cukup puas dengan nama-alias cita-cita
Hanyakrakusuma, lingkaran mandala yang berbudi luhur. Sedangkan putra
penggantinya ingin memangku seluruh jagad-rat. Khususnya
Tumenggung Wiraguna, dengan hati penuh khawatir bertanya diri, akan bagaimana
nasibnya nanti di bawah kekuasaan raja yang pernah menjadi lawan dalam
pertandingan asmara? Dalam kalangan bangsawan Jawa, soal asmara tidak hanya
soal kenikmatan daging dan kelezatan pengalaman keelokan yang menegangkan
kelenjar, tetapi masalah kesaktian. Dewi Uma adalah perwujudan dan jaminan
kesaktian Sang Hyang Pramesti Guru Girinata. Bagi Prabu Rama kehilangan Sinta
berarti kehilangan kesaktiannya, dan merebut Sinta bagi Dasamuka adalah merebut
kesaktian yang dia tak punya. Dan bila Arjuna di mana-mana memperoleh kekasih,
itu bukan karena ia mata keranjang, tetapi supaya tumpuk-menumpuklah
kesaktiannya. Dan celakalah Raja Suyudana, karena kesaktian-nya, permaisuri
Banowati tidak pernah setia kepadanya, tetapi melekat kepada kekasihnya,
Arjuna. Maka sungguh berkhawatir-lah sekarang Tumenggung Wiraguna, karena
pernah membunuh seorang kesaktian yang didambakan Susuhunan Mangkurat ketika
beliau masih Putra Mahkota. Seluruh ibu kota dengan berdebar-debar menunggu
pula, bagaimana raja baru mereka akan melangkah. Ternyata senyum simpul dan
sikap budi darmawanlah yang bagaikan matahari kencana fajar memberkat kepada
Seluruh, negara; khususnya, ketika ternyata Wiraguna terangkat kembali penuh
menjadi Panglima Besar balatentara Mataram. Rupa-rupanya Panembahan
Senapati-ing-Ngalaga yang baru ini menginginkan perdamaian di kalangan sari
ningrat kerajaan. Demi hari esok yang masih menunggu gilirannya.
Namun, esok hari yang mana, yang bersumber pada
apa? Sebab, Mataram, kerajaan besar yang didirikan dengan kesabaran oleh Ki
Pemanahan dan ketangkasan putranya Senapati, diawali juga dengan pembunuhan jorok
atas Sultan Adiwijaya dari Pajang oleh anak angkatnya sendiri, dengan
pertolongan roh sihir jahat si bule setengah tuyul setengah menteri negara-Ki
Juru Taman. Bule yang sampai berani meniduri istri-istri ayahanda Sultan,
Panembahan Seda Krapyak, dan masih lagi kurang ajar menggoda permaisuri
Susuhunan-ing-Ngalaga yang paling agung dari sekian panembahan Mataram.
Ya, jauh dari Jali, di ibu kota serba bercahaya
namun serba banyak kegelapan intrik itu, suatu pagi Putri Arumardi sedang
nyaman berendam dalam kolam mandi istana Wiragunan. Nyaman bagi tubuh, tetapi
saat itu pikiran-pikiran sang selir budiwati Panglima Mataram sungguh
bergumpalan gagasan-gagasan yang tidak mengenakkan. Pertanyaan mendung penuh
kekhawatiran yang sama: esok hari yang mana? Esok hari gemilang sang
Senapati-ing-Ngalaga Mataram atau esok hari si tuyul bule, pelawak istana Ki
Juru Taman yang begitu jorok tetapi begitu menguasai sudut-sudut gelap istana
Mataram? Untunglah menteri negara urusan gaib gelap yang suka menyamar dengan
busana Susuhunan dan menipu para istri raja di ranjang itu, atas perintah
tuannya, sudah dibunuh dalam suatu malam kelam. Mujurlah bule bejat, yang
menurut beberapa kiai arif pada hakikatnya tukang-sihir Peose Betawi yang lihai
berhasil menawarkan jasa di dalam istana itu, sudah disudahi nyawanya. Tetapi
konon mayatnya langsung menghilang, sehingga belum tuntaslah penyudahan menteri
negara jahat ini. Dan kini, beginilah selanjutnya, apabila suatu roh jahat
tidak pagi-pagi disudahi dan terlalu lama dibiarkan demi pemanfaatannya, maka
roh itu akan menjalar, menyusup entah dari mana dan ke mana. Seperti jamur upas
yang ganas. Tahu-tahu bersama embun pagi si jamur upas sudah muncul putih-putih
mungil seperti bintik-bintik embun susu pada ujung-ujung rumput atau dedaunan
serta pokok pohon buah-buahan, meracuni seluruh tetumbuhan.
Bisikan menyambung bisikan, konon darah yang
menggumpal dari luka-luka Ki Juru Taman, diam-diam diambil dan disimpan oleh
Pangeran Silarong, yang lebih berwatak petualang seniman daripada setiawan pada
kedudukan mulia sebagai saudara muda Raja; untuk digunakan selaku racun maut
yang tiada taranya. Tetapi mungkin pula sebagian dari darah yang melekat pada
tombak pembunuh si dukun bule itu dulu kurang bersih dicuci, sehingga… ya,
sehingga mungkin sekali darah itu melekat pada busana atau kulit sang Susuhunan
yang baru, yang memilih gelar Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram Amangkurat itu. Ah,
bagi Putri Arumardi, tetaplah selamanya beliau si Jibus. Siapa tahu, mungkin
betul roh Ki Juru Taman yang jorok jahat itu, yang belum sampai berhasil
dimusnahkan tuntas oleh Sultan Hanyakrakusuma almarhum, kini mendendam pahit di
dalam diri Susuhunan yang baru itu, sampai membiak leluasa dalam darah
keturunan Panembahan Senapati! Alangkah ngeri. Berjatuhan sudah korban-korban
permulaan, Tejarukmi dan Slamet malang. Disusul oleh tumbal singgasana,
Pangeran Alit yang terlalu polos kurang perhitungan.
Riak-riak air kolam menghidupkan riak-riak
kenangan yang menggusarkan Putri Arumardi. Tanpa dimaui dilihatnyalah lagi di
angan-angan…. kala itu, ya ketika pada suatu pagi Putri Arumardi sedang
menyampaikan sesaji pada kaki kedua pohon beringin kurung di alun-alun selatan.
Setiap Selasa Kliwon persembahan itu dilakukan, karena Putri Arumardi dengan
lambang-lambang penaburan bunga di tempat itu ingin memohonkan keselamatan bagi
rakyat semua saja yang mengandung uneg-uneg atau terkena
ketidakadilan untuk pepe,[1]) memohonkan
kelurusan hukum dari Raja. Di sekitar kedua beringin kurung itulah biasanya
rakyat yang mempunyai permohonan keadilan duduk bersila di atas pasir dalam
terik menyengat matahari. Pagi itu memang ada dua-tiga orang yang sedang pepe.
Akan tetapi tiba-tiba dari arah Pasar Besar terdengar gemuruh huru-hara dan
derap kuda-kuda beringas. Terkejut Putri Arumardi melihat, bahwa pengebut kuda
yang beringas meluncur ke dalam alun-alun itu ialah pemuda Agrayuda, yang gagah
memperagakan tombaknya menyerbu istana.
Perkelahian sengit dengan para pengawal istana
langsung terjadi di dekat Bangsal Pengurakan. Selanjutnya Putri Arumardi sudah
tidak tega melihat apa yang terjadi, dan hanya dapat menutup mata. Serba
gemetar Putri itu kemudian ditarik dengan keras oleh dayang-dayangnya, mencari
persembunyian di dalam salah satu rumah abdi dalem istana. Tak sulit diduga,
pemuda Agrayuda segera terbunuh keji karena pengeroyokan para prajurit istana.
Penghuni rumah itu dengan gagap menceritakan, bahwa baru saja sebelumnya,
Tumenggung Pasingsingan,[2]) –yakni ayah sang pemuda
Agrayuda-ketika beliau masuk bekerja seperti biasanya di dalam istana,
tiba-tiba diseruduk sepasukan pengawal wanita, dan terbunuh. Abdi-abdinya lari
dan itulah jadinya, putranda Agrayuda naik pitam, tanpa berpikir panjang
kemudian mengamuk. Belum lagi sangat jelas bagi Putri Arumardi bagaimana duduk
perkara sesungguhnya, seluruh lingkungan dilanda lagi gemuruh teriak dan amarah
segerombolan penyerang yang terdiri dari priyayi-priyayi tua-muda, bahkan ada
yang masih anak-anak dan kakek-kakek. Ternyata mereka dari Puri Pasingsingan
yang mengamuk bagaikan banjir gila menyerbu gerbang istana. Tetapi
pasukan-pasukan istana yang sudah siaga cepat mengepung mereka dan tak ada satu
kepala pun dari para penyerang yang berpuluh-puluh itu yang tidak dipenggal
dari tubuh. Bersorak-sorai para pengawal istana menyate kepala-kepala tumbang
itu pada pucuk-pucuk bambu atau tombak yang ditancapkan di sekeliling beringin
kurung.
Masih menggigil Putri Arumardi bila mengingat
peristiwa itu. Hanya satu yang tidak dimengerti istri Wiraguna, mengapa pada
peristiwa yang sengeri itu beliau tidak pingsan. Bahkan sebaliknya, kemudian
dingin seperti hati prajurit wanita pengawal khusus keraton, masih nekat
mengintip melalui suatu lubang di dinding, untuk melihat kelanjutan lakon
simpang-siur di sekitar alun-alun selatan dan Siti-Hinggil.[3])
Betul, tidak lama kemudian datanglah mengebut di
atas kuda hitamnya, Pangeran Alit pribadi. Nyaris Putri Arumardi berteriak
ingin menganjurkan kepada pemuda yang belum dua puluh pasang musim usianya itu,
untuk undur sajalah dan jangan menambah jumlah korban istana. Tetapi siapa
dapat menahan berang-beringas seorang pemuda ningrat dengan darah keturunan
Panembahan Senapati yang sudah mata gelap bernafsu untuk menuntaskan
persengketaan yang sudah terlanjur bertaruhan kepala apalagi gengsi nama
ningratnya? Tetapi apa sambutan sang Susuhunan dari balik kelir-kelir istana
kepada Pangeran Muda itu? Seorang perwira pengawal istana melemparkan sebuah
kepala yang menggelundung di muka kaki-kaki kuda Pangeran Alit sambil berteriak,
“Inilah, Pangeran Muda, kepala-kepala mereka yang ingin mengangkatmu menjadi
raja!”
Setelah ragu-ragu sebentar melihat kekalahan
yang mengancam dirinya, kemarahan Pangeran Alit meletus. Ia menghunus keris
pusakanya, Kiai Setan Kober. Mengamuk! Adipati Sampang, Demang Melaya, seorang
ksatria Madura keturunan Cakraningrat,[4]) masih mencoba meredakan
amukan putra raja itu dan merangkul kaki Pangeran Alit sambil memohon agar
redalah amarahnya. Tetapi justru Setan Kober ditikamkan ganas ke dalam leher
Demang Melaya. Maka tak dapat dibendunglah kegalauan dan kemurkaan keluarga
Sampang, dan berbondong mereka mengeroyok pangeran muda itu. Tetapi perkelahian
terakhir yang sengit serba riuh-rendah itu sudah tidak dilihat Putri
Arumardi, yang kali ini toh akhirnya jatuh pingsan juga.
“Sang Putri menggigil, barangkali terlalu lama berendam di dalam air
dingin ini,” kata prihatin dayang-tua Ni Sekethi. “Air panas, Ndara?”
Tetapi sang Putri hanya menggelengkan kepala dan
seperti tak sadar hanya menggumam, “Zaman edan sekarang ini..”
“Ah, Ndara, mbok sudah ta, tidak perlu kita ikut
hanyut dalam perkara-perkara urusan lelaki. Apa lagi yang Putri pikirkan?”
“Jangan-jangan Kakangmas Wiraguna tak akan
kembali lagi.”
“Oh itu? Mengapa tidak? Beliau Panglima yang
jaya senantiasa. Dan apa arti Blambangan dibanding dengan Surabaya,
pemberontakan Pati, dan semua medan laga yang pernah disambar oleh Kakanda yang
disebut Tumenggung Alap-alap itu? Apa Putri Arumardi tidak mendengar berita
kemarin, bahwa pasukan-pasukan Mataram sudah mengenyahkan orang-orang Bali
sampai ke tengah laut?”
“Tetapi Kakangmas sudah tua sekarang, dan
peristiwa-peristiwa akhir-akhir ini… (Ah, mbok ya sudah ta, Ndara Putri! Beliau
bersama-sama Tumenggung Danupaya yang penuh pengalaman medan juga. Percayalah…)
Justru itu. (Apa yang justru itu?) Karena justru Kakangmas dan Tumenggung
Danupaya itulah yang diberi tugas menumpas Blambangan. (Kan Tumenggung Wiraguna
panglima yang paling ahli perang? Siapa lagi? Walaupun tentulah menyedihkan
untuk para garwa tentunya. Sudahlah, Ndara, itu semua urusan kaum lelaki. Tugas
kita wanita ialah tetap ayu dan menarik, menghiasi dunia ini dengan segala
kenikmatan yang kita miliki. ) Untuk apa ayu bila yang kita dengar hanya
pembunuhan demi pembunuhan? (Lho justru itu, bagaimana ta, Putri Arumardi
sekarang ini? Kan justru di tengah kebusukan, di mana-mana bunga-bunga
seperti panjenengan[5])inilah
yang harus membuat ayu bumi. Apa sudah lupa petuah-petuah Nyai Ajeng?) Kalau
cuma begitu caranya… (Lho, ya tentunya cuma begitu, mau apa, Ndara? Tetapi
sudahlah, ini kolam mandi yang segar dan indah. Bukan bangsal perundingan
siasat perang.. Mbok lihat itu, betapa jelita sinar matahari sedang
membangunkan daun-daun pepohonan. Lihatlah itu mega-mega kencana fajar sedang
tersenyum, mengatakan kepada semua putri ayu, agar tersenyum selalu, wajah dan
jiwa. Mari, kain dibuka saja, biar Ni Sekethi dapat merawat tubuh Raden Ayu
yang ternyata tetap saja lestari muda dan menawan. Nah, begini. Coba pandang,
wong masih muda begini kok mengeluh seperti nenek-nenek. ) Tetapi kalau darah
seorang putra keturunan Panembahan Senapati sudah mengalir di dalam keraton
seorang keturunan Panembahan Senapati yang lain, apa itu artinya, Ni Sekethi?
Jujur sajalah….”
Ni Sekethi dayang tua itu diam. Sebab memang
berita-berita dari istana sejak Raden Mas Jibus naik tahta betul tidak
menjanjikan hari-hari bebas takut. Bernapas panjang ia mengambil suatu
bungkusan daun pisang di tepi kolam yang ia bawa tadi. Dibukanya… lho! Terkejut
si dayang-dayang tua itu.
“Ini bagaimana si Senik itu! Cuma lerak dan
mawar dan kenanga dan kantil. Selalu teledor anak satu ini. Kemarin lupa bunga
kenanganya, sekarang bunga gambirnya. Kan tidak sempurna nanti ramuannya.
Sebentar Putri Arumardi….” Dan ia berdiri hendak menaiki tangga kolam.
“Mbok sudahlah. Apa bedanya satu kali kurang bunga gambir sedikit?”
“Eh, banyak, banyak sekali bedanya. Dan lagi,
nanti tuman[6]) si
Senik itu, bekerja seenaknya sendiri. Ramuan tetap ramuan. (Apa gunanya ribut
soal bunga gambir?) Eeee, yang harus haruslah. (Siapa yang mengharuskan?) Lho,
kok siapa yang mengharuskan. Ini sudah peraturan. Pembersihan kulit ayu harus
dengan lerak campur kantil, untuk menghalau Batara Kala; kenanga untuk
menakut-nakuti Durga; dan bunga gambir untuk memohonkan keremajaan dari Dewa
Wishnu. Kan kulit wanita harus awet mulus, dan bersih. Sebetulnya harus
ditambahi sedikit daun sirih, tetapi… lho, siapa itu?” Dan terkejut
mendongaklah dayang-dayang tua itu memandang marah ke arah gerbang kolam yang
kelirnya sudah ditandai topeng Putri Cina, sebagai tanda bahwa sudah ada yang
sedang mandi di kolam yang terbingkai dinding tinggi itu. “Bocah
clinthisan![7]) Siapa
itu kok berani masuk?”
Tetapi Putri Arumardi bahkan bersinar ria. Cepat
kainnya ditutupkan seapa-adanya pada tubuh jelitanya sambil memanggil,
“Lusi! Kok begini pagi! Ada apa?”
“Anak tak tahu kesopanan,” desis Ni Sekethi, “apa tidak bisa menunggu?”